Marhamdani, Anak Petani yang Jadi Lulusan Terbaik Fakultas Kedokteran Unsoed

 
Marhamdani, Anak Petani yang Jadi Lulusan Terbaik Fakultas Kedokteran Unsoed

LADUNI.ID, Boyolali - Adalah Marhamdani, pemuda kelahiran Kabupaten Boyolali 22 tahun silam, anak pasangan Sumadi dan Almarhumah Ismiranti yang memiliki kisah insipratif dan memotivasi. Pasalnya, menempuh jenjang pendidikan untuk menjadi dokter selalu terbayang dengan mahalnya biaya tersebut.

Namun, Marhamdani mampu menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Unsoed) dengan meraih predikat Cumlaude.  Dia mengaku tak pernah membayangkan raihannya saat ini, lantaran keadaan ekonomi yang tak mendukung dan membuatnya sempat minder saat akan mendaftar kuliah kampus.

"Senang rasanya bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran ini. Saya dahulu setelah lulus SMA ingin mengambil jurusan teknik. Tidak berani memilih kedokteran, meskipun dengan adanya beasiswa saya khawatir tetap membutuhkan biaya yang besar," terang pemuda yang akrab disapa Dani, saat prosesi wisuda ke 136 di Gedung Grha Widyatama Unsoed Purwokerto, sebagaimana dikutip Laduni.id dari laman Suara.com, Selasa (10/3).

Dani merupakan lulusan terbaik Fakultas Kedokteran Unsoed dengan mendapatkan IPK nyaris sempurna, 3,92 dengan masa studi 3,5 tahun. Di balik kesuksesannya menjadi lulusan terbaik, terdapat tantangan yang berbeda dari rekan di kampusnya. Dalam kehidupan sehari-harinya, ia hanya mengandalkan uang dari beasiswa bidikmisi.

"Saya dalam sebulan dapat beasiswa sebesar Rp 700 ribu. Setengahnya dipakai untuk biaya kos, setengahnya lagi saya pakai untuk hidup sehari-hari. Alhamdulillah cukup," ujarnya.

Selain itu, Dani juga mengaku tak pernah mengandalkan kiriman dari orangtuanya yang berprofesi sebagai buruh tani. Lantaran penghasilan ayahnya yang tak menentu karena bergantung pada masa panen lahan garapan milik orang lain. Sedangkan ibunya sudah berpulang terlebih dahulu.

"Saya sering ditelepon sama bapak, ditanya uang saku. Tetapi, saya selalu jawab masih cukup. Kadang kalau dari bapak dikirim Rp 100 atau Rp 200 ribu. Tidak pernah tentu. Nggak enak juga, soalnya seumuran saya di desa sudah pada kerja," kata sulung dua saudara ini.

Dani yang sederhana dalam menjalani hidup di perantauan, juga tercermin dalam mengelola uang saku yang berasal dari beasiswa bidikmisi. Pada awal kuliah, ia membeli sepeda gunung berwarna hitam, yang digunakan sehari-hari dari kosan ke kampusnya. Ia tak pernah sedikitpun merasa minder, justru Dani merasa beruntung memiliki teman-teman yang baik, terbuka dan penuh pengertian.

"Saya sama sekali tidak memiliki kesulitan untuk berproses bersama teman teman saya, terutama teman-teman seangkatan karena semua saling mendukung. Karena saya tak memiliki biaya cukup, jadi kebutuhan buku saya sering pinjam ke teman. Atau kalau tidak ada ya saya browsing di internet. Kan sekarang mudah," terangnya.

Bukan hanya itu saja, selain arahan dari gurunya semasa di SMA agar mengambil jurusan kedokteran, motivasi terbesarnya untuk menjadi seorang dokter adalah pesan dari almarhumah ibunya sebelum meninggal.

"Dulu sebelum ibu meninggal karena sakit yang cukup lama, ibu sempat bilang kepada saya agar menjadi dokter. Supaya bisa membantu orang yang membutuhkan. Hal itulah yang memacu semangat saya untuk tidak gampang menyerah meskipun tak memiliki banyak biaya," katanya.

Rencananya, setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Unsoed, ia memiliki keinginan untuk melanjutkan spesialis patologi anatomi. Namun, sebelumnya ia harus melanjutkan masa studi coas terlebih dahulu selama 1,5 tahun.

"Kalau keinginan melanjutkan sih ada tapi dipikir sambil jalan dulu. Penginnya ke spesialis patologi anatomi yang melihat sel-sel ganas. Atau gampangnya itu ya melihat perubahan dari sel ganas ke arah kanker," pungkas Dani.