"Futuh", Kisah Perjalanan Keilmuan Syaikh al-Rais Ibnu Sina

 

LADUNI.ID, Jakarta - Syaikh al-Rais Ibnu Sina pernah bercerita tentang perjalanan keilmuannya:

"Ayahku berasal dari Balkh. Lalu pindah ke Bukhara pada masa Nuh bin Manshur. Beliau menikahi ibuku dan tinggal di sana. Aku lahir di sana. Ayahku mendatangkan pengajar Alquran dan pengajar sastra. Ketika berumur sepuluh tahun, aku telah hafal Alquran dan banyak sastra hingga banyak yang takjub kepadaku.

"Aku mempelajari kitab-kitab fisika dan metafisika. Pintu-pintu ilmu pun terbuka padaku. Kemudian aku ingin mempelajari ilmu kedokteran. Aku membaca kitab-kitab tentangnya. Ilmu kedokteran bukanlah ilmu yang susah. Gak heran aku mampu menguasainya dalam waktu yang sangat singkat. Hingga pembesar-pembesar kedokteran belajar ilmu kedokteran padaku. Ketika itu, aku masih berumur 16 tahun."

"Kemudian aku menfokuskan diri selama satu setengah tahun. Maka aku mempersiapkan diri membaca Mantiq dan seluruh bagian-bagian dari filsafat. Dalam masa pencarian ilmu ini, sekalipun aku tidak pernah tidur sepanjang malam hari dan di siangnya, kesibukanku hanya untuk ilmu. Setiap kali aku kebingungan dalam satu masalah, berulang kali aku pergi ke masjid. Shalat kemudian mengadu kepada Allah. Hingga Allah men-futuh aku. Malam hari aku pulang ke rumah. Aku letakkan lentera di sampingku dan menyibukkan diri dengan membaca dan menulis. Manakala aku ketiduran atau merasakan letih, aku meneguk segelas minum hingga kekuatanku kembali lagi. Aku kembali membaca. Seringkali kali aku ketiduran, hingga aku bermimpi permasalahan tersebut sampai-sampai banyak sekali permasalahan yang terbuka dalam mimpi."

"Suatu hari aku membaca kitab metafisika Aristoteles dan aku sama sekali tak paham. Maksud pengarangnya buram dalam pikiranku hingga aku mengulanginya 40 kali dan aku berhasil menghafalnya. Namun aku belum juga paham dan aku pun menyerah. Tidak ada jalan untuk memahaminya! Ucapku. Suatu hari, tepatnya pas Ashar, aku berada di para penjual kitab. Ada salah seorang tukang lelang kitab. Di tangannya terdapat satu jilid kitab. Ia menawarkan kepadaku. Aku menolak dengan jengkel sembari meyakini tak ada manfaat dalam ilmu ini. Dia berkata padaku: "Belilah kitab ini! Murah kok. Aku menjualnya 3 dirham kepadamu. Pemiliknya butuh harga segitu."

Maka aku pun membeli kitab itu. Ternyata itu kitabnya Abu Nashr al-Farabi tentang maksud kitab Metafisika-nya Aristoteles. Aku kembali ke rumah. Kubaca kitab itu dengan cepat. Maka seketika itu, aku mendapatkan futuh dari kitab tersebut sebab aku telah hafal di luar kepala. Aku benar-benar sangat senang dengan hal itu. Di hari kedua, aku bershadaqah dengan jumlah yang banyak kepada para faqir. Bentuk syukur-ku kepada Allah." (Disarikan dari Tarikh al-Hukama, karya Jamaluddin al-Qifthi).

***

Syaikh Sa'ad Taftazani dulu sangat bodoh. Sulit paham. Beliau ketika itu masih berumur 11 tahun. Setiap kali ingin bertanya kepada sang guru, kawan-kawannya berlomba-lomba menertawakannya. Setiap kali beliau mengangkat tangan, kawan-kawannya mengejeknya. "Kita akan mendengarkan sesuatu yang lucu!"

Suatu hari kawannya mengajak Syaikh Sa'ad Taftazani bermain. Beliau menolak karena ingin menulis apa yang disampaikan gurunya. Kawannya mencercanya: "Engkau goblok! Apa gunanya buat kamu!"

Kalimat itu membuat hatinya sedih. Kemudian beliau menangis. Beliau tidur sembari menangis. Setelah itu, beliau mimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpi Rasulullah meludahinya. Ludah tersebut ditelan oleh syaikh Sa'ad Taftazani. Setelah itu beliau bangun. Lalu beliau berkata: "Tiba-tiba setiap aku membaca apapun, aku pasti langsungpaham."

Syaikh Taftazani pergi ke Dars. Beliau bertanya dan ditertawai oleh kawan-kawannya. Beliau bertanya dan sang guru terkejut dengan pertanyaannya. "Pertanyaan ini bukan darimu." Hari-hari berikutnya beliau terus bertanya hingga sang guru tak bisa menjawab. Akhirnya di umur 16 tahun, beliau mengarang kitab Syarah Tasrif al-Zanjani. Itu kitab pertama yang ditulis. Sekarang menjadi rujukan madrasah-madrasah di seluruh dunia.

Faidah dari Dars syaikh Hussam

Syaikh Hussam pernah ditanya: "Maulana, berapa lama saya bisa menyelesaikan marhalah ini (marhalah Tahsil al-Ilm)?" Beliau menjawab: "Tatkala Allah telah memberimu taufiq." (Madinatul Buuts, 11 Maret 2019)