Sayyid Ini Memilih NU dan Indonesia Meski Ayahnya Warga Negara Arab

 
Sayyid Ini Memilih NU dan Indonesia Meski Ayahnya Warga Negara Arab

LADUNI.ID, Martapura - Adalah Mahmud Al-Ahdal, seorang sayyid yang lebih memilih menjadi NU dan tinggal di Indonesia meskipun ayahnya, Habib Muhammad bin Ibrahim Al-Ahdal, memiliki kewarganegaraan Arab.

Sayyid Mahmud lebih memilih Indonesia dan NU karena menyukai dan mencintai budaya Indonesia. Ia memilih NU sebagai organisasi tempatnya mengabdi. Kakaknya yang bernama Habib Ahmad Al-Ahdal juga pernah dirawat dan dibesarkan oleh Abah Guru Sekumpul.

Hingga kini, Sayyid Mahmud Al-Ahdal telah aktif di NU sebagai Wakil Bendahara Gerakan Pemuda Ansor Banjarbaru. Bagaimana kisah Sayyid Mahmud hingga bisa menentukan untuk memilih NU dan Indonesia dan tidak mengikuti jejak ayahnya tinggal di Arab Saudi? Selamat membaca.

***

Sayyid Mahmud memang memiliki darah Indonesia. Ibunya berasal dari Amuntai, Kalsel. Kakaknya sendiri, Habib Ahmad Al-Ahdal sejak masih bayi telah diasuh dan menjadi anak angkat Abah Guru Sekumpul.

“Saya ini dilahirkan di kelurahan Keraton, Martapura, tahun 1995 silam. Ibu saya berasal dari Amuntai, namun ayah saya warganegara Saudi Arabia,” terang Sayydi Mahmud, sebagaimana dikutip Laduni.id dari laman banua.co, Selasa (15/12/2020).

Sejak mahasiswa, Sayyid Mahmud aktif di organisasi yang secara historis memiliki afiliasi dengan NU, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Namun karena telah lulus kuliah, Sayyid Mahmud kini aktif di GP Ansor Banjarbaru.

“Sekarang dipercaya sebagai wakil bendahara GP Ansor Banjarbaru. Badan otonom NU,” tutur Sayyid Mahmud Al-Ahdal.

Sayyid Mahmud becerita bahwa, sejak usia 6 tahun dirinya dibawa tinggal di Arab Saudi oleh ayahnya. Dia tinggal di Arab Saudi kurang lebih sekitar dua belas tahun dengan rincian sepuluh tahun di Makkah dan dua tahun di Jeddah. Selama itu, Sayyid Mahmud bersekolah di Arab Saudi.

“Iya, saya sekolah tingkat Ibtidaiyah, Mutawassithoh, hingga lulus Tsanawiyah di Saudi. Di sana tingkat menengah atas itu disebut Tsanawiyah, beda dengan di Indonesia. Kalau istilah Aliyah di sana itu setingkat kuliah di Indonesia,” cerita Sayyid Mahmud.

Lulus tingkat Tsanawiyah, Sayyid Mahmud kemudian mengambil jurusan Bahasa Inggris selama setahun, kemudian ke Indonesia. Di Indonesia, dia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Yani, jurusan manajemen.

Meski menghabiskan masa kecil dan remaja di Saudi Arabia, ketika di Indonesia malah ia lebih senang seperti orang Indonesia kebanyakan. Kesehariannya lebih suka memakai celana panjang dan kaos dibalut jaket.

“Dulu itu ditawarkan mau menjadi warganegara Saudi apa Indonesia. Saya memilih Indonesia,” tegas Sayyid Mahmud.

Sayyid Mahmud berprinsip mempertahankan budaya lokal itu sangat penting. Ia mengkritik orang-orang Indonesia yang lebih menyukai budaya Arab.

Kecintaan pada NU dan Indonesia

Sayyid Mahmud memilih NU dan Indonesia bukan tanpa alasan. Ia sejak kecil selalu diajarkan oleh keluarganya bahwa ia dan keluarganya adalah NU. Ia kemudian belajar tentang sejarah NU yang dari situlah ia tahu bahwa NU adalah organisasi yang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indoensia.

Sayyid juga memiliki pandangan yang unik terhadap orang yang mengatakan tidak perlu ber-NU, yang penting sudah Islam dan melaksanakan Islam ahlussunnah wal jamaah. Menurutnya, orang seperti itu mungkin hanya kekurangan informai saja.

“Dulu pun Abah Guru Sekumpul masuk dalam struktur juga, sebagai mustasyar (penasehat) dalam kepengurusan PBNU era Gus Dur. Banyak yang lupa hal itu. Kyai-kyai kita dulu pengurus NU juga,” terang Sayyid Mahmud.

Sementara, terkait pandangannya kenapa NU sekarang berbeda dengan NU dulu, menurutnya perbedaan itu hanya pada gaya kepemimpinannya saja. Karena tantangannya juga berbeda.

“Tantangan NU hari ini tidak sama dengan tantangan NU jaman dahulu. Karenanya cara menghadapinya juga berbeda. Kalau NU-nya masih sama seperti dahulu,” terangnya.

Ia juga menegaskan bahwa ketika ada orang yang mengaku NU tapi tidak suka sama pengurus NU, menurutnya, orang itu lebih baik tidak usah sama sekali mengaku NU. Dia mengatakan, daripada bersifat seperti itu, lebih baik tidak usah mengaku-aku NU.

Di samping itu, Sayyid Mahmud juga memiliki harapan yang besar terhadap NU. Salah satunya adalah tentang bagaimana kepengurusan inti dari NU itu harus diisi oleh alumni-alumni pesantren, dan bukan diisi oleh orang luar pesantren.

“Masuknya orang-orang yang tidak berlatarbelakang agama ke pengurus inti NU, merusak NU dan mematikan NU itu sendiri. Kedepannya pengurus NU harus diisi orang-orang yang mumpuni dalam ilmu agama,” harapnya.(*)

 

Editor: Muhammad Mihrob