Ziarah di Makam KH. Muhammad Hasan Basri, Penyebar Agama Islam di Blambangan

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Ziarah di Makam KH. Muhammad Hasan Basri, Penyebar Agama Islam di Blambangan

Sekilas Sejarah

KH. Muhammad Hasan Basri semasa kecil dipanggil dengan nama Mas'ud, namun sepulang dari Mukim di tanah suci Mekkah di kenal dengan nama Mbah Muhammad Hasan. Selama Puluhan tahun beliau menimba ilmu di tanah suci dan praktis tidak bertemu keluarga, pada akhirnya beliau pulang ke tanah air untuk melepaskan rindu yang terpendam bertahun tahun. Namun setelah pulang ke Buntet, beliau lebih memilih tinggal di luar Buntet yang mungkin dirasakan oleh beliau telah banyak kyai dan ulama di Buntet pesantren.

Mbah Wali Abu Hasan Basri ini masih keturunan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon.

Kemudian KH. Muhammad Hasan Basri memilih daerah Ciledug, Cirebon (+25 km dari Buntet Pesantren) untuk menetap dan berda'wah. Di Ciledug, beliau berdakwah dengan santun dan sopan dengan menggunakan AKHLAQULKARIMAH, sehingga masyarakat menyambut da'wahnya dengan sukacita. Beliau berda'wah dengan halnya yang baik (da'wah bilhal) dan beliau beternak puluhan ekor sapi. Masyarakat Ciledug pada sa'at itu tidak habis fikir,mengapa sapi-sapi mbah Hasan tidak digembalakan.

Bahkan dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri. Namun anehnya sapi-sapi KH. Muhammad Hasan Basri cukup beretika dan beradab, dikarenakan tidak pernah memakan dan merusak tanaman masyarakat, sehingga masyarakat berterima kasih kegirangan bila melihat sapi sapi Mbah Hasan yang hanya membersihkan rumput rumput yang mengganggu tanaman. Beberapa tahun kemudian Mbah Hasan pergi entah kemana, namun sebelum pergi beliau sempat membagi-bagikan seluruh sapi-sapinya kepada masyarakat.

Tahun demi tahun berlalu, akhirnya mbah Muhammad Hasan yang sebaya dengan sepupunya KH.Abbas bin Ky.Abdul Jamil (wafat th 1947 di usia 60 tahunan) dengan mengejutkan datang di Buntet pesantren. Beberapa orang kyai sempat cemas dengan kedatangan beliau, sebab kedatangannya adalah pertanda akan ada mushibah (kematian kyai besar atau serangan belanda) di Buntet. Meskipun begitu sanak famili dan masyarakat saling berebut cium tangan barokah mbah Hasan. Mbah Hasan mengunjungi beberapa kyai dan kerabat. Diantaranya beliau berkunjung ke KH.Anas bin Kyai Abd Jamil (kakak sepupunya). Kyai Anas menyambut gembira dengan kedatangan mbah Hasan yang sdh lama tidak ada khabar beritanya, hingga Kyai Anas mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk menyambut kedatangannya.

Mbah Hasan, menurut penuturan para kyai Buntet adalah seorang Kyai yang Shomut(pendiam) beliau tidak berkata apapun kecuali dua kata saja: enggih dan boten (ia dan tidak) meskipun begitu, mulutnya selalu mengulum senyuman yang menyejukkan hati. Mbah Hasan bertemu dengan kyai Anas sepupunya yang menjadi Muqaddam (guru besar) Thariqah Tijaniyah dan orang yang pertama kali membawa Thariqah Tijaniyah di Indonesia, sebuah pertemuan yang mengharukan dan merapatkan 'alaqah ruhiyah dan jasadiyah diantara dua orang wali tersebut.

Pertemuan terakhir di dunia.

Saat itu kyai Anas meminta oleh-oleh kenang-kenangan dari mbah Hasan, dia berkata "kang Hasan, mana oleh-olehnya dari Banyuwangi ?, namun mbah Hasan tidak menjawab sepatah katapun, hanya senyuman sang Wali yang menghiasi wajah mbah Hasan. Ketika Kyai Anas berkali kali memohon, akhirnya mbah Hasan mengeluarkan bungkusan kain putih dari kantong bajunya seraya berbisik "jangan dibuka kecuali didepan anak-anak dan menantu".

Setelah mbah Hasan pamitan, kyai Anas membuka bungkusan tersebut, ternyata berisi minyak wangi dan kapas. Kyai Anas mengerti isyarat tersebut dan berucap,"anak-anakku ketahuilah, bapak sebentar lagi meninggal dunia" kyai Anas mengucapkannya sambil berderai air mata haru dan bahagia sambil terus menerus menciumi kapas dan minyak wangi pemberian mbah wali Hasan.

Benar saja, beberapa minggu kemudian kyai Anas wafat dengan Husnul khotimah berpulang ke rahmatullah dengan damai dan tenang, yang kuburannya sudah tergali seminggu sebelum beliau wafat. Rodhiyallahu anhu wa askanahu 'alaa farodisiljinan, amien. Bahkan juga Almarhum almaghfurlah Kyai haji Anas sempat mimpi bertemu Rosullah SAW dan Sayidah Fathimah Azzahro seminggu sebelum wafat, dalam mimpi itu Kyai Anas mencium tangan mulia Baginda Rosul saw dan tangan Sayyidah Fathimah Azzahro ra.

Anehnya Siti Fathimah memberi isyarat dengan 7 buah jari tangannya. Bangun dari mimpi, Kyai Anas terperanjat tiba-tiba tangan beliau harum wangi semerbak hingga hari ke tujuh, ribuan santri dan kerabat pun terheran-heran dengan bau wangi yang khas dan beraroma lain dari minyak wangi pada umumnya. Subhanallaah...

Disamping Kyai Anas dan lainnya Mbah Hasan mengunjungi adiknya yang bernama KH. Moh Imam. Menurut para kyai Buntet, Mbah Hasan bertamu dan bershilaturrahmi berjam-jam, namun ajaibnya kedua orang kyai tersebut tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Adiknya KH. Imam adalah seorang kyai yang ahli bermacam macam ilmu terutama ahli dibidang ilmu falak, saking ahlinya sampai beliau bisa menghitung kapan sebuah daun akan jatuh dengan disaksikan puluhan orang.

Beliau berdua duduk asyik medang dan njabur, namun tanpa berkata sedikitpun, sehingga isteri kyai Imam Ny. Maryam (puteri kyai Abbaas) menegur Suaminya,"mengapa kakang diam saja? Diajak ngobrol apa gimana", kyai Imam menjawab: "itu semua gak perlu, habis mau tanya apa..? wong sudah jelas kok, sehat apa tidak, jelas sehat, kapan datangnya ? Kita semua sudah tahu, dari sana jam berapa? Sudah tahu juga", jawaban sang suami membuat istri terdiam dan manggut manggut. Beberapa waktu kemudian mbah Hasan menghilang entah kemana...? beliau melanglang buana namun hanya Allah yang tahu.

Menjelang beliau wafat, beliau berwasiat kepada murid satu-satunya yang merangkap sebagai khodim yaitu kyai Khozin yang berasal dari Garut, bahwa dia diperintahkan untuk menghubungi adiknya di Buntet Pesantren Cirebon yang bernama kyai Muh. Zen. Kyai Khozin yg bertahun- tahun berkhidmat kepada beliau terheran- heran, ternyata mbah Hasan berasal dari Buntet Pesantren. Apalagi masyarakat Banyuwangi yang hingga kini banyak yang belum tahu asal usul mbah wali Hasan.

Mbah Wali Abu Hasan Basri cukup terkenal di Banyuwangi Selatan. Ulama karismatis itu meninggal tahun 1953, dikenal alim dan ikut berjuang melawan Belanda. Tidak jarang warga yang datang sampai bermalam. Lokasi makam Mbah Wali Abu Hasan Basri berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kantor Kecamatan Tegaldlimo. Tempat makam ini sangat mudah dicari. Selain sudah ada papan petunjuk menuju arah makam, hampir semua warga yang tinggal di Desa Kedungwungu dan beberapa desa sekitar, seperti Desa Kedungggebang dan Desa Kedungasri, sudah tahu letak makam  yang dikeramatkan warga itu.

Cara Unik Si'ar Agama Islam Mbah Hasan

Cara si'ar mbah Hasan terbilang unik, sebab beliau memang tidak seperti ulama yang lainnya, beliau sangat pendiam bahkan hampir tidak pernah berkata sepatah kalimat pun. Beliau tiap pagi hari selalu keliling kampung bersilaturrahmi dengan masyarakat, mengunjungi rumah rumah yang empunya belum mau masuk islam atau berprofesi sebagai bajingan, perampok, penjahat dan semacamnya, maklumlah pada saat itu Banyuwangi masih diliput oleh pemeluk Hindu dan Budha.

Namun mbah Hasan mampir ke rumah rumah mereka disambut dengan hangat.karena mereka tahu bahwa mbah Hasan seorang yang mempunyai nilai lebih atau mungkin sakti mandraguna, mbah Hasan hanya duduk sebentar dan melakukan shalat dhuha di rumah seorang dari mereka, anehnya setiap mbah Hasan mampir ke rumah salah seorang dari masyarakat pada sore harinya mereka mendatangi mbah Hasan untuk mengucapkan syahadat atau bertaubat atau belajar melakukan shalat....subhaanallooh, dan begitulah da'wah mbah Hasan setiapharinya

Lokasi Makam


 

Sampai saat ini makamnya yang berada di Dusun Sumberkepuh, Desa Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi banyak didatangi  peziarah. Pintu masuk menuju makam berupa bangunan gapura besar dengan lebar sekitar enam meter dan tinggi tiga meter. Samping  gapura tertulis jelas Makam Wali Mbah Abu Hasan Basri. Di gapura sebelah kanan terdapat sebuah relief Pangeran Diponegoro.