Kesaktian Syahadat Mbah Yai Najib

 
Kesaktian Syahadat Mbah Yai Najib

LADUNI.ID Jakarta - Pernah ada santri, sebut saja Leo, mengalami krisis ketuhanan. Ia bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Allah? Agaknya dia mengalami proses itu karena sedang gemar berfilsafat. Wajar saja.

Pertanyaan itu menjadi mendung di kepalanya, jadi kabut di hatinya. Berputar-putar di dalam benaknya, menyiksa jiwanya. Sangkin galaunya dengan pertanyaan teologis itu, Leo memberanikan diri sowan gurunya, Mbah Yai Najib.

Tak main-main, dini hari ia ketuk pintu ndalem, pilih waktu sepi. Ternyata Mbah Yai masih terjaga.

"Ada apa, Kang?" tanya Mbah Yai agak heran.

"Mau sowan, Yai," jawab Leo.

Setelah dipersilakan duduk. Mbah Yai kembali tanya ada keperluan apa. Tanpa ragu, tanpa basa basi, tanpa babibu, Leo langsung bertanya,

"Gusti Allah itu siapa?"

Ya tentu saja Mbah Yai terkejut dengan pertanyaan Leo. Namun beliau tetap tenang, redam, dan santai. Tak ada jawaban apa-apa dari beliau. Tak ada penjelasan, teguran, apalagi marah-marah.

Mbah Yai justru menyuruh Leo wudhu dulu. Si santri patuh. Ia keluar ke tempat wudhu, lalu kembali masuk ndalem. Setelah agak tenang, Mbah Yai menyuruh Leo membaca syahadat. Ia pun menurut. Ia baca dua kalimat syahadat dengan tartil dan khusyuk.

Lalu? Sudah. Mbah Yai mencukupkan, Leo pamit undur diri. Ajaibnya, setelah keluar dari ndalem itu dia merasa plong betul. Mendung di kepalanya lenyap. Kabut di benaknya sirna. Keraguan yang menghantuinya rontok.

Demikian itulah bimbingan rohani sosok guru. Kadang tak berupa nasehat lisan atau jabaran-jabaran yang bisa dicerna akal pikiran. Cukup sorotan cahaya yang memancar dari lubuk jiwanya yang resik, Mbah Yai Najib.