Kisah Ketawadluan Kiai Ihsan Dahlan Jampes

 
Kisah Ketawadluan Kiai Ihsan Dahlan Jampes

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu saat, Mbah Maimun diajak abahnya (KH Zubair Dahlan) silaturrahim ke Jampes untuk tabarruk dan mengenal lebih dekat sosok Mbah Ihsan. Melihat kitab Sirojuttolibin karangan beliau yang begitu mendunia dan dikagumi banyak ulama Nusantara hingga mancanegara, tentulah beliau sebagai penulisnya juga seorang kiai yang sangat mahir bebahasa Arab. Kitab ini tidak hanya beredar di Timur Tengah, bahkan hingga Australia, Amerika Serikat, dan Kanada. Tidak hanya itu, kitab ini pun dijadikan kajian oleh mahasiswa pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo, Mesir

Bahkan, pada 1934, Raja Faruq, raja Mesir kala itu mengirim utusan ke Dusun Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, permintaan tersebut urung diterima lantaran kecintaan sang kiai kepada tanah kelahirannya. Ia ingin mengabdikan diri kepada warga desanya melalui pendidikan.

Karena itu, tanpa sungkan-sungkan Mbah Zubair (ayahanda Mbah Moen) langsung memulai perbincangan dengan berbahasa Arab. Tetapi Mbah Ihsan selalu menyahutinya dengan bahasa jawa, “Nggeh, nggeh Yai.."

Setelah lewat beberapa pembicaraan, barulah Mbah Ihsan berkata,

Ngapunten Yai, ngagem boso Jawi mawon, kulo niku saget maham kitab-kitab, nanging kulo mboten saget ngendikan boso Arab. (Maaf Yai, pakai bahasa Jawa saja dialognya, saya itu bisa memahami kitab-kitab berbahasa Arab, tetapi saya tidak mahir dialog berbahasa Arab).”

Konon, Kiai Jazuli Utsman (Ploso, Kediri) pun sempat heran melihat apa yang ada pada diri Mbah Ihsan ini. Beliau berdua sama-sama memberikan pengajian di Masjidil Haram. Kiai Jazuli di samping dikenal akan keluasan ilmunya, juga sangat fasih lisannya, uraian-uraian beliau yang luas dan menarik serta mudah dipahami membuat orang tidak pernah bosan mendengarkan pengajiannya.

Meski demikian, yang mengikuti pengajian beliau selalu tidak sebanyak orang yang mengikuti pengajian Mbah Ihsan. Padahal Mbah Ihsan hanya membacanya saja dengan makna ala Jawa dan jarang sekali menjabarkannya.

Begitulah teladan yang perlu kita contoh dari Kiai Ihsan Jampes, sebuah teladan ketawadhu’an. Meskipun beliau alim bahkan telah dianggap pantas untuk mengajar di salah satu kampus bergengsi kelas dunia, Universitas Al-Azhar Cairo, namun beliau tetap tewadhu’ saat, salah satunya ketika berjumpa dengan Mbah Moen. Subhanallah…(*)

***

Sumber: Ulama Nusantara
Editor: Muhammad Mihrob