Begini Petuah Berharga Kiai Ahmad Nafi’ Abdillah

 
Begini Petuah Berharga Kiai Ahmad Nafi’ Abdillah

Oleh M SOLAH ULAYA

LADUNI.ID, Jakarta - Beberapa tahun sebelum Kiai Nafi’ wafat, saya berkesempatan sowan untuk keperluan meminjam teks khotbah yang biasa dibaca di masjid Kajen. Sudah menjadi rahasia umum, bagi para tamu yang mempunyai keperluan atau problem, momen sowan paling efektif adalah setelah pengajian kitab al Hikam pada setiap hari Ahad pagi.

Setelah pengajian usai, saya pun sengaja mengambil posisi antre paling belakang saat bermusofahah dengan beliau—agar setelah musofahah bisa langsung duduk di ruang tamu bersama tamu lainya dan ikut nguping uneg-uneg para tamu tersebut sambil kadang mencatat dawuh dan petuah Kiai Nafi’. Di situlah kehati-hatian, kebijaksanaan, dan welas asih beliau sangat terasa.

Tidak jarang sebelum memberi solusi sebuah permasalahan, beliau bertanya terlebih dahulu agar permasalahanya jelas. Bahkan beliau sering tidak langsung menjawab, melainkan masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Tetapi ada pula yang belum sempat mengutarakan uneg-uneg-nya, Kiai Nafi’ sudah mendahului dengan memberi wejangan dan bacaan tertentu.

Tidak terasa satu jam lebih duduk dan mendengar petuah dan wejangan beliau, para tamu sudah meninggalkan majelis. Tinggal saya dan adik ipar saya yang belum matur. Senyum masih mengembang dan menghias wajah beliau yang meneduhkan. Kami pun mengutarakan maksud kedatangan kami. Selain untuk meminjam naskah khotbah, ada beberapa hal yang kami mintakan pertimbangan.

Tidak kami sangka, beliau malah bercerita panjang lebar tentang bagaimana beliau muthola’ah—belajar dahulu sebelum mengajar.

Nek ameh muthola’ah, ojo lali kirim fatihah disek khusus kanggo musonnefe.” (Ketika hendak membaca kitab, jangan lupa mengirim fatihah dahulu khusus kepada pengarangnya).

“Aku sering, nek pas wektu mutola’ah buntu. Tapi sak wise tak fatehahi, ora suwe-kok koyo-koyo kebuka dewe; ujuk-ujuk paham.” (Aku sering ketika waktu membaca kitab buntu, tapi setelah membaca fatihah tidak lama kemudian seperti kebuka sendiri; tiba-tiba paham.)

Begitu kira kira dawuh beliau.

Setelah itu beliau berdiri membuka almari kitab untuk mengambil naskah khotbah dan membawa satu naskah lain yang kami tidak tahu naskah apa.

Iki sanad jami’u marwiyyati (seluruh riwayat) Syeh Yasin Al Fadani. Aku kaget, wektu sowan dikon moco (dengan menghafal) nazam baiquniah, lagi oleh kiro-kiro sepuluh bait dikon mandek.” (Ini sanad Jamiu Marwiyyati (seluruh riwayat) Syaikh Yasin Al Fadani. Aku kaget, ketika sowan diminta membaca (dengan menghafal) nazam baiquniah, baru dapat sekitar sepuluh bait diminta berhenti).

Kemudian ditanya Syaikh Yasin, “Syin ismak?” (Siapa namamu?)

Tak jawab: “Ahmad Nafi’.”

Kemudian Syaikh Yasin menulis sanad di buku itu.

Yang aku heran, setelah tak baca, tulisannya bukan hanya Ahmad Nafi’, tapi: “Ahmad Nafi’ bin Abdillah bin Abdussalam Al Hajaini.”

“Yang kuherankan, Syaikh Yasin kok pirso, padahal Syaikh Yasin tidak pernah ke Kajen…”

Jelas beliau sambil tersenyum dan menunjukkan tulisan tangan Syaikh Yasin kepada kami yang dari tadi duduk mematung.