Surat Liar untuk Sang Humanis Besar

 
Surat Liar untuk Sang Humanis Besar

LADUNI.ID, Jakarta - Gus, Saya yakin panjenengan dalam keadaan yang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, dalam keabadian Rahmatullah sana. Izinkan saya mengirimkan sepercik surat pikiran liar saya ini, Gus:

Banyak yang mengatakan bulan ini, bulan Desember ini adalah bulannya Gus Dur, tetapi bagi saya Gus, sama sekali tidak betul itu. Dengan tegas akan saya katakan bahwa tidak hanya di bulan Desember saja Gus Dur Sang Humanis Besar itu dikenang, tetapi di setiap bulan, setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik ‘spirit kemanusiannya’ akan tetap selalu berdenyut hidup di hati mereka-mereka yang tersentuh dan mencintainya.

Ah Gus, di antara humanis-humanis besar yang pernah hidup di bumi manusia ini, andai ada yang bisa diminta pulang kembali ke bumi manusia lagi, pasti yang paling teramat dinanti kepulangannya oleh anak-anak manusia di bumi ini adalah panjenengan, Gus.

Terlebih di bumi kelahiranmu Indonesia ini Gus, rasa-rasanya belum pernah ada manusia setelah kepergianmu yang sanggup menjalankan laku kemanusiaan secara total sepertimu Gus.

Kebanyakan dari kami, ‘’terlebih saya sendiri’’ meski mengaku para muhibbin-mu, para ‘penderek’ yang mencintaimu, serta banyak juga membaca gagasan-gagasan mencerahkan darimu, nyata-nyatanya kami masih sangat munafik dan pengecut Gus.

Kami biasa mengucapkan selamat hari raya kepada umat-umat beragama lain sama sekali tidak terbit dari hati yang benar-benar “merasa harmoni” dengan keragaman, melainkan hanya sekadar klise, basa-basi recehan, dan malah kebanyakan hanya untuk pencitraan dalam kampanye politik semata.

Untuk itu jangan heran Gus, jika kalimat-kalimat indah perihal toleransi itu hanya sekadar menjadi jargon yang menghiasi mulut-mulut munafik kami, nyatanya jika ada kasus intoleransi beragama di depan mata kami, kami menutup rapat-rapat mulut, mata, serta telingga kami sehingga membiarkan kasus jahiliyah itu terjadi.

Kami sesungguhnya masih takut dengan gertakan orang-orang radikal kotor dari agama kami sendiri itu Gus, kami lebih memilih nyaman dibodohi dengan dogma “sejelek-jeleknya perusuh radikal adalah kaum kita sendiri, sementara sebaik-baiknya para korban itu adalah ‘kaum liyan’, orang-orang najis” juga seperti “sehina-hinanya kelakuan imam perusuh adalah keturunan orang mulia, sementara sebajik-bajiknya ‘kaum lain’ itu adalah keturunan monyet”.

Yah, begitulah mirisnya keadaan kami Gus, para pengaku moderat dan humanis yang nanggung.

Juga Gus, kami biasa dengan lantang mengaku lagaknya ‘’manusia merdeka’’ dan ‘’anak semua bangsa’’ sepertimu, tetapi nyatanya toh otak dan jiwa kesadaran kami masih teramat “kerdil” Gus. Buktinya kami masih suka bersikap rasis dan sentimen parah pada kawan dari suku lain, hanya karena merasa kalah bersaing dalam bidang ekonomi.

Kami masih sangat culas Gus, sangat culas, ketidakbecusan dan ketidakberdayaan dalam bidang ekonomi bukannya membuat kami intropeksi diri dan belajar dari mereka, malah kami hanya bisa iri dan menyimpan rasa permusuhan pada mereka.

Bahkan mendoktrinkannya juga pada generasi-generasi penerus kami, jika orang-orang dengan warna kulit tertentu itu adalah biangkerok rakus yang memonopoli dalam segala bidang, yang kita harus berhati-hati dan menjaga jarak untuk berbaik hati pada mereka.

Serta selain itu Gus, kami yang mengaku penderekmu ini juga masih gagal untuk meresapi laku kemanusiaanmu yang begitu total bahkan terhadap kalangan yang mempunyai orientasi seksual yang bagi kami sangat ‘aneh-aneh’itu.

Jangankan meniru panjenengan dalam laku mulia menerima keberadaan dan memanusiakan mereka yang ‘aneh-aneh’ seperti itu Gus, wong kebanyakan dari kami terutama yang laki-laki ini kesadaran dalam bidang gender juga masih jahiliyah Gus, kami masih suka merendahkan dan meremehkan para perempuan dalam banyak hal.

Oleh karena itu Gus, jangan kaget iika terhadap kaum LGBT kami masih terbiasa bersikap memandang sebelah mata dan bahkan diskriminatif pada kalangan yang bagi kami sangat ganjil itu, tak peduli meski mereka-mereka itu adalah orang baik dan punya karya-karya besar dalam bidang kemanusiaan.

Padahal kami sendiri lho Gus, yang meski merasa punya orientasi seksual yang waras ini juga tak kurang-kurang bejatnya moral seksual kami. Meski banyak di antara kami sudah menjalin ikatan suci suami istri, toh masih juga banyak ditemui yang doyan selingkuh sana-sini merusak ‘pager ayu’ rumah tangga seseorang, bahkan juga rumah tangga teman dan saudara sendiri.

Kalau meski seumpama kami tidak selingkuh secara langsung, ya kami biasa membuat skandal maksiat via online seperti halnya orang yang pernah panjenengan sebut “teroris lokal” dengan organisasinya yang “bajigur” itu lho Gus.

Nah, sesungguhnya jika dibandingkan waria yang secara pribadi berani menentang kelaziman masyarakat, sesungguhnya masih sangat busuk dan “menyimpang” kelakuan kebanyakan dari kami Gus.

Tetapi kami yang jelas pengecut Gus, mana pernah kami berani mengakui semua itu di depan umum.

Lebih baik kami tetap merasa suci lalu ikut ramai-ramai menghakimi kaum LGBT, yang kebanyakan dari kami sendiri juga tidak tahu menahu soal ilmu biologi, soal latar biologis suatu makhluk, soal mengapa sehingga ada orientasi seksual seperti mereka. Terlebih-lebih kami juga tidak tahu menahu apalagi memahami dan menelisik sisi psikologis dari sejarah hidup mereka.

Itulah Gus, rentetan-rentetan keganjilan, kemunafikan, dan kepengecutan dari kami, masih pantaskah kami ini mengaku sebagai penderek dari sosok humanis besar sepertimu? (*)

(Ngawi, 15/12/2020)

***

Penulis: Alvian Fachrurrozi
Editor: Muhammad Mihrob