Biografi Kyai Ageng Wonosobo ( Syekh Ngabdullah Al-Akbar) Tokoh Penyebar Agama Islam di Wonosobo

 
Biografi Kyai Ageng Wonosobo ( Syekh Ngabdullah Al-Akbar) Tokoh Penyebar Agama Islam di Wonosobo

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Kyai Ageng Wonosobo
1.3  Nasab Kyai Ageng Wonosobo
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Wonosobo  

2.1  Guru-guru Kyai Ageng Wonosobo

3.  Penerus Kyai Ageng Wonosobo

3.1  Anak Kyai Ageng Wonosobo

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Wonosobo

5.  Keteladanan Kyai Wonosobo

6.  Referensi

 

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Kyai Ageng Wonosobo adalah putra dari Raden Bondan Kejawan atau Raden Lembu Peteng dan Dewi Retno Nawang Sih putri dari Kyai Ageng Tarub. Beliau terlahir dengan nama Syekh Abdullah Al-Akbar.

1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Wonosobo

Kyai Ageng Wonosobo menikah dengan putri Demang Wonosobo Dyah Plobowangi dikarunia anak yaitu:

  1. Kyai Ageng Wonosobo II

1.3 Nasab Kyai Ageng Wonosobo

Nasab Kyai Ageng Wonosobo jika diambil dari Jalur Bapak beliau masih keturunan dari Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi. Dengan Silsilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi + Dewi Wandan Kuning
  2. Raden Bondan Kejawan atau Raden Lembu Peteng
  3. Kyai Ageng Wonosobo atau Syekh Ngabdullah AL-Akbar

Nasab Kyai Ageng Wonosobo jika diambil dari Jalur Ibu beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW. Dengan silsilah sebagai berikut :

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
  3. Al-Imam Al-Husain bin
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq bin
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
  11. As-Sayyid Ubaidillah bin
  12. As-Sayyid Alwi bin
  13. As-Sayyid Muhammad bin
  14. As-Sayyid Alwi bin
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  19. As-Sayyid Abdullah bin
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
  22. As-Sayyid Barakat Zainal Alam
  23. As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
  24. As-Sayyid Ibrahim atau Kyai Ageng Tarub
  25. Dewi Retno Nawang Sih tau Syarifah Sufiyah
  26. Kyai Ageng Wonosobo Atau Syekh Ngabdullah Al-Akbar

1.4 Wafat

Kyai Ageng Wonosobo dimakamkan daerah dusun Wanusebo desa Plobangan Selomerto. Wonosobo

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Wonosobo

Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Raden Bondan Kejawan atau Kyai Ageng Tarub Anom

2.1 Guru-guru Kyai Ageng Wonosobo

  1. Raden Bondan Kejawan atau Kyai Ageng Tarub II
  2. Kyai Ageng Tarub I

3  Penerus Kyai Ageng Wonosobo

3.1 Anak Kyai Ageng Wonosobo

  1. Kyai Ageng Wonosobo II

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Wonosobo

Menelusuri sejarah Mataram Islam maka pasti tersebut salah satu nama yaitu Kyai Ageng Getas Pendowo. Sebagai salah satu leluhur Dinasti Mataram maka Kyai Ageng Getas Pendowo juga mewarisi nama besar trah keturunan Prabu Brawijaya V Raja terakhir Kerajaan Majapahit yang kemudian tercatat keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama dan gelar Kyai Gede, Kyai Ageng, Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki makna sebagai tokoh besar dalam bidang keumatan (keagamaan) maupun tokoh pemerintahan yang dihormati. Sebab dianggap memiliki kelebihan dan kemampuan dalam sifat-sifat keteladanan dan kepemimpinan dalam suatu wilayah.

Menurut catatan dalam Babad Tanah Jawi jika Prabu Brawijaya terakhir kali memiliki istri yang berjuluk putri Wandan Kuning dan berputra Raden Bondan Kejawan/ Arya Lembu Peteng yang merupakan murid sekaligus anak mantu dari Kyai Ageng Tarub. Sebab Arya Lembu Peteng menikah dengan putri Kyai Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu seoranh Bidadari yang bernama Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinan antara Raden Lembu Peteng dengan Dewi Nawangsih telah melahirkan 3 orang anak salah satunya adalah Kyai Ageng Wonosobo.

Dengan demikian Kyai Ageng Wonosobo merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V dan juga cucu dari Kyai Ageng Tarub. Jika ditarik lagi keatas dari kakeknya yaitu Prabu Brawijaya merupakan trah Rajasa yang berarti Ken Arok atau Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi yang merupakan pendiri Kerajaan Singhasari yang memerintah pada pada 1222 – 1227. Sekaligus juga pendiri Wangsa Rajasa. Sehingga dalam darah Kyai Ageng Wonosobo mengalir darah Wangsa Rajasa.
Kakeknya dari pihak ibu yaitu Kyai Ageng Tarub menurut berbagai sumber merupakan keturunan dari Syekh Maulana malik Ibrahim dan masih keturunan dari Nabi Muhammad SAW. 

Dalam kehidupan masyarakat jawa kuno secara sosiologis dibagi menjadi tiga golongan yaitu Begawan, Bangsawan dan Kawula Dasih. Golongan Begawan adalah orang yang menjalankan hidup asketis dengan mengarungi laku batin. Adapun golongan bangsawan merupakan trahing kusuma rembesing madu yang di darahnya merupakan keturunan ningrat sehingga biasanya dalam hidupnya memiliki tekad dan pengabdian yang kokoh dalam hal kepemimpinan. Untuk tekad tersebut demi kedamaian negara dan dunia, mereka rela rawe-rawe rantas malang-malang putung, meski harus mengorbankan jiwa dan raga. Adapun golongan Kawula Dasih adalah golongan rakyat dengan berbagai profesi sehari hari yang berjalan secara berkesinambungan sehingga terwujudlah negara yang aman nan tenteram.

Berdasarkan berbagai kisah dan bukti bukti pendukung lainnya jauh sebelum Kyai Ageng Wonosobo datang ke Wonosobo, terlebih dahulu sudah dikenal beberapa tokoh yang tersohor tinggal di wilayah tersebut. Tercatat ada tiga tokoh pengelana yang sampai dikawasan ini yaitu Kyai Kolodete yang legendaris di dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim yang melegenda didaerah Kalibeber dan Kyai Walik yang tersohor disekitar Kota Wonosobo saat ini.

Kedatangan Kyai Ageng Wonosobo tidak terlepas dari misi dakwah Islamiyah sebab peradaban Wonosobo jauh sebelumnya adalah peradaban yang bercorak hindu – budha hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa peninggalan seperti candi Dieng, Candi Bogang dan lain sebagainya. Bahkan kawasan Candi Dieng dipercaya sebagai pusat ritual bagi agama Hindu pada era Mataram Kuno. Hal ini bertitik tolak dengan adanya berbagai temuan terbaru berupa ondo budho yang menunjukan jika Candi Dieng adalah kompleks candi sebagai kawasan pusat pendidikan di bidang keagamaan.Demikian dikawasan tersebut juga masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap terkait dengan asal usul dan pendiriannya. Dikawasan Candi Dieng belum lama ini telah ditemukan artefak yang berupa tangga batu yang disebut sebagai ondo budho yang diyakini sebagai peninggalan abad tujuh dan delapan di masa Mataram Kuno.

Sehingga candi ini menurut studi para ahli disebut sebut sebagai candi tertua di Jawa Tengah.
Kyai Ageng Wonosobo nama sebelumnya adalah Ngabdullah yang datang dari daerah Grobogan, Purwodadi. Berdasarkan keberadaan nisan makam orang tuanya yang sekarang secara administratif berada di Desa Tarub, Kec. Tawangharjo, Kab. Grobogan, Jateng. Dikisahkan sejak muda Kyai Ngabdullah adalah seorang santri yang tekun dan istiqomah. Sejak kecil telah mendapatkan pendidikan berbagai ilmu yang langsung diasuh oleh orang tuanya yaitu Raden Bondan Kejawan atau Arya Lembu Peteng dan Dewi Nawangsih, yang tersohor dengan kesaktian dan kedalaman ilmunya. 

Setelah dewasa Ngabdullah menghabiskan waktu untuk belajar dengan para guru guru suci di beberapa tempat. Dalam memantapkan keilmuan dengan dawuh (perintah -petunjuk) dari guru gurunya maka Ngabdullah terbiasa berkelana keluar masuk hutan dan gunung gunung yang wingit untuk melakukan tetirah dan topobroto. Hingga dikisahkan beliau sangat waskito dalam berbagai ilmu, baik ilmu kesaktian kanuragan, ilmu kasepuhan hingga ilmu kebijaksanaan hidup berupa ilmu agama dan kerohaniawanan. Kyai Ngabdullah dalam ingatan masyarakat adalah sosok yang sakti mandraguna, kebak ngelmu sipating kawruh, putus ing reh saniskara.

Kekeramatan Kyai Ngabdullah tidak terlepas dari sanad keilmuan yang lurus dari para guru wali suci ing tanah jawi dan sebab juga ditopang dengan cikal bakal bibit kawit yang mengalir darah trahing kusuma rembesing madu dalam perpaduan nasab seorang sayid yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dengan nasab dari Wangsa Rajasa, sehinga Kyai Ngabdullah menjadi sosok yang keramat wijining atapa, tedhak andana warih.

Pengembaraan awal Kyai Ngabdullah dikawasan Wonosobo dapat terlacak melalui jejaknya yaitu di sebuah pohon besar yang tumbuh di Wanatirta puncak Gunung Sindoro yang dikenal wingit dan keramat. Selain itu Kyai Ngabdullah juga meninggalkan jejak riyadloh atau prihatin di sebuah pohon besar yang terletak di hutan Rasamala lereng Gunung Sindoro dan juga didaerah Jetis Selo Panjang yang disana terdapat pohon Walitis yang tumbuh besar, kekar dan tinggi menjulang yang dikenal sebagai pohon yang sangat keramat. Dibeberapa tempat tempat wingit tersebut beliau melakukan topomeleng mahas ing ngasepi, anelasak wana wasa, turun ing jurang terbis yang telah mengantarkan beliau pada tingkat ketinggian ilmu.

Banyak masyarakat meyakini beliau adalah seorang Waliyullah yang keramat dan penuh mabruk. Beliau juga dikenal telah melanglang buana dikawasan Wonosobo dalam rangka menyiarkan Agama Islam. Kyai Ngabdullah dalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, hati hati dan penuh welas. Sebab masyarakat Wonosobo pada saat itu sudah memiliki keyakinan agama dan ajaran hidup yang sudah mapan dan terlembaga. Kehidupan masyarakat disana telah mapan atas ajaran ilmu dari para pendahulu yang juga dikenang sangat linuwih.

Keyakinan dan pedoman hidup masyarakat pada saat itu sudah sedemikian kuat. Struktur alam pegunungan telah menjadikan masyarakat sudah akrab dengan tanda tanda alam. Keseimbangan hidup dengan habit sosial maupun dengan flora dan fauna sudah diketahui oleh masyarakat. Kepercayaan dengan hal hal hal ghoib tentu sudah sangat familiar dengan aktifitas kehidupan sehari hari masyarakat. Sebab ritus ritus persembahan terhadap dewa dewa dan roh leluhur sudah sangat masif berlangsung dalam kehidupan masyarakat waktu itu sehingga kehidupan masyarakat waktu itu sudah terbiasa dengan segala ikhwal kesaktian dan keghoiban.

Dengan memperhatikan kondisi masyarakat Wonosobo yang demikian maka pada saat itu untuk dapat melakukan syiar tauhid dalam agama Islam bukan perkara yang mudah sebab masyarakat waktu itu sudah memiliki pedoman hidup yang mapan dan terlembaga. Syiar Agama Islam jika tidak dilakukan dengan hati hati, cermat dan bijaksana tentu akan mendapatkan perlawanan dari tokoh dan masyarakat setempat yang justru sangat merugikan dan tidak akan membuahkan hasil kemanfaatan. Namun nampaknya dengan melihat hasilnya kini Kyai Ngabdullah waktu itu dianggap telah mampu secara tepat dan bijaksana melakukan syiar Tauhid Agama Islam. Konon dikisahkan ajaran Islam di syiarkan oleh Kyai Ngabdullah dengan sangat tepat, penuh kasih sayang dan tanpa ada paksaan

Keberhasilan Kyai Ngabdullah menyebarkan Agama Islam waktu itu di Wonosobo pada saat ini dapat dianalisa dan dipelajari sebab dahulu beliau telah berhasil melakukan proses dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat hingga terbentuk nilai Islam teologis yang sinergi dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat masyarakat setempat. Sehingga tauhid Islam dapat diterima secara damai tanpa konflik oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang selanjutnya terbingkai dalam kehidupan masyarakat yang toleran, harmonis, santun dan penuh kasih sayang. Kyai Ngabdullah telah meninggalkan jejak wajah Islam yang rohmatan lilalamien pada masyarakat Wonosobo.

Dikisahkan setelah melanglang buana di lereng-lereng gunung, hutan, dan lembah maka pada akhirnya Kyai Ageng Ngabdullah sampai di dusun Wanusebo desa Plobangan Selomerto. Di wilayah tersebut beliau hidup menetap untuk memimpin dan mendidik masyarakat. Segala kebijaksanaanya di dalam memimpin masyarakat setempat nampaknya telah berhasil mensejahterakan dan memajukan kehidupan masyarakat. Kyai Ngabdullah mampu mengayomi dan membimbing masyarakat untuk mendapatkan ketenangan lahir dan batin. Karena hal tersebut pada akhirnya Kyai Ngabdullah mendapatkan julukan nama yaitu Kyai Dukuh atau Kyai Wanu. Dibawah kepemimpinan dan keteladanan yang mulia dari Kyai Dukuh maka Dusun Wanusebo, Plobangan, Selomerto dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat berkembang. Segala keteraturan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat telah berkembang sangat pesat demikian penyebaran Agama Islam juga berkembang dengan sangat pesat sehingga pada saat itu beberapa masyarakat lebih sering menyebut Kyai Dukuh dengan nama Kyai Wanusebo bahkan dengan dialek setempat berubah menjadi Kyai Wonosobo.

Dikisahkan karena kemajuanya diberbagai bidang maka daerah tersebut selanjutnya berkembang menjadi daerah perdikan dibawah kekuasaan Kasultanan Demak Bintoro. Sejak saat itu Kyai Ngabdullah atau Kyai Dukuh atau Kyai Wanusebo mendapatkan anugrah kehormatan dengan penyebutan nama Kyai Ageng Wonosobo sebab merupakan pemimpin Perdikan. Seluruh daerah kepemimpinan Kyai Wonosobo pada akhirnya disebut daerah Wonosobo yang berangkat dari penyebutan Kyai Wanu Sebo. Dengan demikian Kyai Ngabdullah atau Kyai Dukuh atau Kyai Wanu Sebo atau Kyai Ageng Wonosobo adalah leluhur cikal bakal penyebutan kawasan yang sekarang disebut dengan daerah Wonosobo.

Sebagai pusat pemerintahan perdikan yang masih dibawah kekuasaan Kerajaan Demak Bintoro. Kyai Ageng Wonosobo sebagai pimpinan perdikan pada saat itu dianggap telah membuat maju dan sejahtera wilayah tersebut demikian perkembangan syiar Agama Islam juga maju, hal ini disebabkan jika Kyai Ageng Wonosobo dikenang sebagai seorang Pemimpin yang yang bijak dan karismatik.

Desa Plobangan di Kademangan Selomerto menjadi saksi keberadaan suami-istri Kyai Ageng Wonosobo dan Dyah Plobowangi. Mereka berdua hidup pada zaman Kesultanan Demak (1475-1554). Sehari-hari, Kyai Ageng Wonosobo mengajar di padepokan yang beliau dirikan. Para santri berasal dari seluruh penjuru nusantara yang belajar di sana dengan fasilitas memadai. Kecintaan Kyai Ageng Wonosobo pada dunia pendidikan didukung penuh oleh istrinya yang merupakan seorang pengusaha.

Dyah Plobowangi mempunyai beragam perusahaan warisan sang ayah, Kyai Demang Selomerto. Beliau  memiliki Perkebunan teh di sepanjang lereng Gunung Dieng, perkebunan tembakau di kaki Gunung Sundara Sumbing, dan peternakan sapi di sekitar aliran Kali Serayu. Usaha yang dikelola Dyah Plobowangi juga turut memajukan daerah setempat karena menyerap banyak tenaga kerja. Raja Demak, Raden Patah, senang melihat kemajuan dan kemakmuran tersebut.

Maka pada 25 Mei 1489 menaikkan status daerah tersebut  menjadi Kadipaten Wonosobo. Menurut Ketua LOKANTARA (Lembaga Olah Kajian Nusantara), Dr. Purwadi, M.Hum, nama Wonosobo merupakan usulan dari Kyai Demang Selomerto. Nama ini diambil dari masyarakat setempat yang memanggil Syekh Ngabdullah dengan Kyai Ageng Wonosobo I. Perubahan status menjadi Kadipaten sekaligus menjadikan Kyai Ageng Wonosobo sebagai Adipati pertama yang memerintah antara 1489-1529. 

Sejak menjabat sebagai bupati, Kyai Ageng Wonosobo semakin memperlihatkan sumbangsihnya untuk Kesultanan Demak. Seperti halnya saat Kesultanan Demak membangun Masjid Agung Demak Bintara pada 1492. “Lewat keuangan sang istri, Dyah Plobowangi, Kyai Ageng Wonosobo membeli kayu jati dari Cepu. Mendatangkan juru ukir dari Jepara, mendatangkan Marmer dari Tulungagung pun diborong. Semua dengan kualitas terbaik. Biaya transportasi dan akomodasi ditanggung oleh Dyah Plobowangi,” 
Kepemimpinan Kyai Ageng Wonosobo pun diteruskan oleh anak cucunya. Yakni :

  1. Kyai Ageng Wonosobo II yang memerintah pada 1529 – 1540
  2. Kyai Ageng Wonosobo III pada 1540 – 1582. 

Generasi ketiga Wonosobo ini melahirkan sosok-sosok yang tercatat dalam sejarah kerajaan. Pernikahan Kyai Ageng Wonosobo III dengan Rara Janten melahirkan :

  1. Nyai Ageng Lawih
  2. Nyai Ageng Manggar
  3. Kyai Ageng Juru Martani
  4. Nyai Ageng Sabinah.

Nyai Ageng Lawih menikah dengan Arya Pangiri, Bupati Glagahwangi. Nyai Ageng Manggar menikah dengan Kyai Ageng Giring,” Kyai Ageng Juru Martani menjadi penasihat utama Kerajaan Mataram. Nyi Ageng Sabinah menikah dengan Kyai Ageng Pemanahan,” Pernikahan Nyi Ageng Sabinah dan Kyai Ageng Pemanahan melahirkan sosok berdarah Wonosobo yang kelak menjadi raja Kesultanan Mataram.Sosok tersebut adalah Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar.Dengan gelar Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panetep Panatagama, dia memimpin Mataram pada tahun 1584-1601.
Saat Kesultanan Mataram dipimpin oleh raja kedua, Prabu Hadi Hanyokrowati (1601-1613), peran dari keturunan Wonosobo tetap lestari.Sebab ada anak dari Kyai Ageng Juru Martani yang didapuk sebagai perdana menteri, yakni Patih Mandaraka.“Patih Mandaraka pernah belajar di kota Tamasek. Beliau belajar sistem maritim, manajemen  pelayaran, diplomasi internasional, dan kesusasteraan Melayu,”
Kisah hidup Kyai Ageng Wonosobo adalah potret kehidupan yang tawadhu sebagai sebuah perilaku manusia yang memiliki watak rendah hati, tidak sombong atau merendahkan diri agar tidak terlihat sombong. Tawadhu bukan hanya sekadar tata kerama belaka, namun perilaku ini memiliki makna yang jauh lebih dahulu dari sopan santun, yaitu sikap batin yang menjelma dalam praktik lahiriyah secara wajar dan bijaksana.

Dalam menjalani kehidupan sehari hari nampaknya Kyai Ageng Wonosobo mampu secara tepat menggabungkan laku hidup dalam tingkat stratifikasi sosial yaitu sebagai seorang Begawan, sebagai seorang Bangsawan sekaligus dapat berperan sebagai seorang Kawulo Dasih. Kyai Ageng Wonosobo termasuk seorang yang didalam darahnya mengalir darah Trahing Kesumah, Rembesing Madu, Wijining Tapa, dan Tedhaking Andanawarih yang artinya bahwa seorang yang memiliki darah keturunan ningrat (kesumah / bunga) atau bangsawan, tapa /pertapa /alim ulama, berwawasan agama dan berasal dari keturunan pilihan utama.

Trahing kusumo rembesing madu maksudnya adalah keturunan bunga tirisan madu yang berarti keturunan orang yang mulia. Dalam keyakinan orang Jawa – Nusantara trahing kusumo rembesing madu seakan sudah menjadi jaminan bahwa setiap yang lahir dari garis keturunan tersebut pastilah orang yang baik yaitu baik etika, tikah laku, perbuatan, berbudi pekerti, ucapan, moral, akhlak dan adabnya, baik agamanya, baik segalanya. Selanjutnga dalam kajian Islam Trahing Kusumo Rembesing Madu meskipun tidak menjadi jaminan tingginya derajat seseorang, akan tetapi trah kusumo madu haruslah dibarengi dengan keteladanan ahlaq yang mulia sabagai manifestasi ketakwaan pada Allah SWT. Dengan demikian implementasi Trahing Kusuma, Rembesing Madu adalah perilaku yang harus dibarengi dengan laku wijining atapa, tedhaking andana warih sehingga dapat menginternalisasi antara bobot, bibit dan bebet.

Dengan demikian Kyai Ageng Wonosobo adalah salah satu orang yang menjadi leluhur dinasti Mataram Islam karena melahirkan generasi yang mampu menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini yaitu Kasultanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta dan Pura Pakualaman Yogyakarta. Leluhur dalam kajian Antropologi Budaya adalah nenek moyang yang berpola karena adanya kekerabatan (kin) yang berada pada struktur garis keturunan di atas seseorang (ego) baik pada masyarakat dengan pola patrilineal maupun matrilineal. Dalam hal ini maka jelas tercatat Kyai Ageng Wonosobo adalah leluhur Panembahan Senopati Ing Ngalogo raja pertama Mataram yang berpusat di Kota Gede Yogyakarta pada tahun 1568 – 1601.

5   Keteladanan Kyai Ageng Wonosobo

Kyai Ageng Wonosobo dan Dyah Plobowangi. Mereka berdua hidup pada zaman Kesultanan Demak (1475-1554). Sehari-hari, Kyai Ageng Wonosobo mengajar di padepokan yang beliau dirikan. Para santri berasal dari seluruh penjuru nusantara yang belajar di sana dengan fasilitas memadai.Kecintaan Kyai Ageng Wonosobo pada dunia pendidikan didukung penuh oleh istrinya yang merupakan seorang pengusaha.

Sejak menjabat sebagai bupati, Kyai Ageng Wonosobo semakin memperlihatkan sumbangsihnya untuk Kesultanan Demak. Seperti halnya saat Kesultanan Demak membangun Masjid Agung Demak Bintara pada 1492. “Lewat keuangan sang istri, Dyah Plobowangi, Kyai Ageng Wonosobo membeli kayu jati dari Cepu. Mendatangkan juru ukir dari Jepara, mendatangkan Marmer dari Tulungagung pun diborong. Semua dengan kualitas terbaik. Biaya transportasi dan akomodasi ditanggung oleh Dyah Plobowangi,” 

Keberhasilan Kyai Ngabdullah menyebarkan Agama Islam waktu itu di Wonosobo pada saat ini dapat dianalisa dan dipelajari sebab dahulu beliau telah berhasil melakukan proses dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat hingga terbentuk nilai Islam teologis yang sinergi dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat masyarakat setempat. Sehingga tauhid Islam dapat diterima secara damai tanpa konflik oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang selanjutnya terbingkai dalam kehidupan masyarakat yang toleran, harmonis, santun dan penuh kasih sayang. Kyai Ngabdullah telah meninggalkan jejak wajah Islam yang rohmatan lilalamien pada masyarakat Wonosobo.

Dikisahkan setelah melanglang buana di lereng lereng gunung, hutan hutan dan lembah lembah maka pada akhirnya Kyai Ageng Ngabdullah sampai di dusun Wanusebo desa Plobangan Selomerto. Di wilayah tersebut beliau hidup menetap untuk memimpin dan mendidik masyarakat. Segala kebijaksanaannya di dalam memimpin masyarakat setempat nampaknya telah berhasil mensejahterakan dan memajukan kehidupan masyarakat. Kyai Ngabdullah mampu mengayomi dan membimbing masyarakat untuk mendapatkan ketenangan lahir dan batin. Karena hal tersebut pada akhirnya Kyai Ngabdullah mendapatkan julukan nama yaitu Kyai Dukuh atau Kyai Wanu

Dibawah kepemimpinan dan keteladanan yang mulia dari Kyai Dukuh maka Dusun Wanusebo, Plobangan, Selomerto dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat berkembang. Segala keteraturan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat telah berkembang sangat pesat demikian penyebaran Agama Islam juga berkembang dengan sangat pesat sehingga pada saat itu beberapa masyarakat lebih sering menyebut Kyai Dukuh dengan nama Kyai Wanusebo bahkan dengan dialek setempat berubah menjadi Kyai Wonosobo.

Dalam menjalani kehidupan sehari hari nampaknya Kyai Ageng Wonosobo mampu secara tepat menggabungkan laku hidup dalam tingkat stratifikasi sosial yaitu sebagai seorang Begawan, sebagai seorang Bangsawan sekaligus dapat berperan sebagai seorang Kawulo Dasih. Kyai Ageng Wonosobo termasuk seorang yang didalam darahnya mengalir darah Trahing Kesumah, Rembesing Madu, Wijining Tapa, dan Tedhaking Andanawarih yang artinya bahwa seorang yang memiliki darah keturunan ningrat (kesumah / bunga) atau bangsawan, tapa /pertapa /alim ulama, berwawasan agama dan berasal dari keturunan pilihan utama.

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  6. Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  7. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  8. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya