Ketika Jalaluddin Rumi Menampar Kaum Intoleran

 
Ketika Jalaluddin Rumi Menampar Kaum Intoleran

LADUNI.ID, Jakarta - Alkisah, ada seorang muadzin bersuara jelek di negeri mayoritas Kristen. Walaupun ia bersuara jelek, ia tetap pede mengumandangkan adzan dan tak menghiraukan himbauan dari teman-temannya sesama umat Islam.

Hingga suatu ketika, datanglah seorang pendeta kepada muadzin tersebut dan memberikan berbagai kemewahan dunia yang begitu melimpah sebagai tanda terima kasih yang mendalam dari sang pendeta pada muadzin tersebut. Karena penasaran maka orang-orang Islam yang lainnya bertanya pada sang pendeta.

"Wahai pendeta, kebaikan apakah kiranya yang anda peroleh dari seorang muadzin bersuara jelek ini?”.

Sang pendeta pun menjawab, "Sesungguhnya saya mempunyai seorang putri jelita yang sangat aku sayangi dan kini sedang jatuh cinta pada seorang muslim yang shaleh”.

Aku mengkhawatirkan, pada suatu saat nanti ia akan meninggalkanku dan agama yang kami peluk. Hingga di suatu pagi buta, putriku terbangun oleh suara adzan dan bertanya padaku, "Ayah suara jelek dan berisik apaan sih itu?”.

Aku pun menjawab, "itu adalah suara adzan, yakni panggilan shalat bagi umat Islam. Putriku langsung tercengang  dan hampir tak percaya, bagaimana mungkin indahnya ajaran Islam yang selalu ditampilkan oleh kekasihnya memiliki panggilan beribadah sejelek itu?”.

Sejak saat itulah putriku menjauhi kekasihnya itu dan juga Islam  untuk selamanya.

***

Parodi di atas tertuang dalam al-Matsnawi, karya agung oleh sufi agung pula yang bernama Jalaluddin Al Rumi.

Melalui parodi tersebut, Al-Rumi ingin menampar segelintir umat Islam yang mengaburkan keindahan Islam dengan cara-cara yang tidak indah, sehingga yang nampak di permukaan adalah kekejaman, anarkhisme, kekejian serta kekotoran nilai yang bernama Islam.

Menjauhkan Islam dari keindahan, keluhuran, ketenangan, kedamaian dan keselamatan, ibarat menjauhkan api dari baranya.

Dari sini pula bisa kita fahami bahwa mendakwahkan Islam tidak cukup hanya bermodalkan semangat saja, melainkan harus didukung dengan pemahaman yang benar dan memadai, akhlak terpuji dan tentunya manhaj yang benar pula.

Sebab sebaik apapun suatu hal, jika disampaikan dengan cara yang tidak benar dan tanpa didasari dengan ilmu, maka buahnya bukanlah kebaikan, namun fitnah lah yang akan dipetik.

***

Penulis: Qomari Arisandi
Editor: Muhammad Mihrob