Mengapa Bermazhab?

 
Mengapa Bermazhab?

LADUNI.ID - Tentu disepakati bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah (perbuatan Nabi, sabda-sabdanya atau Al-hadits dan taqrirnya), akan tetapi jalan untuk memahaminya tidak mungkin langsung menemukannya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk memahaminya memerlukan penelitian-penelitian, pengkajian-pengkajian, usaha-usaha membanding yang meminta kecermatan serta keahlian semaksimal-maksimalnya, yang di dalam ilmu ijtihad disebut istinbath. Dan sudah barang tentu mustahil setiap orang Islam mampu melakukannya. Benar, bahwa Islam menganjurkan memperkembangkan berfikir agar orang Islam tidak beku. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai bakat memperkembangkan berfikirnya, karena daya kemampuannya berbeda-beda. Dalam pada itu apa yang harus dikembangkan jikalau kemampuan ilmunya juga terbatas sekali? Tidak semua orang dikaruniai Allah kekayaan ilmu, sebagaimana tidak semua orang mempunyai kesempatan menuntut ilmu.

Itu sebabnya di dalam Islam terdapat pelembagaan mazhab. Walaupun jumlah mazhab memang banyak (mengingat bahwa pada suatu kurun zaman umat Islam melahirkan pemikir-pemikir raksasa yang amat mengagumkan kecerdasan serta kemampuannya membanding, berhubung dengan luar biasa menguasai ilmu dalam kualitas maupun kuantitasnya), akan tetapi dunia Islam sepakat bahwa hanya empat mazhablah yang diakui paling kompeten dan otentik bersumber pada Sunnah Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Mereka itu ialah mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, semoga Allah meridlai mereka.

Ahlussunnah wal Jamaah menetapkan, bahwa hanya empat mazhab inilah yang diakui sebagai mazhab umat Islam seluruh dunia.

Pengertian populer tentang mazhab ialah bahwa mazhab dalam hubungannya dengan cara melaksanakan syariat Islam dalam praktek sehari-hari adalah suatu jembatan atau jalan yang harus ditempuh. Jalan lain yang menyimpang darinya, tidak ada. Bagi ulama-ulama kaliber raksasa yang sejajar keilmuan serta kemampuannya dengan Imam-Imam Mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) barangkali masih terbuka menempuh jalannya sendiri. Akan tetapi bagi orang-orang, katakanlah ulama sekalipun yang daya keilmuan, kemampuannya serta integritasnya jauh di bawah Imam-Imam Mujtahidin, adalah tidak mungkin.

Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya “Al-Wasith” dengan tandas mengatakan:

“Syarat-syarat berijtihad secara terpercaya sebagaimana dilakukan dahulu oleh Imam-Imam Mujtahidin, bagi seorang calon penata Hukum Islam, sudah bisa dipastikan bahwa hal itu tidak mungkin bisa dijumpai lagi pada masa kini! “(Jarak Imam Al-Ghazali dengan masa kita sekarang terpisah oleh masa 900 tahun, bisa dibayangkan bagaimana masa kini?).

Masalah bermazhab, termasuk juga masalah ijtihad dan taqlid, adalah masalahnya ulama-ulama Ahli Penata Hukum Angkatan Pertama dan bukan masalahnya orang-orang awam. Ulama-ulama besar lebih dari 500 tahun yang lampau telah menyatakan pendiriannya secara terbuka. Imam Ad-Dahlawi dalam kitabnya “Hujjatullahi Al-Balighah, Imam Humam dalam kitabnya “At-Tahrir”, demikian pula Imam Al-Haramain dalam kitabnya “Al-Burhan”, dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi di dalam kitabnya “Al-Asybah wan Nazha-ir”, dan masih banyak lagi kitab-kitab “raksasa” yang mengemukakan pendiriannya secara terbuka, bahwa “masalah mazhab, pro dan kontranya telah didiskusikan secara panjang lebar oleh ahli-ahlinya yang kompoten, masalahnya sudah terlesaikan!

Jika zaman kini, andai kata masih terdapat orang yang memenuhi persyaratan menjadi mujtahid untuk menyusun “mazhab” sendiri dan lepas dari mazhab yang telah ada, tentulah tidak halangan baginya untuk berijtihad. Sebaliknya, bagi orang yang terbatas kemampuan ilmunya, kesanggupannya dan integritas-pribadinya, baginya diperkenankan untuk menjadi pengikut atau muttabi bahkan menjadi orang yang bertaqlid kepada salah satu mazhab empat.

Mazhab adalah masalah konstruksi hukum yang langsung mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, melalui Ijmak dan Qiyas di dalam menempuh metode berfikir untuk menyusun suatu sistem perundangan di dalam Hukum Islam. Sekali lagi, bukan masalahnya orang awam!

Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, Rais Akbar NU pernah menyusun suatu dokumen ilmiaah yang ditujukan kepada para ulama seangkatannya. Antara lain dikatakan di sana (terjemahan dari bahasa Arab) “Ihyau Amalil Fudlala fi Tarjamati Muqaddimati Al-Qanunil Asasi Li Jamiyyati Nahdlatil Ulama.”

“Rekan-rekan ulama, tua-tuan dari golongan orang yang bertaqwa! “Tuan-tuan adalah dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, golongan pengikut salah satu Empat Mazhab. Tuan-tuan telah menuntut ilmu Islam dari orang-orang besar para guru dari angkatan sebelum tuan-tuan.

Merekapun menuntut ilmu itu dari guru-guru mereka angkatan sebelum mereka dan dari angkatan sebelumnya. Demikianlah, maka dengan melalui jenjang yang sambung menyambung, akhirnya ilmu itu sampailah kepada tuan-tuan. Dengan penuh tanggungjawab tuan-tuan memelihara ilmu yang ada pada tuan-tuan, dari mana ilmu itu tuan-tuan peroleh dan siapa-siapa guru tuan-tuan itu.

“Tuan-tuanlah laksana perbendaharaa ilmu-ilmu Islam, bahkan tuan-tuan pulalah pintu gerbangnya. Siapapun jangan memasuki rumah perbendaharaan itu kecuali mestilah melalui pintu gerbangnya. Ingatlah, siapa-siapa memasuki rumah (perbendaharaan ilmu) tanpa melalui pintu-pintunya, lazim disebut pencuri!

Nabi besar telah bersabda: “Jangan kamu tangisi nasib Agama ini (Islam) jika (masih) dipimpin oleh orang-orang ahlinya. Tetapi tangisilah nasib agama (Islam) ini jika dipimpin (diurus) oleh orang-orang yang bukan ahlinya.” Hadis riwayat Ahmad, Al-Hakim dan Thabarani).

“Sungguh tepat sekali apa yang dikatakan oleh Sayyidina Umar Ibnul Khattab Radliyallahu anhu, bahwa orang munafik dalam bantahannya selalu menggunakan ayat-ayat Al-Quran juga, untuk merobohkan Islam!”

Dari wasiat Hadlratus Syaikh itu satu hal dapat kita jadikan pedoman, betapa sangat pentingnya fungsi dan peranan guru. Tidak satu orangpun bisa memperoleh ilmu tanpa guru, kecuali Nabi. Namun Rasulullah sendiripun mempunyai guru (sekalipun bukan dari kalangan manusia). Sabdanya yang terkenal: “Addabanii Robbii faahsana tadiibi”, artinya: “Tuhanlah yang mengajarku, Dia terus menyempurnakan ajaran-Nya padaku.”

Tidak satu orang bagaimanapun hebatnya bisa memahami Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung untuk merangkai sistem hukum-hukum dalam berbagai bidang tanpa perantaraan guru. Orang yang menamakan dirinya anti mazhab, biasanya berdalih “anti-taqlid” (tidak mau menjadi tukang mengekor).

Ia akan langsung memahami Al-Quran dan As-Sunnah, dan akan menetapkan sistem hukum sendiri di dalam melaksanakan Syariat Islam.

Harus dipersoalkan, dapatkah ia melakukan kehendaknya tanpa bantuan guru? Dari sejak belajar membaca Al-Quran saja toh memerlukan bantuan guru.

Apalagi memahami Al-Quran dan Al-Hadits dari segi bahasanya, makna yang terkandung di dalamnya seperti yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain, sebab diturunkan sesuatu ayat, hukum-hukum yang sama tingkatannya dan yang tidak sama, dan masih banyak lagi dari mukjizat Al-Quran yang mengandung 1000 ketakjuban itu pastilah menjadi satu kemustahilan seseorang akan sanggup memahami Al-Quran tanpa bantuan guru. Sedangkan para sahabat pilihan seperti Sayyidina Umar Ibnul Khatthab, Sayyidina Ali, Sayyidina Abdullah bin Masud, Siti Aisyah, Sayyidina Zaid bin Tsabit, dan berpuluh-puluh sahabat pilihan yang terkenal sebagai ahli-ahli masalah Al-Quran dan mereka yang hidup satu zaman dengan Rasulullah, meskipun demikian, mereka senantiasa menanyakan arti dan makna ayat-ayat Al-Quran kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihiwa sallam.

Soal lain yang harus dipermasalahkan ialah: Bagaimana orang awam yang tidak mempunyai ilmu pengetahun tentang Al-Quran dan Assunnah, bahkan membacanya saja tidak mampu, padahal sebagai seorang muslim ia wajib menjalankan syariat Islam? Apa yang harus diperbuat, jika sejak semula sudah dibayang-bayangi oleh momok “anti-taqlid”?

Memang, Islam mewajibkan semua pemeluknya belajar dan belajar, belajar sejak dari ayunan hingga liang kubur. Anjuran Islam itu tentu mengandung tujuan agar semua pemeluk Islam menjadi orang-orang yang tinggi ilmunya. Akan tetapi kondisi dan kesempatan yang dimiliki setiap orang tidak sama.

Di samping ada orang yang luar biasa ilmunya, ada yang hanya cukupan saja, bahkan banyak yang masih dalam tingkat minimal hingga yang paling tidak tahu apa-apa. Padahal Islam tidak membenarkan taklif, memaksakan diri melebihi batas kesanggupan seseorang setelah ia berusaha atau berikhtiar semaksimal mungkin. Keanehan-keanehan sering kita jumpai dalam masyarakat kita. Seorang anti bertaqlid kepada Imam Syafii atau Imam Ibnu Hajar atau Imam Ghazali, akan tetapi membiarkan dirinya bertaqlid kepada Muhammad Abduh dan sebagainya, bahkan membiarkan orang lain atau pengikutnya bertaqlid kepadanya!

Sejarah Imam-Imam Mujtahidin seperti: Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dipenuhi dengan kemampuan mereka yang amat luar biasa dan sangat mengagumkan ilmunya, ketekunannya, kecerdasannya, integritasnya, keberaniannya, kesanggupannya untuk berkorban, pengabdiannya kepada masyarakat, ibadahnya kepada Allah, kemahirannya dalam berdiskusi, daya ingatannya dan lain-lain kelebihan pribadinya yang oleh pendekar-pendekar ulama yang paling hebat di zamannya memang diakui keunggulan-keunggulannya. Yang mengakui itu orang lain dan golongan orang-orangnya, luar biasa keilmuannya, bahkan mengaku-aku kepada dirinya sendiri sebagai orang kampiun. Bahkan Imam Syafiii pernah berpesan kepada murid-muridnya, agar jangan apriori membenarkan pendapatnya. Para muridnya dianjurkan supaya menggunakan kesanggupannya semaksimal mungkin untuk menemukan suatu penemuan ilmiah, dan jika ternyata teruji kebenarannya, jangan mengikuti pendapat beliau.

Walhasil, bermazhab kepada salah satu Empat Mazhab adalah suatu keharusan yang logis, bahwa jalan untuk melaksanakan Syariat Islam mestilah melalui sistem dan metode yang telah dirangkai dan teruji kebenarannya menurut dunia Islam sejak dari zaman ke zaman.

Bukan saja Dunia Islam menerima dan mengaguminya, akan tetapi dunia ilmu pengetahuan yang manapun juga, menerimanya dengan penuh kekaguman.

Barat sendiri memanfaatkannya untuk bahan studi perbandingan. Tentulah para orientalis itu tidak berkepentingan apakah mereka akan melaksanakan atau tidak.

Akan tetapi dari segi perkembangan keilmuan serta perkembangan dunia perbandingan (menurut ukuran barat), maka karya-karya Imam Mujtahidin itu menimbulkan analisa-analisa dan komentar-komentar.

Masalah sistem bermazhab inilah mungkin yang dijadikan alasan orang-orang yang tidak memahaminya kemudian menilai bahwa NU adalah organisasi yang mempertahankan faham ortodoks. Kalau yang dimaksud dengan ortodoks itu teguh-teguh memegangi ajaran Islam memang benar, tetapi kalau yang dimaksud dengan ortodoks itu disamakan dengan jumud maka itu tidak benar. Sebab NU mempunya pegangan nilai-nilai yang satu diantaranya berbunyi:

الْمُحَافَظَة عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ والْاَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْاصْلَح

artinya: Memelihara sistem lama yang baik dan mengambil sistem baru yang lebih baik. Dengan demikian maka NU tetap dinamis tetapi selektif, artinya tidak semua yang baru modern diambil apalagi yang dapat merusak sendi-sendi agama.

 

 

Tags