Sang Pelopor Madzhab Akbariyyah di Eropa

 
Sang Pelopor Madzhab Akbariyyah di Eropa

Keterangan Foto: Ivan Agueli Sebelah Kiri Atas

LADUNI.ID, Jakarta - Akbariyyah merupakan salah satu cabang dari metafisika Sufi yang mendasarkan konsep metafisikanya pada ajaran Imam Muhyiddin Ibn Arabi. Istilah Akbariyyah terambil dari julukan Ibn Arabi yaitu Syaikh al-Akbar. Akbariyyah bukan merupakan thariqah Sufi tertentu yang diinisasi oleh Ibn Arabi, karena beliau sendiri tidak pernah mendirikan suatu thariqah tertentu, namun Akbariyyah merujuk pada konsep metafisika Ibn Arabi yang dikembangkan oleh para pengikutnya yang dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud.

Konsep Wahdatul Wujud yang dikembangkan dari pemikiran Ibn Arabi banyak menarik minat para pemikir dan filsuf Barat untuk mengkajinya, dimana pada awal abad ke 20 banyak lingkar studi serta universitas yang mulai mempelajari madzhab Akbariyyah ini. Beberapa tokoh Orientalis yang mengkaji pemikiran Ibn Arabi cukup banyak, diantara mereka ada memilih memeluk Islam ada juga yang tetap pada keyakinan mereka, sebut saja seperti Louis Massignon, Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Titus Burckhardt, Martin Lings, Sachiko Murata, William Chittick, hingga yang belum lama ini wafat Michel Chodkiewicz.

Kepopuleran madzhab Akbariyyah tentu tidak muncul begitu saja, namun ia dipelopori oleh seorang tokoh yang dikatakan sebagai orang pertama yang mengenalkan Sufiisme kepada bangsa Eropa. Beliau adalah Ivan Gustaf Agueli (1869-1917) seorang yang berkebangsaan Swedia yang merubah namanya setelah memeluk Islam menjadi Abd al-Hadi al-Aqili. Beliau adalah seorang seniman, pelukis, metafisikawan, dan seorang Sufi Tarekat Syadziliyyah Malamatiyyah.

Ivan Agueli dikatakan merupakan mahasiswa Eropa pertama yang masuk diterima belajar di Universitas Al-Azhar Mesir, dimana beliau mempelajari bahasa Arab dan filsafat Islam disana. Disini pula beliau berbaiat pada Thariqah Syadziliyyah dibawah bimbingan Syaikh Abdurahman Ilaysh al-Kabir. Atas restu al-Syaikh beliau bersama sahabatnya yang bernama Enrico Insabato mendirikan majalah Italia di Kairo dengan nama Il Convito (al-Nadi).

Di Paris, Ivan Agueli mendirikan suatu perkumpulan Sufi rahasia yang diberi nama Al Akbariyya yang bertujuan untuk memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi. Diantara muridnya yang paling awal adalah Rene Guenon yang masuk Islam mengganti nama menjadi Abd al-Wahid Yahya serta diketahui sebagai inisiator awal madzhab Perennialis Esoteris atau Philosophia Perennis. Rene Guenon merupakan penganut Esoterisme yang sangat kuat mengkritik ajaran Teosofi yang diinisiasi oleh Helena Blavatsky, menurutnya ajaran Teosofi merupakan "pseudo religion" alias agama palsu.

Bagi dunia seni di Eropa, khususnya Swedia, Ivan Agueli merupakan seorang seniman dan pelukis ternama, karyanya banyak tersimpan di Swedish National Museum of Fine Art, Museum of Modern Art, dan Agueli Museum di kota Sala. Karyanya beliau yang belakangan banyak mengandung unsur-unsur mistisme dan sufiisme. Beliau wafat pada tahun 1917 disebabkan kecelakaan tabrakan kereta api di Spanyol.

Sebagai seorang penganut metafisika Akbarian serta sangat mencintai dan mengagumi ajaran Sufi sebagai ajaran multi-dimensi, beliau termasuk pelopor yang mempopulerkan pemikiran Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi di Eropa. Beliau menyatakan:

“The Arab variety (lit. l’école arabe) of Sufism (lit. l’ésotérisme musulman) … is, without doubt, the most beautiful ... It is not only scholastic, or rather logistical, but also psychological and, most importantly, natural or primordial.”

Tidak seperti muridnya Rene Guenon yang menganut Esoterisme sehingga menganggap status setiap agama adalah sama secara esoteris, sehingga tidak perlu saling menihilkan, maka beliau termasuk penganut Akbarian yang tulen dan lurus.

Beliau menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang menerapkan metode tauhidic (oneness and totality) pada realitas. Dimana setiap aspek dalam Islam diturunkan dengan prinsip-prinsip yang sama yaitu ketauhidan. Menurutnya tidak ada disparitas antara aspek eksoteris dan esoteris dalam Islam, keduanya sama-sama penting dan berjalan beriringan, tanpa perpisahan apalagi pertentangan antara keduanya. Dimana menurutnya juga (dengan konsep Tauhid), bahwa ini sebabnya dalam Islam sejatinya tidak ada pertentangan yang nyata antara sains dan agama. Beliau menyatakan:

“Islām … means, therefore, to entrust one’s self to God…. The religion of Islam is the Way of Oneness and Totality. Its fundamental dogma is called Tawḥīd: which is the Oneness or the action of realising Oneness. It is a universal faith, and one with degrees—but each of those degrees is truly Islām, viz. every aspect of Islām reveals the same principles. Its formulas are exceedingly simple, but the number of its forms incalculable…. It is the clear distinction, known by all, between the legal and mystical domains that allows Islām to be simultaneously exoteric and esoteric without ever contradicting itself. Moreover, this is why no serious contradictions between science and religion arise amongst Muslims who understand their religion…. The formal [i.e., legal] aspects are a necessity; they are not superstitious, but a universal language…. [they are as a] means of communication between all beings endowed with reason…. [Indeed,] the exoteric domain is as important in the religion as the arteries are for an animal’s body…. The moralists of sentimentality—the Christians, the Buddhists, and others—have come to glorify ‘humility’…. They have made of ‘humility’ a goal in itself, a virtue [in itself] … [whereas] it is only a station on the road, where one stops according to the needs of the needs of the journey. Vanity is an error, as is misplaced humility…. Thanks to the perfect agreement that Islām establishes between the esoteric and the exoteric, we can talk about it in all tones…. It is true that several branches of the Islāmic sciences only fully developed after several non-Arab peoples joined Islam. Several Orientalists, having observed this phenomenon, attributed it to a juxtaposition of the Aryan spirit and the Arab spirit. That is a mistake.”

Menurutnya, bahwa Syariat itu merupakan unsur yang penting dalam ajaran Islam, Syariat yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad itu bersifat final dan komplit, dimana posisi baginda Nabi sebagai Rasul pembawa hukum atau peraturan:

“Our Prophet was not only a Prophet with divinely-inspired eloquence but also a Legislating Messenger [i.e., a prophet with a new Divine Law] (mais aussi rasûl ou envoyé légiférant). He touched the aristocrats, the intellectuals, by his divinely inspired eloquence; and he prevented the utter decadence of the people and the [injustice toward the] downtrodden by his function as a Legislating Messenger—by [the application of] the Divine Law. Representing a perfect synthesis (fusion) of the elite and the common folk, the Islamic aristo-democracy can function without violence and promiscuity.”

Beliau sebagai seorang Akbarian, mengkritik secara keras paham metafisika Antromorphis, menurutnya paham merepresentasikan Tuhan dalam bentuk gambaran apapun itu termasuk perbuatan musyrik atau menduakan Tuhan, bahwa Tuhan tidak memiliki kemiripan dan keserupaan sama sekali dengan makhluk. Kritik ini juga serupa dengan kritik penganut Asy'arian kepada para penganut Taimiyyan yang cenderung Antromorphistik.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep Ibn Arabi tentang Wahdatul Wujud itu tidak pernah bermakna Ittihad dalam pengertian wujud makhluk dianggap sebagai wujud Tuhan karena diasumsikan kebersatuan antara Tuhan dan Makhluk (yakni Tuhan adalah makhluk, makhluk adalah Tuhan).

“Islam is not a religion based on anthropomorphism; this is why it is forbidden to represent God in any form whatsoever—indeed, any image of God is considered an idol. Thus, Islam’s mission is precisely to abolish all idolatry…. nothing can offer any likeness to God…. Islam is the only religion in the world that can do without clergy or of priestly institution in any form... this is why the priests of every robe and sect have devoted fierce hatred toward Muslims. They [i.e., Muslims] may respect Christian priests, but—in accordance with the Qur’ān—they don’t feel priests actually accomplish anything…. Fetish, priest, and sentimentalism are the three aspects crucial to any anthropomorphic religion; now, Islam is not such a religion—neither in spirit nor letter—and despises fetishism, ignores sentimentalism....”

Terakhir, sebagaimana sering dianggap bahwa Sufi atau ajaran Tasawwuf itu sebagai ajaran yang membenci dunia, namun tidak dengan apa yang dijelaskan oleh Ivan Agueli. Bahkan menurutnya bahwa Islam merupakan agama yang unik yang memandang bahwa kehidupan dunia itu penting, dalam rangka untuk mencapai kebahagiaan di akhirat nanti.

“Islam … is certainly unique amongst all religions, civilisations, and philosophies…. In order to follow the Prophet, we don’t retreat into the desert, but we attempt to take the world seriously; a hadith (ditemukan dalam al-Jami' al-Shaghir karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi) says that we must work for this world as if we thought we would live a thousand years and yet we must work for the life to come as if we thought that we were to die tomorrow.”

Shadiq Sandimula