Sebab-Sebab Adanya Perbedaan Pendapat Ulama

 
Sebab-Sebab Adanya Perbedaan Pendapat Ulama

LADUNI.ID, Jakarta - Perbedaan pendapat di kalangan ulama laksana sebuah taman yang dipenuhi aneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Taman tersebut terlihat indah dan tidak membosankan. Berbeda kalau taman itu hanya berisi satu macam bunga saja, ia terlihat monoton, kaku, dan tidak sedap untuk terus dipandang mata.

Allah subhanahu wata'ala menciptakan manusia dengan berbagai variasi warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat al-Maidah ayat 48:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Artinya: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Seorang ulama bermazhab Syafi’i bernama Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi al-Syafi’i menegaskan bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat bagi umat. Sebab, mereka telah berijtihad dengan mengerahkan sekuat tenaga guna mencari kebenaran. (Lihat Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Kairo: Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.t. halaman 13).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, perbedaan pendapat sangat jarang terjadi. Sebab, Rasulullah merupakan tokoh sentral, tempat rujukan segala permasalahan yang dialami oleh para sahabat. Jika para sahabat berselisih pendapat, mereka segera mengembalikannya kepada Rasulullah, dan Rasul pun kemudian menjelaskan pendapat yang benar.

Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِيْ قُرَيْظَة

“Janganlah seseorang melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah” (HR. Bukhari Muslim).

Sebagian dari mereka tetap menjalankan shalat Ashar pada waktunya, meskipun belum sampai di Bani Quraidhah. Kelompok ini memaknai hadits di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Sementara sebagian lain baru menjalankan shalat Ashar setelah sampai di Bani Quraidhah sesuai makna harfiah hadits. Perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau tidak mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Artinya, Rasul membenarkan kedua pendapat tersebut.

Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat, bibit-bibit perbedaan pendapat mulai tumbuh dan berkembang. Berawal dari perbedaan pendapat tentang benar atau tidaknya berita meninggalnya Rasulullah, sampai perbedaan tentang siapakah khalifah pengganti beliau. Perbedaan pendapat ini semakin melebar pada periode Tabi’in, dan mencapai puncaknya pada periode imam mazhab. (Lihat Taha Jabir al-Alwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam, Qatar: Ri’asah al-Mahakim al-Syar’iyyah wa al-Syu’un al-Diniyyah, 1405 H, halaman 33-54).

Hanya saja, perbedaan tersebut tidak muncul karena mengikuti hawa nafsu atau karena kepentingan duniawi belaka, melainkan karena beberapa sebab, sebagaimana ditulis oleh syaikh Musthafa Said al-Khin dalam bukunya Atsarul Ikhtilaf fil Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilafil Fuqaha, meliputi:

Pertama, perbedaan qira’at (bacaan). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam satu tipe qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. Banyaknya tipe qira’at ini turut serta dalam menciptakan perbedaan pendapat ulama dalam hukum Islam, misalnya firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ     

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

Imam Nafi’, Ibnu Amir, dan Kisa’i membaca lafadz “wa arjulakum” dengan i’rab nashab, sedangkan imam Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan jer, yaitu “wa arjulikum”. Mayoritas ulama fiqih mengikuti bacaan nashab, sehingga mereka menyatakan kewajiban membasuh kaki dalam wudhu, bukan mengusapnya. Sedangkan ulama Syi’ah Imamiyyah memilih bacaan jer, dan menegaskan kewajiban mengusap kaki dalam wudhu.

Kedua, tidak mengetahui adanya hadits Nabi. Para sahabat berbeda intensitasnya dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka berbeda dalam mengetahui hadits-haditsnya. Ada sahabat yang mengetahui banyak hadits, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui sedikit hadits. Perbedaan pengetahuan tentang hadits ini menyebabkan perbedaan pendapat ulama. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq tidak memberi hak waris bagi seorang nenek, sampai sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Muslimah bersaksi bahwa Nabi memberinya bagian seperenam dari harta warisan.

Begitu pula Abu Hurairah menghukumi batalnya puasa orang yang junub, sampai beliau mendengar hadits riwayat Aisyah dan Ummu Salamah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُ فِي رَمَضَان.

“Bahwa pada pagi hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, lalu beliau melanjutkan puasanya.” (H.R. Bukhari Muslim).

Ketiga, ragu-ragu akan kesahihan sebuah hadits. Para ulama tidak langsung mengamalkan hadits yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadits menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih. Misalnya, Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang yang junub tidak boleh bertayammum, dan tidak boleh shalat sampai dia mendapatkan air lalu mandi besar. Beliau tidak mengambil hadits riwayat Ammar bin Yasir yang menjelaskan keabsahan tayammum bagi orang junub, karena menurut Umar hadits tersebut tidak sahih.

Begitu pula hukum puasa bagi orang yang makan atau minum di siang hari puasa karena lupa, di mana menurut mayoritas ulama puasanya tetap sah dan tidak wajib meng-qadha, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا أَوْ شَرِبَ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ 

“Apabila seseorang yang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka sesungguhnya itulah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidaklah ia berkewajiban mengqadha’ (menggantinya). (HR. Al-Daruquthni).

Sedangkan Imam Malik tidak menganggap hadits di atas sebagai hadits sahih, sehingga ia berpendapat bahwa hukum puasa orang yang makan atau minum karena lupa adalah batal, dan ia wajib mengqadhanya. Wallahu A’lam.

Sumber:

  • Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Kairo: Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.t.
  • Taha Jabir al-Alwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam, Qatar: Ri’asah al-Mahakim al-Syar’iyyah wa al-Syu’un al-Diniyyah, 1405H.


*) Artikel ini ditulis oleh Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.