Catatan Seputar Mualaf: dari Yahya Waloni Hingga Martin Lings

 
Catatan Seputar Mualaf: dari Yahya Waloni Hingga Martin Lings

LADUNI.ID, Jakarta - Beberapa tahun silam di Jember ada muallaf. Kabarnya mantan pemeluk Hindu. Dia sering bertamu ke beberapa tokoh agama dan bercerita soal hidayah yang dia raih. Sambil dengan halus minta fulus. Awalnya sih oke. Tapi kalau tiap bulan nodong "jatah" sembari mengandalkan status muallafnya, padahal secara fisik masih sehat dan kuat bekerja, berarti ada yang nggak beres. Dan, benar, setelah ditelusuri, dia pengangguran. Kerjaannya hanya minta-minta dan tidurnya di hotel. Gileeee.

Kalau ada orang masuk Islam, saya senang. Ada saudara baru dalam keimanan. Harus diperlakukan dengan baik. Maklum, pendatang baru. Dihormati. Jangan heran kalau muallaf menjadi salah satu penerima zakat, meskipun di zaman Sayidina Umar, mekanismenya diperketat karena ada indikasi dijadikan modus ekonomis belaka.

Di era awal dakwah di Nusantara, para dai juga memilih pola dakwah top-down. Raja diislamkan dulu, agar rakyat bisa ikut. Ini pola di Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Gowa-Tallo, dan kawasan Jaziratul Muluk (Maluku). Para raja muallaf ini kemudian banyak membantu syiar dakwah Islam di kawasan sekitar kerajaannya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN