Belajar dari Empat Model Sekolah di Era 1950-an

 
Belajar dari Empat Model Sekolah di Era 1950-an

LADUNI.ID, Jakarta - Pada sekitar tahun 1950-an, orang Kediri memiliki cara yang sangat unik dalam mengatur dan memetakan pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka memiliki cara yang strategis untuk mengembangkan pendidikan demi kepentingan keislaman dan untuk konsolidasi wawasan serta pembinaan karakter kebangsaan masyarakatnya ke depan.

Dalam catatan yang ditulis oleh Ahmad Baso, pada tahun 1950-an itulah terdapat denah lokasi bagi empat sekolah Islam di Kediri, tepatnya di Kecamatan Pare. Denah lokasi ini kemudian oleh tim Geertz dkk disebut sebagai Mojokuto. Empat lokasi sekolah tersebut adalah sekolah NU, sekolah Muhammadiyah, sekolah Taman Siswa dan sekolah PSII.

Pertama, sekolah NU. Sekolah ini dikembangkan untuk mendalami pengetahuan mengenai Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja, mendalami ilmu-ilmu keagamaan yang berasal dari ulama-ulama terdahulu, serta untuk mendalami kitab-kitab klasik yang saat ini dikenal sebagai kitab kuning, atau kitab gundul. Bagi anak didik yang ingin memahami bidang keilmuan tersebut akan dimasukkan ke dalam sekolah NU.

Kedua, sekolah Taman Siswa. Sekolah ini adalah bertujuan untuk mendidik para murid agar mengetahui sekaligus memahami dan mempraktikkan tentang patriotisme dan wawasan kebangsaan.. Sekolah ini bertujuan untuk menciptakan siswanya agar menjadi manusia yang merdeka dan terhormat sebagai bangsa Indonesia. Para orangtua yang menginginkan anaknya untuk mendalami bidang tersebut kemudian dimasukkan ke sekolah Taman Siswa ini.

Ketiga, sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini dipetakan untuk murid yang ingin menambah wawasan ilmu-ilmu baru, seperti matematika dan bahasa Indonesia yang modern. Jika orang tua ingin anaknya agar bisa mengetahui ilmu-ilmu modern maka dimasukkan ke sekolah Muhammadiyah.

Keempat, sekolah PSII, yakni sekolah yang bertujuan untuk menciptakan siswa-siswanya yang memahami pergerakan umat Islam untuk agama, bangsa dan negara. Di sekolah ini juga diajarkan bagaimana cara orang Indonesia mencintai tanah air. Bagi orang tua dulu yang ingin memiliki anak yang paham pada bidang ini maka dimasukkan ke dalam sekolah PSII.

Dengan model pemetaan denah lokasi demikian, masyarakat di Kediri tidak akan ada kecenderungan untuk saling adu keunggulan dan juga tak akan bertabrakan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya karena sudah memiliki fokusnya masing-masing.

Kendati begitu, sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Baso, keadaan menjadi berubah ketika datang kemudian tim Geertz dari Amerika dan terjadilah pengaduan di antara lembaga pendidikan yang sebelumnya sudah terpetakan secara baik. Antara sekolah tradisional kemudian diadu dengan sekolah modern, sebagaimana terlihat pada pendidikan Islam pasca-kolonial.

Selain itu, Ahmad Baso juga menulis bahwa terdapat gambaran dari cerita para kiai dan pengurus NU dahulu bahwa mereka selalu dikader di sekolah NU dan di sekolah Taman Siswa. Bahkan, sekolah Taman Siswa binaah Ki Hajar Dewantara dianggap lebih berkembang di Jawa Timur daripada tempat kelahirannya di Yogyakarta, sebagaimana ditulis oleh sejarawan Taman Siswa.

Ketika kita refleksikan ke sekolah-sekolah yang ada sekarang, rasa-rasanya sangat berbeda jauh dengan lembaga pendidikan atau sekolah di masa dahulu. Dalam pandangan Ahmad Baso, karakter pembibitan sebagaimana keempat model sekolah di atas, ternyata kini sudah hilang. Malah kini berkembang sekolah negeri, sekolah unggulan, dan macam-macam yang ke semuanya hanya ingin mendapat ijazah.

Dari realitas sejarah ini kita jua bisa belajar bagaimana pendidikan harus dilakukan di Indonesia sesuai dengan karakter kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teori dan materi yang selama ini banyak diimpor dari Barat dan Timur setidaknya perlu dilakukan evaluasi, terutama evaluasi tentang efektivitas bagi pengembangan karakter manusia Indonesia.