Tradisi Bersalaman (Jabat Tangan) setelah Melaksanakan Shalat dalam Perspektif Hukum Fiqih

 
Tradisi Bersalaman (Jabat Tangan) setelah Melaksanakan Shalat dalam Perspektif Hukum Fiqih
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang memiliki tradisi dan kebudayaaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, seperti sopan santun, saling menghormati, saling menghargai, gotong royong, saling menjalin dan menjaga silaturrahim. Kebudayaan tersebut telah dilakukan secara turun temurun oleh siapa saja dan dalam kegiatan apa saja. Sehingga hal ini sudah menjadi salah satu identitas masyarakat kita.

Termasuk dalam tradisi keagamaan, masyarakat kita dikenal dengan karakter yang kolektif kolegial yang menjadikan tatanan sosial yang kokoh dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tradisi keagamaan yang kental dengan masyarakat kita adalah salaman atau berjabat tangan. Bersalaman diartikan sebagai bentuk dari menjalin dan menjaga silaturrahim oleh masyarakat kita. Sehingga bersalaman menjadi tradisi yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat, seperti ketika bertemu orang baik, bertemu orang baru ataupun kerabat, ketika hendak berangkat dan pulang dari berpergian, setelah selesai acara atau pertemuan, dan salaman juga menjadi tradisi yang dilakukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia ketika telah selesai melaksanakan shalat berjamaah. 

Dalam hal bersalaman atau berjabat tangan setelah selesai melaksanakan shalat berjamaah, memang terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai status hukumnya, apakah sunah, mubah atau makruh.

Terdapat pandangan beberapa ulama yang menyatakan bahwa hukum bersalaman atau berjabat tangan setelah shalat berjamaah adalah makruh atau sebaiknya tidak dilakukan.

Namun sebelumnya sudah menjadi kesepakatan, bahwa bersalaman atau berjabat tangan merupakan salah satu simbol silaturrahim atau menyambung persaudaraan, dan bahwasannya silaturahim itu adalah hal yang disunnahkan dalam agama Islam. Banyak ayat Al-Qur'an dan Hadis yang menerangkan perintah untuk bersilaturrahim. Sebagai contoh kita ambil keterangan dalam Surat Al-Hujurat ayat 10:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

Kemudian mengenai perintah silaturrahim itu, juga bisa dilihat dalam Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sebagaimana berikut ini:

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Dari Ibnu Syihab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: 'Barang siapa ingin dilapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi." (HR. Bukhari)

Lalu bagaimana pembahasan mengenai pandangan para ulama terkait hukum bersalaman setelah melaksanakan shalat. Berikut pandangan dari sejumlah ulama: 

Mazhab Hanafi

Dalam pandangan Mazhab Hanafi disebutkan, bahwa bersalaman atau berjabat tangan setelah melaksanakan shalat, hukumnya adalah disunnahkan. Syaikh At-Thahawi dalam Kitab Hasyiyatut Thahawi 'ala Maraqil Falah menjelaskan sebagai berikut:

وَكَذَا تُطْلَبُ الْمُصَافَحَةُ، فَهِيَ سُنَّةٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا

"Dan begitu juga dianjurkan berjabat tangan. Hukumnya sunnah setelah shalat apa pun."

Begitu juga pandangan Syaikh An-Nablisi, beliau memiliki pandangan yang sama dengan Syaikh At-Thahawi. Pandangannya sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Syarhut Thariqah Al-Muhammadiyyah berikut ini:

إِنَّهَا دَاخِلَةٌ تَحْتَ عُمُوْمِ سُنَّةِ الْمُصَافَحَةِ مُطْلَقًا

"Bersalaman atau berjabat tangan setelah shalat masuk dalam generalitas (keumuman) kesunnahan berjabat tangan secara mutlak."

Namun, dari sebagain ulama Mazhab Hanafi, ada juga yang mengatakan bahwa hukum berjabat tangan setelah shalat adalah makruh. Kemakruhan tersebut dilandasi oleh kekhawatiran adanya pemahaman masyarakat bahwa berjabat tangan setelah shalat hukumnya sunnah, karena dilaksanakan terus menerus. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Amin Ibnu Abidin dalam Kitab Raddul Muhtar 'ala Ad-Durri Al-Mukhtar, sebagaimana berikut ini:

وَقَدْ صَرَحَ بَعْضُ عُلَمَائِنَا وَغَيْرُهُمْ بِكَرَاهَةِ الْمُصَافَحَةِ الْمُعْتَادَةِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ مَعَ أَنَّ الْمُصَافَحَةَ سُنَّةٌ وَمَا ذَاكَ إِلَّا لِكَوْنِهَا لَمْ تُؤَثِّرْ فِي خُصُوْصِ هَذَا الْمَوْضِعِ فَالْمُوَاظَبَةُ عَلَيْهَا فِيْهِ تُوْهِمُ الْعَوَامَ بِأَنَّهَا سُنَّةٌ

"Sebagian ulama kita dan ulama lain menerangkan kemakruhan berjabat tangan setelah shalat, padahal hukum berjabat tangan (pada umumnya) adalah sunnah. Hal itu tidak lain karena tidak adanya riwayat tentang berjabat tangan pada waktu ini (setelah shalat), sehingga mentradisikannya dapat menimbulkan prasangka bagi orang awam bahwa hal itu merupakan kesunnahan."

Dari sini sebenarnya bisa dipahami, bahwa hakikatnya penyebab dihukumi makruh adalah karena adanya kekhawatiran tradisi bersalaman atau berjabat tangan yang dilakukan terus menerus setelah shalat itu dapat menyebabkan anggapan bahwa hal itu diwajibkan. Tetapi, mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) mengenai hal itu, jika tidak terjadi pemahaman yang demikian berarti kekhawatiran itu bisa hilang, dan tentunya hukum yang disepakati menjadi sunnah. 

Mazhab Syafi'i

Dalam pandangan Mazhab Syafi'i dijelaskan, bahwa hukum berjabat tangan setelah shalat adalah mubah. Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Kitab Al-Adzkar An-Nawawiyyah, sebagai berikut:

وَأَمَّا مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ مِنَ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ

"Adapun apa yang menjadi kebiasaan masyarakat berupa jabat tangan setelah shalat Subuh dan shalat Ashar, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam, sesuai cara ini, tetapi tidak apa-apa dilaksanakan."

Masih menurut Imam Nawawi, dalam Kitab Fatawa Al-Imam An-Nawawi dijelaskan juga bahwa hukum berjabat tangan adalah mubah atau diperbolehkan.

اَلْمُصَافَحَةُ سُنَّةٌ عِنْدَ التَّلَاقِي، وَأَمَّا تَخْصِيْصُ النَّاسِ لَهَا بَعْدَ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ فَمَعْدُوْدٌ فِي الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ (وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ إِنْ كَانَ هَذَا الشَّخْصُ قَدْ اِجْتَمَعَ هُوَ هُوَ-قَبْلَ الصَّلَاةِ- فَهُوَ بِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ كَمَا قِيْلَ، وَإِنْ كَانَا لَمْ يَجْتَمِعَا فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ، لِأَنَّهُ اِبْتَدَاءُ اللِّقَاءِ

"Jabat tangan disunahkan ketika bertemu. Adapun kebiasaan masyarakat yang mengkhususkan salaman setelah dua shalat (Subuh dan Ashar) tergolong bid’ah yang diperbolehkan. Dikatakan bid’ah mubah jika orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat. Namun jika belum bertemu, maka berjabat tangan disunnahkan karena memang termasuk bagian dari anjuran memulai bertemu dalam silaturrahim."

Syaikh Izzudin mengatakan bahwa bersalaman setelah shalat adalah bid'ah yang diperbolehkan. Hal ini dijelaskan olehnya dalam Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam sebagaimana berikut ini:

وَالْبِدَعُ الْمُبَاحَةُ أَمْثِلَةٌ، مِنْهَا: الْمُصَافَحَةُ عَقِيْبَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ

"Dan contoh bid’ah yang mubah antara lain adalah berjabat tangan setelah shalat Subuh dan shalat Ashar."

Demikian pula pendapat Syaikh Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli dalam sebagaimana terdapat dalam Kitab Fatawa Ar-Ramli berikut ini:

(سُئِلَ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا

"Syaikh Ramli ditanya soal apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat, apakah hukumya sunnah atau tidak? Beliau menjawab: Apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat tidak ada dasarnya, tetapi tidak apa-apa dilakukan."

Demikian penjelasan seputar hukum bersalaman atau berjabat tangan setelah melaksanakan shalat. Jadi, hukum melakukan hal itu tidak termasuk perkara yang dilarang, meski ada pendapat ulama yang menyatakan tentang kemakruhannya. Tetapi setidaknya bisa dipahami, bahwa memang tidak ada landasan secara langsung terkait Hadis yang menjelaskan mengenai hal itu. Meski demikian, juga bisa ditarik pada pemahaman bahwa salah satu media dalam bersilaturrahim adalah dengan bersalaman atau berjabat tangan, sedangkan bersilaturrahim itu disunnahkan, sehingga dengan demikian, jika bersalaman atau berjabat tangan diniatkan sebagai bentuk silaturrahim tentu hal itu sangat dianjurkan dan disunnahkan. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Juli 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim