Bagaimana Pengusaha China Menguasai Pasar Dunia?

 
Bagaimana Pengusaha China Menguasai Pasar Dunia?

LADUNI.ID, Jakarta - Kita tahu, produk-produk China telah menguasai banyak negara di dunia. Bukan hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga merambah dan mampu menguasai pasar di negara-negara maju. Bagaimana cara pengusaha China menguasai pasar dunia? Untuk mengetahui jawabannya, semak tulisan Edward Tse (2018) berikut ini.

***

Dalam satu dekade terakhir, publik sudah terbiasa melihat perusahaan-perusahaan China bekerja sama dengan beragam bisnis di banyak negara di dunia. Bagaimanapun juga, upaya keras ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar milik negara. Mereka memang dirancang untuk memenuhi prioritas pemerintah -khususnya, untuk mendapat akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan China agar perekonomiannya dapat terus tumbuh. Sekitar awal 2000-an hingga 2012, banyak perusahaan negara China yang membeli energi ataupun sumber daya alami dari negara dengan ekonomi maju dan berkembang.

“Jatah” kepemilikan dan akuisisi energi dan tambang China meningkat dari di bawah 3% menjadi 15% pertahun. Satu pembelian yang paling patut diingat adalah pembelian yang dilakukan pada 2008. Perusahaan Chinalco, yang merupakan perusahaan milik negara sekaligus anggota Aluminum Corporation of China, membeli 9% saham dari tambang Rio Tinto. Lainnya di tahun 2013, adalah pembelian senilai $15,1 miliar (Rp204 triliun) terhadap perusahaan Kanada, Nexen, oleh China National Offshore Oil Corporation, sebuah perusahaan negara China investasi ke luar negeri terbesar yang pernah dilakukan China hingga saat buku China’s Disruptors dituliskan.

Beberapa tahun lalu, sikap China terhadap investasi ke luar negeri telah berubah –dengan cara yang radikal. Tahun 2010, total investasi outbound atau investasi ke luar negeri oleh perusahaan swasta China adalah $10 miliar (Rp135 triliun), sekitar 15% dari total investasi outbound China.

Tahun 2014, investasi outbound perusahaan swasta China melonjak menjadi 40% dari total, dan mencapai nilai $49 miliar (Rp662 triliun). Perubahan ini lebih signifikan dari kelihatannya. Uang yang digelontorkan bisnis milik negara cenderung dihabiskan untuk sedikit perusahaan, tetapi dalam jumlah yang besar. Sementara itu investasi yang dilakukan perusahaan swasta datang dari banyak bisnis, yang rata-rata sama besarnya. Sehingga trennya tampak jelas: perusahaan swasta China mulai menjajaki pasar dunia secara besar-besaran, mencoba meraih dua hal sekaligus, pasar dan akuisisi bisnis.

Investasi yang dilakukan individu juga patut diperhatikan. Tahun 2014, ada dua persitiwa besar yang terjadi di dunia bisnis China. Pertama, produsen daging babi WH Group yang berada di Provinsi Henan membeli Smithfields Foods senilai $71 miliar (Rp96 trilun). Kedua, Dailan Wanda, perusahaan properti terbesar China, membeli AMC Entertainment di Amerika Serikat dengan harga $2,6 miliar (Rp35 triliun), yang membuatnya menjadi pemilik gedung bioskop terbanyak di dunia.

Sepanjang sejarah, tak seorang pun yang pernah menduga bahwa pergerakan kewirausahaan China akan berdampak hebat pada perekonomian. Di masa lalu, sehebat-hebatnya suatu perusahaan, mereka hanya jagoan di dalam negeri China saja. Namun bagaimanapun juga, dalam beberapa tahun, gelombang demi gelombang wirausaha lahir dan menciptakan ombak hingga ke seluruh dunia. Mereka terus mencari pasar baru, target akuisisi baru, teknologi baru, pekerja-pekerja ahli baru, dan tentu saja sumber modal baru pula.

Sebagian besar uang yang diinvestasikan perusahaan China mengalir ke pasar yang sudah maju, khususnya Amerika Serikat. Semenjak krisis finansial global, investasi dari China ke Amerika Serikat justru meningkat tajam, dari sekitar $1 miliar (Rp13 triliun) di tahun 2008 dan 2009, menjadi lebih dari $14 miliar (Rp189 triliun) di tahun 2013. Memang, sejak 2010, investasi China ke AS sudah melampaui jumlah investasi AS ke China.

Penelitian dan pengembangan (R&D) yang dihabiskan perusahaan China di AS juga melesat[1]. Tahun 2007 angkanya tak perlu diperhitungkan, tahun 2011 mencapai $350 juta (Rp4,7 miliar) yang kemudian mendekati setengah miliar dolar pada 2014. Angka tersebut memang masih jauh jika dibandingkan investasi R&D oleh perusahaan Jepang dan Jerman, tetapi setidaknya sudah lebih besar dari Korea Selatan dan Taiwan.

 

[1] Lihat Daniel H Rosen dan Thilo Hanneman, “New Realities in the US-China Investment Realtionship,” Rhodium Group/U.S Chamber of Cemmerce, April 2014.

 


Sumber: Edward Tse. China’s Disruptors; Bagaimana Alibaba, Xiaomi, Tencent, dan Perusahaan Lain Mengubah Aturan Bisnis, penj. Vela Andapita. Jakarta: PT Gramedia, 2018.