Bunga Bank Kok Halal? Ini Penjelasan Gus Mus Lengkap dengan Dalilnya

 
Bunga Bank Kok Halal? Ini Penjelasan Gus Mus Lengkap dengan Dalilnya

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam buku yang ditulis oleh KH Mustofa Bisri atau Gus Mus berjudul Fikih Keseharian Gus Mus (2005), dijelaskan bahwa terdapat seorang yang menanyakan tentang bagaimana bisa bunga bank dianggap halal. Berikut penjelasannya dan selamat membaca.

***

Pertanyaan:

Setelah saya membaca berita tentang hasil keputusan Bahtsul Masail di Pesantren Darus Salam, Blok Agung, Banyuwangi yang menghalalkan bunga bank, saya dan teman-teman di daerah saya sedikit timbul keresahan, karena dianggap hal yang baru.
Karena itu agar masalah ini tidak menimbulkan keresahan dan keraguan terhadap masyarakat awam khususnya, sudilah kiranya Pak Mus menjelaskan hal tersebut dengan didasari dalil Al-Quran dan Al-Hadis atau dengan pertimbangan yang lain yang sejelas mungkin.
Kemudian atas jawaban dan penjelasannya sebelum dan sesudahnya kami sampaiakan terima kasih.
(Cak Dur, Keling, Jepara)

Jawaban:

Wah, masak iya sih masalah begitu menimbulkan keresahan? Dan orang yang menghalalkan bunga bank kan tidak baru.

Orang menghalalkan bank, sebagaimana orang mengharamkan atau menganggapnya syubhat, menurut saya kok sudah lama. Mungkin sejak adanya bank itu sendiri.

Buktinya, dari dulu, ada orang Islam yang berhubungan dengan bank dan ada yang tidak. Di kitab-kitab kuning sendiri orang yang mengharamkannya atau yang menghalalkannya –seperti mereka yang bermusyawarah di Blok Agung Banyuwangi—bisa menemukan “pegangan”.

Bahkan, ingat, di kalangan NU Jawa Tengah sendiri, pernah ada Bank “Ya Muallim”.

Bisa saja saya memenuhi permintaan Anda, menjelaskan masalah bunga bank itu, tapi apakah itu akan bisa menghilangkan “keresahan” seperti yang Anda maksud? Saya kok tidak yakin. Apalagi kalau yang dimaksud adalah penjelasan yang dapat memuaskan semua pihak.

Sebab masalah itu adalah masalah khilafiyah. Masalah khilafiyah –di mana tidak ditemukan nash syariahnya di Al-Quran atau As-Sunnah dan sandarannya hanya penalaran dan pemahaman—haruslah dihadapi secara dewasa. Kalau tidak, kita akan “resah” terus.

Artinya dalam masalah semacam itu, kita boleh yakin tentang kebenaran pendapat yang kita ikuti, tapi kita tidak boleh “gelo” dengan keyakinan orang lain tentang kebenaran pendapat yang diikutinya.

Persoalan bunga bank, seperti saya katakan, bukanlah masalah baru. Sudah lama orang memperdebatkannya.

Perbedaan pendapat mengenai masalah itu, pada garis besarnya, bersumber dari “apakah bunga bank itu termasuk riba atau tidak?”

Seperti dimaklumi, menurut ijmak, riba hukumnya sudah jelas, haram. (Lihat Ensiklopedi Ijmak hal. 559).

Ayat-ayat mengenai riba bisa dilihat di:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ (٢٧٥)

Alladziina ya/kuluuna alrribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumu alladzii yatakhabbathuhu alsysyaythaanu mina almassi dzaalika bi-annahum qaaluu innamaa albay'u mitslu alrribaa wa-ahalla allaahu albay'a waharrama alrribaa faman jaa-ahu maw'izhatun min rabbihi faintahaa falahu maa salafa wa-amruhu ilaa allaahi waman 'aada faulaa-ika ash-haabu alnnaari hum fiihaa khaaliduuna.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[1] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[2]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[3] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2, Al-Baqarah: 275)

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ (٢٧٦)

Yamhaqu allaahu alrribaa wayurbii alshshadaqaati waallaahu laa yuhibbu kulla kaffaarin atsiimin.

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[4]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[5].” (QS. 2, Al-Baqarah: 276)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ (٢٧٨)

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ittaquu allaaha wadzaruu maa baqiya mina alrribaa in kuntum mu/miniina.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS 2, Al-Baqarah: 278).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ (١٣٠)

Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa ta/kuluu alrribaa adh'aafan mudaa'afatan waittaquu allaaha la'allakum tuflihuuna.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[6] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 3, Ali Imran: 130).

وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا (١٦١)

Wa-akhdzihimu alrribaa waqad nuhuu 'anhu wa-aklihim amwaala alnnaasi bialbaathili wa-a'tadnaa lilkaafiriina minhum 'adzaaban aliimaan.

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. 4, An-Nisa’: 161)

وَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْبُوَا۠ فِيْٓ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللّٰهِ ۚوَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ (٣٩)

Wamaa aataytum min riban liyarbuwa fii amwaali alnnaasi falaa yarbuu 'inda allaahi wamaa aataytum min zakaatin turiiduuna wajha allaahi faulaa-ika humu almudh'ifuuna.

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. 30, Ar-Rum: 39)

Dan Hadis Nabi yang sering disitir adalah: “Setiap utang yang menarik manfaat (bagi yang mengutangi) adalah riba.”

Sedangkan bank merupakan lembaga (bukan perorangan!) yang “baru”. Baru ada sekian abad setelah zaman Rasulullah Saw. Inilah sumber pokoknya. Adapun yang lain-lainnya, saya pikir sudah merupakan rangkaian argumentasi ikutan.

Keputusan Musyawarah Ulama Terbatas di Blok Agung, yang Anda singgung, menurut saya, adalah sekadar “memperkukuh” salah satu pendapat dari tiga pendapat yang sudah lama ada di kalangan mereka. (Lihat Keputusan Muktamar NU-II di Surabaya, Muktamar NU XXII di Malang, Muktamar NU XXIV di Magelang, Muktamar NU XXVII di Madiun, dan Konferensi Besar 19 Maret 1957 di Surabaya mengenai masalah tersebut’).

Berdasarkan kitab-kitab kuning, ulama NU dari dulu sudah memutuskan tiga qaul (pendapat): 1. Haram, 2. Halal, 3. Syubhat.

Wa ba’du; saya kok masih tetap menganggap perbedaan pendapat pemimpin/ulama adalah merupakan rahmat. Orang banyak (awam) jadi enak. Ikut ini, tenang; ikut itu pun tenang.

Menurut saya perbedaan pendapat tidak meresahkan. Yang meresahkan adalah anggapan bahwa berbeda pendapat adalah dosa. Wallaahu A lam.

***

_________________________________
Sumber: KH Mustofa Bisri. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista, 2005. Tulisan ini telah terhimpun dalam buku Ahkamul Fugaha, Solusi Problematika Aktual Hukun Islam, Hasil Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU 1926-1999 M. LTNU NU Jatim dan Diantama, Cet I, Oktober 2004, Cet II, Januari 2005 (Peny.).

 

[1] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[2] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[3] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[4] Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[5] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
[6] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasiah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasiah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.