Hubungan Nahdlatul Ulama dengan Nahdlatul Wathan

 
Hubungan Nahdlatul Ulama dengan Nahdlatul Wathan

LADUNI.ID, Jakarta - Foto ini adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu.

Bagi Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, yakni, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama, yaitu, Syaikh Amin al-Kutbi.

Adapun hasil wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan/ PWK-NW), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi, Pendiri PWK-Nahdlatul Wathan:

Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis

Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.

Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.

Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.

Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa

Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia.


(Mohamad Pasya)