Kecepatan Inovasi China yang Mengguncang Dunia

 
Kecepatan Inovasi China yang Mengguncang Dunia

LADUNI.ID, Jakarta – Seberapa cepat investasi China pada pendidikan dan inovasi akan berbuah hasil bagi kesuksesan bisnis? Di beberapa area, upaya ini sudah menunjukkan hasil. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan China sampai sekarang terus meningkat. Tahun 2009, barang-barang berkualitas kurang baik seperti mainan dan produk plastik hanya sebanyak 40% dari total ekspor China. Sekarang jumlah itu makin merosot hingga sepertiga. Semuanya disebabkan oleh bertambahnya penjualan di luar negeri untuk sektor permesinan, komponen otomotif, dan produk-produk nilai tinggi lainnya.

Agrikultur juga telah mengalami perbaikan yang berarti. Dalam 20 tahun terakhir, China menggenjot produktivitas gandung sebesar 2,6% per tahun,[1] cukup untuk menambah hasil akhir hingga dua pertiga per-unit lahan. Peningkatan lebih besar terjadi pada beras, berkat dukungan dari kerja sama Bill and Melinda Gates Foundation, Chinnes Academy of Agriculture Sciences, serta sebuah institute bioteknologi China. Temuan dari uji coba yang merupakan hasil dari penelitian mereka bersama berhasil meningkatkan produksi hingga 20%.

Penelitian medis yang didanai oleh negara mulai dilakukan pula oleh perusahaan-perusahaan swasta. Tahun 2009, Simvac Biotech yang sudah melantai di bursa untuk pertama kalinya berhasil mengembangkan vaksin flu babi efektif hanya dalam 87 hari. Sebelumya, hampir semua perkembangan vaksin dilakukan oleh tim peneliti dari Amerika atau Eropa. Sinovac Biotech yang berkantor pusat di Beijing ini tengah menunggu iiin untuk vaksin yang melawan virus EV71. Sebuah virus yang menyerang tangan, kaki, dan mulut pada anak. Sinovac Biotech juga sedang memperdalam uji klinis untuk vaksin yang dapat melindungi manusia dari salah satu bakteri paling berbahaya penyebab pneumonia dan meningitis.

Di industri perpabrikan, China mulai mengecap keuntungan dari kemajuan teknologi digital. Dalam beberapa tahun terakhir muncul berbagai spekulasi tentang kemungkinan robot serta 3D printing (mesin cetak 3 dimensi) akan ”memulangkan” pabrik-pabrik ke negara maju, termasuk Amerika Serikat. Namun bagaimana pun juga, kemungkinan tersebut justru sebaliknya: seiring perusahaan China terus membenahi kualitas dan teknologi untuk kebaikan pabriknya, perlahan mereka juga akan memosisikan diri sebagai produsen barang berteknologi tinggi pula.

Robot memang banyak dipertimbangkan sebagai solusi untuk masalah ketenagakerjaan dan kenaikan upah pekerja. Setelah penjualan peralatan robotik di China meningkat 25% dari tahun 2005 hingga 2012, dan kemudian melonjak 36% di 2013, China kini menjadi pasar robot industrial terbesar dunia[2] yang mencaplok seperlima bagian dari keseluruhan penjualan. Kebanyakan robot-robot pabrik ini digunakan di industri otomotif, yang penggunaannya pada 2006 hanya 50 unit per 10.000 buruh kerja lantas tahun 2014 menjadi 200 unit per 10.000 buruh kerja. Satu contoh menarik terjadi di Zhejiang, salah satu provinsi yang unggul di bidang industrial di sebelah selatan Shanghai. Pemerintah Zhejiang menggelontorkan investasi sebesar $82 miliar (Rp1.000 triliun) selama lima tahun[3] hingga 2017 untuk menambah otomatisasi atau penggunaan robot di lini produksi.

China mengambil langkah besar untuk mewujudkan mimpinya menjadi negara pengembang teknologi 3D printing terbaik dunia.[4] China kini sudah mampu memproduksi mesin pembuat baja atau komponen peralatan metal berat lainnya yang berdiameter hingga enam meter dan yang beratnya mencapai 300 ton. Penggunaan produk-produk itu pun beragam, séperti nuklir, termal, hidro-, dan tenaga lainnya. Barangkali perkembangan terhebat sampai saat ini adalah alat cetak atau printer yang mencetak struktur paduan titanium, termasuk roda gigi pendaratan, kerangka bantalan tekanan utama, kerangka kaca depan badan pesawat yang lancip yang dikembangkan oleh Commercial Aircraft Corporation of China sebagai rival untuk pesawat semacam Boeing dan Airbus. Untuk mencetak kerangka kaca depan pesawat C919 menggunakan mesin cetak 3D butuh waktu 55 hari dan biaya kurang dari $200.000 (Rp2,7 miliar). Sedangkan teknik tradisional menghabiskan waktu dua tahun dan menelan biaya $2 juta (27 miliar).

Grup industri memprakirakan pada 2016, pasar mesin cetak 3D China akan mencapai nilai $1,65 miliar (Rp22 triliun), sepuluh kali lebih besar dari 2012. Angka ini juga cukup besar untuk menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai pengguna teknologi mesin cetak 3D terbesar dunia. Sementara sebagian besar pengembangan masih dilakukan oleh perusahaan negara, perusahaan swasta juga berusaha untuk menjajal pasar yang sama. Juni 2014, sebuah perusahaan yang berlokasi di Qingdao menciptakan sebuah mesin cetak yang mampu memproduksi objek dengan tinggi, lebar, dan panjang 12 meter cukup besar untuk membangun sebuah rumah. Dengan menggunakan kaca berlapis plastik, mesin cetak ini dapat ”mencetak” satu bangunan dalam sekali pengerjaan. Terobosan ini menjadi penting, misalnya untuk membangun hunian sementara pascabencana gempa bumi.


[1] Lihat Xinhua News Agency, “Chinese Innovations to Benefit the World: Bill Gaets,” 7 April 2014.

[2] Lihat “Industrial Robot Statistics,” International Federation of Robotics, 2014.

[3] Liat Christina Larson, “China Expected to Be the Top Market for Industrial Robots by 2016,” Bloomberg Businessweek, 15 November 2013.

[4] Lihat “China Developin World’s Largest 3D Printer, Prints 6m Metal Parts in One Piece,” 3ders.org, 7 Februari 2014.


Sumber: Edward Tse. China’s Disruptors; Bagaimana Alibaba, Xiaomi, Tencent, dan Perusahaan Lain Mengubah Aturan Bisnis, penj. Vela Andapita. Jakarta: PT Gramedia, 2018.