Biografi Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, M.A., Pendiri Pesantren Dar Al-Qur'an, Cirebon

 
Biografi Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, M.A., Pendiri Pesantren Dar Al-Qur'an, Cirebon
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren

4.    Karir-Karir
5.    Chart Silsilah Sanad
6.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad., M.A lahir pada tanggal 21 Februari 1956, di Arjawinangun, Cirebon. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad dengan Nyai Umi Salamah bin KH. Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Sejak kecil, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad., M.A telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, beliau telah hafal tiga juz Al-Qur'an, yakni juz 28, 29, dan 30.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun beliau melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Sejak lama, Pesantren Lirboyo memang didominasi oleh para santri asal Cirebon dan sekitarnya.

Di pesantren terkemuka itu ia belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan sebagainya. Sementara di saat libur panjang beliau belajar ilmu di pesantren lain, antara lain: beliau pernah mengaji tabarruk kepada KH. Umar Abdul Manan (Solo) dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qur’annya. Meski tidak lama belajar kepadanya, tidak sampai dua bulan, beliau merasa sangat beruntung, karena bisa memperoleh syahadah sanad dari sang guru.

Keinginanannya yang kuat untuk mendalami Al-Qur’an membawanya meneruskan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (1973- 1976). beliau juga sempat belajar kepada KH. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan sekitar dua bulan, beliau diminta pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Makkah. “Meski demikian, bagi seorang santri, sesingkat apa pun masa belajarnya, ia harus bisa menyerap berbagai ilmu, termasuk akhlak dan keteladanan gurunya,” katanya.

Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. beliau berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Mula-mula beliau belajar di Makkah. Sekitar satu tahun, 1976-1977, beliau mengaji Al-Qur’an di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-`Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Qur’an. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.

Ketika itu yang memimpin lembaga tersebut ialah Syekh Shalih Al-Qazzaz, mantan sekjen Rabithah `Alam Islami. Yang juga banyak berperan di lembaga ini ialah Syekh Ibrahim Sa`ad, seorang Mesir yang mengatur metode menghafal Al-Qur’an. Masa itu merupakan kebangkitan Tahfizhul-Qur’an di Arab Saudi. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi para masyaikh qurra’ (guru-guru para pembaca Al-Qur’an) yang berasal dari Mesir, baik di Makkah, Jeddah, Madinah, maupun yang lainnya.

Pengajian di Masjidil Haram beliau ikuti pagi hari, sedangkan sore harinya beliau menuntut ilmu di Markaz Ta`lim al-Lughah al-`Arabiyyah. Karena sudah hafal Al-Qur’an, ketika belajar beliau hanya “menyetor” hafalan dan mendalami bacaannya. Di akhir tahun, beliau mengikuti ujian dan lulus, mendapat syahadah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat membaca Al-Qur’an secara hafalan dari awal hingga akhir.

Pada 1977 beliau berangkat ke Madinah Al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di sini beliau tidak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi beliau mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.

Selepas menamatkan pendidikan kesarjanaan, beliau melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Sedang untuk disertasi beliau menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M.

Dan akhirnya beliau meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, beliau menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. Di antara teman dari tanah air yang belajar di sana tapi beda angkatan adalah Hidayat Nur Wahid (ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Salim Seggaf Al-Jufri (dubes RI di Arab Saudi). Usai belajar di Madinah, beliau menjadi dewan penasehat di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, KH. Ibnu Ubaidillah.

Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an menarik perhatian banyak kalangan. Maka pada 1992, beliau diajak oleh KH. Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga beliau mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian beliau diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga kini.

Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, beliau masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Muhammad (ayah)
  2. Nyai Umi Salamah (ibu)
  3. KH. Umar Abdul Manan (Solo)
  4. KH. Ali MaksumPondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak
  5. KH. Arwani (Kudus)
  6. Syekh Abdullah Al-Arabi

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengasuh pesantren
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad., M.A adalah pendiri Pesantren Dar Al-Qur`an Kebonbaru, Arjawinangun, Cirebon.

4. Karir-Karir
Sejak 2 November 2005, beliau menjabat rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Qur’an. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu  Al-Qur’an, seperti Prof. KH. Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. H. Ibrahim Hosen (1977-2001).

Bukan itu saja tugas yang diemban beliau yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini beliau juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Qur’an, seperti Prof. Dr. H. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007.

Keahliannya dalam ilmu Al-Qur’an membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan beliau diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu beliau tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu beliau bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis beliau di Jakarta, hari-hari lain beliau habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.

5. Chart Silsilah Sanad
Simak chart silsilah sanad guru Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad., M.A dapat dilihat DI SINI.

6. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: NU Online


Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 21 Februari 2023, dan Kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 21 Februari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya