Biografi KH. Abdul Hannan Ma’shum

 
Biografi KH. Abdul Hannan Ma’shum

Daftar Isi Profil KH. Abdul Hannan Ma’shum

  1. Kelahiran
  2. Keluarga
  3. Pendidikan
  4. Mendirikan Pesantren
  5. Teladan

Kelahiran

KH. Abdul Hannan Ma’shum lahir di Boto Putih Kecamatan Canggu, Sebelah utara Dusun Kwagean. Beliau merupakan putra keempat dari dua belas bersaudara, dari pasangan Bapak Ma’sum, seorang buruh tani dan penjual kelapa asal Boto Putih dan Ibu Siti Nu’amah, seorang penjahit kecil-kecilan asal Krecek Pare.

Saudara-saudara beliau diantaranya, Bapak Khozin (Boto Putih), Ibu Binti ( Mangiran Pare), Agus Khodim (wafat pada usia 2 tahun), KH. Abdul Hannan Ma’shum (Pengasuh Pondok PFU), Agus Shohib (wafat pada umur 1 tahun), Ning Umaiyah (wafat pada umur setengah tahun), Agus Kholil (wafat pada umur 1 tahun), Ibu Istiqomah (Bringin Pare), Bapak Habib (Boto Putih), K. Romdli Anwar (Kebon Sari), Sedang dua diantaranya sudah meninggal dan belum diketahui namanya oleh penyusun.

Selain itu, KH. Abdul Hannan Ma’shum dilahirkan dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kesederhanaan, beliau rela menjadi buruh menanam singkong di kebun orang lain dengan upah beberapa singkong saja, ini dilakukan hingga beliau tamat SR (Sekolah Rakyat).

Terlebih, sikap berbudi luhur, tawadlu’ dan ketekunan beliau sudah terlihat sejak kecil, bahkan kalau bicara dengan orang lain beliau selalu menggunakan bahasa halus (Kromo Inggil). Sehingga orang yang bertemu langsung mengenal bahwa ini adalah Hanan Putra bapak Ma’sum. Masa kecil beliau tidak seperti anak kecil lainnya yang hanya suka bermain, akan tetapi lebih suka membantu orang tua dengan menggembala kambing, merumput, memelihara hewan peliharaan, seperti: itik, ayam dan lain-lain, walaupun demikian beliau juga suka mecari burung.

Keluarga

Atas dukungan sang guru beliau dan persetujuan orang tua dan keluarga dalam usia 27 tahun bulan Maulud tahun 1980 M beliau dinikahkan oleh KH. Zamroji dengan gadis dari Dusun Kwagean bernama Miftahul Munawaroh yang waktu itu masih berusia 16 Tahun, putri semata wayang dari pasangan H. Anwar dan Hj. Asmurah. Setelah melangsungkan pernikahan, beliau pindah dari Pondok kerumah mertua di-Kwagean barat. Dengan tanpa meninggalkan belajarnya selama 22 tahun di Pondok Kencong. Buah dari pernikahan beliau itu, beliau dikaruniai putra dan putri yaitu :

  1. Agus Moh. Miftah
  2. Ning Nur Habibah (Almh.) wafat pada 11 Desember 1999
  3. Agus Moh. Muhdlor
  4. Agus Muslim
  5. Ning Rif’atul Hasanah
  6. Agus Barizi
  7. Ning Zakiyatul Milah
  8. Agus Muhammad Idris
  9. Agus Muhammad Baha’uddin
  10. Ning Dzuhrotul Wafiyah
  11. Ning Fa’idatus Sirriyah
  12. Agus Ahmad Muhammad

Pendidikan

KH. Abdul Hannan Ma’shum memulai pendidikannya dengan belajar di Sekolah Rakyat (sekarang SD) dengan guru Bapak Jendol. Kemudian beliau meneruskan di Madrasah Wajib Belajar (MWB) sampai tingkat MTT (Madrasah Tingkat Tinggi). Ditambah selama 8 tahun dan tamat pada tahun 1965 M.

Pada umur sekitar 12 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di Pondok Pesantren Roudlotul ‘Ulum Kencong (sebelah timur Kwagean) yang diasuh oleh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji Syaerozi.

Di pesantren inilah beliau banyak menimba ilmu kurang lebih 15 tahun. Sebelum mondok di Pesantren tersebut beliau memang sudah dikenalkan dengan pengajian-pengajian didesanya layaknya pengajian salaf di Pondok Pesantren oleh Kiai didesanya, beliau sudah pernah mengaji “Sullam At-taufiq”, Tashrif istilahi dan lughowi bahkan beliau menghafalnya, disamping itu juga beliau sudah pernah mendapatkan ijazah serta mengamalkan Selawat Nariyah 4444 x dalam satu majelis.

Dari barokah selawat tersebut, pernah beliau dicari teman-temannya, akan tetapi tidak bisa menemukannya, padahal beliau hanya dikamar itu. Setelah yang mencari gurunya yang memberi amalan tersebut (Mbah Dul) barulah mereka bisa menemukanya. Karena keadaan ekonomi keluarga yang paspasan beliau jarang sekali mendapatkan kiriman dari orang tua, hanya kadang kala dua atau tiga bulan sekali dikirim beras dari rumah sekitar 10 Kg. dan 4/5 butir kelapa.

Dengan rasa penuh semangat adik beliau (KH. Romdli Anwar) selalu mengantarkan kiriman tersebut ke Pondok tersebut. Itupun hanya berjalan sekitar 6 tahun.

Tepatnya pada tahun 1971 M beliau dipanggil oleh Ibunda tercinta perasaan sedih dan kasihan ibunda berkata ”Nak..! Wes, kowe muliho wahe, Mak wes ora kuat ngragati maneh, gentenan karo adikmu” (Nak…! Sekarang pulang saja, ibu sudah tidak mampu membiayaimu lagi, gantian dengan adikmu. Red.).

Dengan mantap dan tanpa rasa takut sedikitpun beliau menjawab “Mak, kulo nyuwun pangestune mawon” (Sudahlah Bu, saya minta do’a restunya saja, Red). Bekal beliau hanyalah tekad dan niat yang teguh. Dengan meneruskan belajarnya lagi ± 9 tahun.

Dengan tekad yang kuat segala usaha pun dilakukan demi kesejahteraannya di Pondok tanpa menggantungkan pada orang tua, dalam masa itu beliau menjadi buruh menulis Kitab Alfiyah serta keterangannya, ± 100 buku pernah ditulisnya demi memenuhi kebutuhannya. Selain usaha dzohir juga usaha batinpun dilakukannya, bermacam-macam riyadhohpun beliau jalani demi cita-cita, antara lain :

  1. Puasa ngrowot (makanan selain bera ) selama 41 hari berturut-turut ± 10 tahun.
  2. Puasa tarkudziruh (makanannya tidak berasal dari hewani)
  3. Puasa mutih selama 41 hari berturut-turut
  4. Tidak pulang selama 3 tahun
  5. Sholat jamaah dengan menemui takbirotul ihromnya Imam ( + 3 tahun)
  6. Khidmah (Membantu dipesantren dan ndalem kiai)

Dengan semangat dan didasari kecintaan pada ilmu beliau juga dapat menghafal Alfiyah 1002 bait dan ‘Uqudul juman 1010 Bait. Pendidikan keras dan santun yang diajarkan sang guru membentuk karakter beliau menjadi seorang yang demokratis dalam berfikir. Beliau pernah dipanggil oleh pengasuh (KH. Zamroji) dan dinasehati :

“Saiki totonen kitabmu mulai cilik nganti gedhe” (sekarang tatalah kitabmu mulai yang kecil sampai yang besar, red).

“Ora usah poso-posoan, selagi iseh kuat mbancik ora usah mangan” (tidak perlu berpuasa, selagi masih kuat berdiri jangan makan, red).

“Nek dijalu’i ngaji sopowae gelemo, senajan jam 12 bengi” (ketika dimintai mengaji siapa saja, terimalah meskipun jam 12 malam, red).

Beliau merupakan orang yang mandiri dan tekun, sebagai Abdul Hanan muda yang hormat dan sangat ta’zhim pada sang guru. Beliau menunjukkan itu semua tak ketinggalan jiwa sosialnya, baik pada teman/kawan santri maupun pada Pesantren yang membimbing dan mendidiknya diantaranya sebagai tukang sapu, penimba kolah, pengajar al-Qur’an dan juga merangkap sebagai bendahara. Dengan didasari ketekunan dan keseriusan, beliau ditunjuk sebagai Kepala Madrasah dan Dewan Hakim, disamping mengurus lampu-lampu untuk penerangan Pondok Pesantren.

Selain mengaji di Pondok yang diasuh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji, beliau juga pernah mengaji tabarrukan Bulanan di Pondok lain seperti Pondok Pesantren Bathoan asuhan KH. Jamal, Pondok Pesantren Mranggen asuhan KH. Muslih, Pondok Pesantren Lirboyo asuhan KH. Mahrus Ali, dan Pondok Pesantren Sarang.

Mendirikan Pesantren

Setelah melaksanakan pernikahan, beliau mengadakan pengajian di rumah mertuanya, pada saat itu ada sekitar 96 murid yang rata-rata usianya lebih tua daripada beliau yang ikut mengaji. Pada waktu itu ada diantara santri yang bernama Imam Mawardi, KH. Masruri (Banyumas) dan Abdul Qodir (Bekasi) yang membuat brosur/plakat (surat edaran) tanpa sepengetahuan beliau, sebanyak 45 kitab yang dikhatamkan dalam 11 bulan, yang waktu itu beliau menetap dirumah mertuanya 11 bulan.

Dengan bertambahnya santri dan kurangnya sarana dan prasarana yang mamadai, akhirnya beliau berinisiatif untuk pindah ke-Kwagean bagian utara. Karena sudah pisah dari orang tuanya dan mertua, beliau harus berjuang mandiri baik terhadap sandang, papan, dan pangan keluarga juga terhadap rutinitas pengajian bagi para santri.

Untuk bisa menopang semua kebutuhannya dan keluarga, disamping berjuang tetap menjalankan rutinitas pengajian, beliau menjalankan usaha kecil-kecilan dengan berjualan singkong goreng, dengan hasil yang sangat minim beliau berusah mengumpulkan labanya untuk modal usaha lain yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya beliau mencoba membudi dayakan ayam kampung, dengan penuh kesabaran usaha tersebut berlanjut sampai-sampai beliau dapat membeli ayam ± 400 ekor untuk dijadikan bibit. Dengan usaha seperti itulah beliau jalani tanpa rasa bosan, akhirnya laba dari penjualan sedikit demi sedikit beliau kumpulkan untuk membeli sebidang tanah yang akhirnya menjadi Pondok Pesantren tercinta ini.

Pondok yang terkenal kesalafannya ini, pada mulanya bernama Miftahul ‘Ulum. Nama Miftah diambil dari asal kata Fataha yang berarti “Telah membuka” dengan tujuan agar Pondok ini menjadi sebuah pembuka segala sesuatu yang tertutup dan gelap. Sedangkan nama ‘Ulum sendiri tafa’ulan/tabarukan pada Pondok Roudlotul ‘Ulum Kencong, supaya tetap mendapatkan barokahnya. Namun karena terjadi kesamaan nama dengan nama Pondok Miftahul ‘ulum-Jombangan Pare, juga dengan nama Pondok Mranggen Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Muslih (guru beliau waktu mengikuti pengajian kilatan berkala) maka diganti dengan “Fathul ‘Ulum”.

Lambat laun keorganisasian pun terbentuk layaknya Pondok Pesantren lain, akhirnya kebutuhan dan keadaan yang mengharuskan Fathul ‘Ulum membuka lembaga-lembaga otonom dalam naungannya. Akhirnya Fathul ‘Ulum diantaranya mendirikan Madrasah Diniyyah yang diberi nama Futuhiyyah. Nama Futuhiyyah adalah nama yang memiliki kesesuaian dengan nama Podok induknya, dalam istilah nahwu Fathu dan Futuhiyyah adalah sama-sama musytaq (tercetak) dari fi’il madi Fataha.

Pada mulanya di Kwagean memang sudah terbentuk Madrasah Diniyah, yang di rintis ± Thn. 1974 M oleh para sesepuh dengan dibantu para pengajar dari Desa Kebon Sari yang pada waktu itu hanya memiliki tiga lokal, dan dalam penggunaannya siang untuk Putri dan malam untuk Putra. Setelah berjalan sekian lama, pada tahun 1983 M.

KH. Abdul Hannan muali andil dalam mengembangkan Madrasah tersebut, dengan menambah tenaga pengajar dari santrinya yang lambat laun Madrasah tersebut semakin berkembang seiring kemasyhuran beliau dikalangan masyarakat, sehingga Madrasah tersebut dirangkul dalam keorganisasian Pondok Fathul ‘Ulum, kemudian melihat pekembangan siswa yang signifikan mengharuskan penambahan sarana dan prasarana, yang asalnya memiliki tiga lokal, kini menjadi sebuah gedung putih berlantai tiga yang memiliki 12 lokal (Gedung Putih).

Teladan

Sebagai ‘Ulama, Pemimpin, dan tokoh masyarakat KH. Abdul Hannan Ma’shum menjadi tokoh panutan umat, segala tutur kata dan bentuk nyata selalu menjadi tolak ukur kehidupan masyarakatnya. Kedalaman ilmu dan santun kata serta perbuatan yang dilengkapi sikap khosyyah kepada Allah SWT merupakan ciri khas kepribadiannya yang sulit ditandingi, beberapa sikap yang ditempuh beliau dan barangkali sangat tepat untuk diteladani adalah sikap-sikap sebagai berikut :

Zuhud, Hidup mandiri, Tawadlu’ (rendah hati), Menjaga kebersihan (rapi), Sabar dan Teguh memegang prinsip.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya