Kisah Mbah Kiai Djazuli Ngaji di Tengah Padang Pasir

 
Kisah Mbah Kiai Djazuli Ngaji di Tengah Padang Pasir

LADUNI.ID, Jakarta - Mendengar kata Blawong, pikiran kita akan berkelana mencoba mengilustrasikan Blawong itu apa. Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu, terdapat di istana Kerajaan Brawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, semua akan terpana tatkala Blawong sedang berkicau, seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.

Julukan Blawong oleh KH. Zainuddin Mojosari disematkan  kepada KH. Ahmad Djazuli Utsman bin Sahal, Ploso Mojo Kediri. Sebab menurut Guru KH. Wahab Hasbullah ini, kelak Mas'ud (nama kecil KH. Ahmad Djazuli) akan menjadi ulama besar, yang selanjutnya mencetak generasi-generasi unggul.

Banyak kisah dan kesaksian keluarga, para kiai, santri tentang kecintaan beliau terhadap ngaji, bahkan salah satu prinsip hidup yang ditanamkan adalah "afdholut thuruq ilallah thariqatut ta'lim wat ta'allum" (sebaik-baik tariqah menuju Allah adalah belajar dan mengajar). Bahkan ketika beliau menunaikan rukun Islam kelima, yakni perjalanan menuju Baitullah.

Selama di kapal uap inilah beliau gunakan nderes, ngelalar nadzaman "uqudul juman", kitab Balaghoh (sastra) karya Syekh Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi. Bagi beliau, tekun atau sungguh-sungguh (mempeng) adalah kunci utama.

Ibadah haji, sejak dari dulu adalah pilihan. Tidak semua orang bisa berangkat haji meskipun dia memiliki bekal yang sangat cukup. Belum lagi ujian tatkala tiba di Makkatul Mukarromah. Di mana, kala itu di tanah Hijaz terjadi perebutan kekuasaan oleh kelompok Wahabi yang diprakarsai Abdul Aziz As-su'ud.

Sesampainya KH. Ahmad Djazuli di Mekkah, beliau pergunakan untuk  berguru kepada para ulama tanah hijaz hampir dua tahun. Bahkan beliau juga mengajar di kota suci ini. Akan tetapi kabar memburuknya situasi politik di Tanah Hijaz pada tahun 1922, membuat sedih dan resah KH. Djazuli. Peperangan pun tak terelakkan. Sehingga ada pemberlakuan hukum darurat perang, yakni seluruh warga asing harus menghentikan segala kegiatan, termasuk perjalanan Mekkah Madinah. Karena situasi seperti ini, pihak aparat pemerintah akan memulangkan secara paksa bagi warga asing ke asal negaranya.

KH. Djazuli tidak menyerah begitu saja, beliau bertekad untuk ziarah ke Madinah. Sebab selama beliau di tanah Hijaz belum sempat sowan ke Madinah. Akhirnya, beliau berjalan kaki dari Mekkah ke Madinah bersama 6 temannya. Mereka bertujuh membawa sedikit bekal sambil mengalungkan Guriba (kantong wadah air dari kulit kambing) di lehernya masing-masing.

Berjalan lah rombongan kecil ini melintasi hamparan padang pasir tandus, sejauh mata memandang yang tampak adalah lautan pasir, gunung-gunung batu yang terjal. Tak ada pohon rindang seperti di tepi pantai. Karena terik matahari mencapai 40°-55° C, sementara perbekalan air semakin menipis. Sungguh pemandangan yang sangat memilukan hati, apalagi bagi rombongan kecil yang berasal dari negara yang beriklim sedang.

Ciutkah nyali mereka? Tidak! Sebab tekad mereka untuk bertemu dan pamitan kepada Rasulullah sangat bulat. Meskipun jarak yang ditempuh mencapai 498 km (hampir sama dengan jarak Surabaya-Tegal) mengakibatkan tubuh, kaki penuh luka. Dengan situasi, kondisi, serta cuaca yang sangat ekstrem.

Apabila panas telah menyengat, sekitar jam 11.00 siang, mereka istirahat di tempat yang saat itu dijumpai, kadang menemukan timbunan batu di lereng gunung, dan ada mata airnya (wadi). Namun bila tidak menjumpai tempat seperti itu, mereka berhenti dan tidur di tengah padang pasir. Digalinya padang pasir itu, lalu masing-masing memendam badannya sampai batas leher, hanya kepala yang kelihatan. Tujuannya agar tidak terserang Heat Stroke (penyakit akibat sengatan panas padang pasir).

Namun, kejadian yang paling mengagumkan adalah tetap ngaji di tengah kondisi seperti ini. Bila memungkinkan, mereka duduk melingkar dan memulai ngaji kitab Minhatul I'rob, tentang Nahwu. Sayangnya, kitab ini rusak, akibat pinggiran kitab disobek untuk membungkus tembakau, sebagai pengganti bekal makanan yang semakin menipis.

Akhirnya, mereka bertemu suku Badui, dan mereka ditolong lalu dipersilahkan singgah di gubuknya. Di sinilah, rombongan kecil ini ngisi bekal. Sementara itu, suku badui menyembelihkan kambing untuk menyuguhi KH. Djazuli beserta teman-temannya. Usaikah perjalanan itu?

Rombongan kecil ini tetap melanjutkan perjalanan, hingga berjumpa dengan suku Badui lainnya. Akan tetapi suku Badui kali ini memiliki niat jahat, bermaksud merampok. Sebelum insiden terjadi, salah satu rombongan kecil ini berkata: "kami faqir-faqir dari tanah Jawa akan berziarah ke makam Rasulullah." Badui-badui itu terketuk hatinya, malahan mempersilahkan istirahat dan memberi makan minum untuk rombongan ini.

Hari demi hari mereka lalui dengan terus berjalan dengan kondisi memprihatinkan, sandal jebol, kaki-kaki membengkak, surban dan celana pun disobek untuk alas kaki. Kini mereka tidak punya apa-apa lagi dibuat makan dan minum, saat itulah KH. Djazuli berkata kepada teman-temannya: "Aku akan berdoa, kalian semua mengamini”.

Tak lama berselang, muncul lah seorang berbaju putih memanggil dari kejauhan sambil berisyarat dengan tangan, orang itu mempersilahkan rombongan masuk gua. Selanjutnya, disuguhi aneka makanan, minuman dan buah-buahan. Peristiwa ini terjadi berulang kali. Anehnya, setelah pamit berangkat melanjutkan perjalanan dan menoleh ke belakang, tempat yang disinggahi tadi hilang.

Tibalah rombongan kecil ini di Kota Madinah sekitar jam 16.30, setelah sebulan lebih melewati ganasnya padang pasir. Hampir sebulan pula mereka tinggal di Madinah, sebelum akhirnya ditangkap pemerintah kerajaan as-Saud dan dipulangkan ke tanah air.

Konon, setelah penangkapan, KH. Djazuli  dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda. Petugas tidak memberi kesempatan untuk berkemas-kemas, pamitan atau mengurusi barang, dan kitab-kitabnya di Mekkah. Hanya kitab Dalailul Khairat yang terbawa pulang. KH. Djazuli pun berdoa, "saya pasrahkan kitab-kitab ini kepada-Mu, ya Allah".

Menurut kisah yang saya ingat. Kitab Dalailul Khairat yang dibawa KH. Djazuli adalah kitab pemberian dari orang yang tidak dikenal. Anehnya, setelah di kroscek, orang yang memberikan kitab itu sudah meninggal 100 tahun yang lalu. Dia bernama Habibullah As-Syinqithi. Namun menurut buku Sang Blawong Pewaris Keluhuran, dia bernama Ibrahim At-Taimiy. Wallahu A'lam.

Dari kisah haji di atas, menegaskan bahwa haji bukanlah untuk senang-senang, bukan pula untuk mengangkat strata sosial, belanja, cari oleh-oleh, ajang pamer. Akan tetapi ibadah haji adalah perjuangan. Ibadah yang menguras lahir batin dengan cucuran keringat seraya bertasbih, bertahmid hanya menggapai ridha Allah dan berjumpa Rasulullah. Alangkah malunya, bila mana bangga dengan status haji, namun jiwa raga tetap jauh dari Allah dan Rasulullah.

KH. Djazuli pulang dengan tanpa membawa oleh-oleh layaknya Pak Haji pada umumnya yang berwajah ceria memakai pakaian jubah, serban, bawa kurma dan air zamzam. KH. Djazuli pulang ke tanah air dalam keadaan sakit, tidak dapat turun sendiri dari kendaraan, dikarenakan kakinya sobek, dan baju yang terkoyak. Beliau berangkat dan pulang penuh derita.

Akan tetapi di balik itu semua, ayah dari Kiai Din, Kiai Dah, Gus Miek, Kiai Fuad, Kiai Munif dan Bu Nyai Badriyah ini telah meraih "oleh-oleh" yang sangat berguna, bermanfaat bagi keluarga dan masyarakatnya, yakni haji mabrur dan ilmu agama (dari beberapa ulama hijaz) yang diajarkan kepada putra-putri dan santrinya sebagai bekal di dunia dan akhirat.

Khushuson si Mbah Kiai Djazuli Utsman bin Sahal. Alfatihah…(*)

***

Penulis: Ahmad Karomi
Editor: Muhammad Mihrob