Kisah Abu Nawas: Surga dan Bidadari Dalam Sebuah Topi

Laduni.ID, Jakarta - Suatu hari Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat ke dalam topinya. Orang banyak perhatikan ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran.
Apakah Abu Nawas telah gila? Apalagi dia melihat ke dalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia.
Salah seorang datang menghampiri Abu nawas, "Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?"
"Aku sedang melihat surga lengkap dengan barisan bidadari," kata Abu Nawas dengan wajah cerah dan senyum puas.
"Coba aku lihat!"
"Saya tidak yakin engkau bisa melihat seperti yang aku lihat".
"Mengapa?"
"Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat surga di topi ini," tegas Abu Nawas meyakinkan.
"Coba aku lihat," kejar si penanya penasaran.
"Silahkan!"
Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat ke arah Abu Nawas, "benar kamu, aku melihat surga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah, Allahu Akbar," kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak.
Abu Nawas tersenyum. Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah Abu Nawas ingin pula membuktikan apakah benar ada surga di dalam topi itu.
Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua, "ingat, hanya orang beriman dan sholeh yang bisa melihat surga di dalam ini. Yang tidak beriman tidak akan bisa melihat apapun".
Satu demi satu orang melihat ke dalam topi Abu Nawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat surga dan ada juga yang mengatakan Abu Nawas bohong. Abu Nawas tetap tenang saja sambil menebar senyum.
Mereka yang mencoba dan gagal merasa tertipu. Mereka tidak melihat surga apapun dalam topi itu, dengan penuh amarah, mereka melaporkan kejadian ini kepada khalifah Harun Ar-Rasyid dengan tuduhan bahwa dia telah menebarkan kebohongan di hadapan rakyat banyak.
Hingga pada suatu hari, khalifah Harun merasa penasaran dengan kabar tersebut, dan segera memanggil Abu Nawas untuk menghadap di istana. Dengan suara yang tegas dan lantang, Harun Ar-Rasyid bertanya,
"Abu Nawas! Benarkah berita yang kudengar bahwa kau mengklaim ada surga dan bidadari di dalam topimu?"
Abu Nawas tersenyum tenang dan menjawab, "Benar tuan, Namun, hanya orang yang beriman dan sholeh yang mampu melihatnya. Bagi mereka yang tidak dapat melihat surga tersebut, itu berarti mereka tidak memiliki keimanan yang cukup, bahkan mungkin termasuk golongan kafir"
Khalifah Harun merasa tertantang oleh jawaban Abu Nawas. Tanpa ragu, ia langsung memutuskan untuk membuktikannya sendiri. Ia mengambil topi Abu Nawas, memutar-mutar dari berbagai sudut-dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah-namun, tentu saja, tidak ada surga yang terlihat. hanya kekosongan di dalam topi tersebut.
Raja terdiam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa melihat apa-apa. Namun, pikiran lain segera menyergap benaknya.
" Jika aku mengatakan bahwa aku tidak melihat surga, maka rakyat akan menganggapku tidak beriman dan kafir. Reputasiku sebagai raja bijak dan adil bisa hancur. Apa yang harus kulakukan?"
Setelah beberapa saat berfikir, Harun Ar-Rasyid akhirnya membuat keputusan. Dengan suara lantang dan penuh keyakinan, ia berkata, "Benar! aku sebagai saksi bahwa di dalam topi Abu Nawas, memang ada surga beserta sederetan bidadari." Kata-katanya bergema di seluruh ruangan istana.
Mendengar pernyataan beliau, rakyat pun serentak percaya pada cerita Abu Nawas. mereka tidak berani berbeda pendapat, sebab siapa yang berani menentang? Rasa takut dianggap tidak beriman atau melawan otoritas membuat mereka memilih diam dan mengikuti arus.
Dari kisah ini, kita dapat memetik pelajaran yang dalam. Betapa sering kita bersikap fomo dan terburu-buru dalam menanggapi sebuah berita, terutama yang dibalut dengan isu agama. Baik tua maupun muda, kita sering kali merasa cemas jika tidak ikut-ikutan atau sejalan dengan arus opini yang berlaku. Takut dianggap tidak beriman, takut dikucilkan karena dianggap berbeda, semua itu bersumber dari minimnya ilmu dan pengetahuan yang kita miliki.
Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh para penyebar fitnah dan pengadu domba masa kini. Mereka tahu bahwa dengan memainkan isu yang sensitif, mereka bisa memecah belah bangsa kita. Keadaan seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya menimba ilmu, berpikir kritis, dan tidak mudah terjebak dalam permainan emosi yang bisa menyesatkat kita.
Hanya dengan bekal ilmu yang cukup, kita bisa menjaga diri dan bangsa dari segala bentuk perpecahan. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 30 Desember 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
----------------
Penulis: Rasmehdi Amsari
Editor: Iqbal
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...