Kilas Balik Sejarah Singkat Berdirinya Nahdlatul Ulama

 
Kilas Balik Sejarah Singkat Berdirinya Nahdlatul Ulama
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setibanya di Tebuireng, santri muda bernama As’ad (KH. R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo) menyampaikan titipan tasbih yang dikalungkan pada dirinya oleh KH. Cholil Bangkalan. As'ad mempersilakan KH. Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari lehernya. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kyai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih tersebut yang merupakan amanah dari KH. Cholil Bangkalan untuk disampaikan kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Sebab itu, tasbih itu tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kyai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad, “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Spontan saat itu As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”. Dua Asmaul Husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kyai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010).

Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang terjadi pada akhir tahun 1925. Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an berupa Surat Taha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa AS. Berikut bunyi ayatnya:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يٰمُوْسٰى قَالَ هِيَ عَصَايَۚ اَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَاَهُشُّ بِهَا عَلٰى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ اُخْرٰى قَالَ اَلْقِهَا يٰمُوْسٰى فَاَلْقٰىهَا فَاِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْۗ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الْاُوْلٰى وَاضْمُمْ يَدَكَ اِلٰى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاۤءَ مِنْ غَيْرِ سُوْۤءٍ اٰيَةً اُخْرٰىۙ لِنُرِيَكَ مِنْ اٰيٰتِنَا الْكُبْرٰى ۚ

“Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa?” (Musa) berkata, “Ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya, merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan memiliki keperluan lain padanya.” (Allah) berfirman, “Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!” Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Ambillah dan jangan takut! Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula. Letakkanlah (telapak) tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar dalam keadaan putih (bercahaya) tanpa cacat sebagai mukjizat yang lain. (Kami perintahkan itu) untuk memperlihatkan kepadamu sebagian tanda-tanda kebesaran Kami yang terbesar.”

Awalnya, KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kyai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kyai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum melakukan shalat Istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kyai Hasyim dalam menyambut permintaan Kyai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kyai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kyai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kyai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.

Hasil dari istikharah Kyai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH. As’ad Syamsul Arifin. Beliau mengungkapkan, bahwa petunjuk hasil dari istikharah Kyai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH. Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.

Dari petunjuk itu, lalu Kyai As’ad yang ketika itu masih menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kyai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim, sebagaimana dikisahkan di awal.

Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang, kemudian menjadi jelas tergambarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu hanya pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan, sosial-masyarakat, bahkan juga sebagai respons terhadap keadaan dunia saat itu.

Digawangi oleh KH. Wahab Chasbullah, sebelumnya para kyai pesantren pernah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada tahun 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada tahun 1918.

Selain itu, sebelumnya ada juga fakta bahwa pada tahun 1914 Kyai Wahab Chasbullah juga pernah mendirikan kelompok diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar atau "kawah candradimuka pemikiran", ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas.

Komite Hijaz

Embrio lahirnya NU juga tidak bisa terlepas dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren saat itu ialah adanya kabar bahwa Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggapnya bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Ketika itu ia hanya ingin menerapkan paham Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.

Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bagi ulama pesantren, sentimen anti mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.

Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH. Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Central Comite Al-Islam (CCI) -dibentuk tahun 1921- yang kemudian bertransformasi menjadi Central Comite Chilafat (CCC) -dibentuk tahun 1925- akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.

Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kyai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kyai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.

Kyai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH. Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kyai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut.

Hal ini membuat Kyai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH. Hasyim Asy’ari.

Perhitungan sudah matang dan izin dari KH. Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Makkah. Para ulama dipimpin KH. Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.

Namun setelah KH. Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kyai Asnawi? Maka dari sinilah kemudian lahir jam’iyah yang bernama Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M.

Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Selama satu abad lebih, NU sejak awal kelahirannya hingga saat ini telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia dan memberikan inspirasi kepada dunia terkait pemahaman Islam yang toleran dan keteladanan sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Sebagai warga Nahdliyyin kita pasti tahu, bahwa setiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, yakni pada tanggal 31 Januari dan 16 Rajab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 09 September 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Hakim