Genealogi Spiritual dan Perjuangan Trah Diponegoro: dari Tegalrejo hingga Kedungparuk

 
Genealogi Spiritual dan Perjuangan Trah Diponegoro: dari Tegalrejo hingga Kedungparuk

LADUNI.ID, Yogyakarta - Menurut sumber-sumber Belanda, Diponegoro digambarkan sebagai pria bertubuh gempal dan tingginya sedang. Namun, perawakannya tegap dan dia memiliki stamina yang luar biasa. “Diponegoro seperti terbuat dari besi,” kata salah seorang opsir Belanda, De Kock. Diponegoro mempunyai daya magisnya sendiri yang kuat. Hal itu yang membuatnya tetap menawan di mata perempuan.

Peter Carey menambahkan, meski wajah Diponegoro tak setampan Arjuna, kharismanya tak dianggap sebelah mata oleh orang-orang Jawa. Tetapi meskipun Pangeran Diponegoro memiliki daya tarik besar dan merupakan pribadi yang hangat apabila berhadapan dengan lawan jenis, dia tak dikenal sebagai seseorang yang humoris. Orang-orang Eropa justru menilainya sebagai pribadi yang kaku dan menakutkan.

Pernikahan Pangeran Diponegoro yang pertama terjadi pada 1803 ketika beliau masih berusia 27 tahun dan nenetap di puri Tegalrejo. Sang Pangeran menikah dengan Raden Ayu Retno Madubrongto puteri kedua Kiai Gedhe Dadapan, seorang ulama terkemuka di desa Dadapan, perbatasan Kedu-Jogjakarta. Kiai Gede Dadapan adalah seorang kepala wilayah di Pathok Nagari (Batas Wilayah), sekaligus sebagai pengikut setia keluarga Sultan.

Kiai Gedhe Dadapan juga pernah menjadi salah satu pengasuh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Kiai Gedhe Dadapan sering berkunjung dan menginap di lingkungan Puri Tegalrejo untuk menjalankan tugasnya mengantar kebutuhan Ratu Ageng. Pada saat itulah beliau sering ikut mengasuh Pangeran Diponegoro kecil yang masih bernama Ontowiryo.

Ratu Ageng, istri Hamengkubuwono I, adalah sosok perempuan tangguh yang mendampingi suaminya manakala bergerilya dalam Perang Mangkubumen sampai perjanjian Giyanti. Dia juga dikenal sebagai "Sufi Perempuan" yang memperdalam spiritualitas dan memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan karena merupakan cucu Kiai Datuk Sulaiman Bekel Jamus putra sulung Sultan Abdul Qohir Bima yang berguru di Giri, tempat dimana Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro juga berguru di Giri sebelum berdakwah ke Sulawesi dan Bima.

Kiai Datuk Sulaiman Bekel Jamus memeristri putri Ki Ageng Wiroyudo dari Jawa Timur dan menurunkan Rara Widuri yang diperistri oleh Ki Derpayuda dari Mahangjati Sragen dari trah Janjeng Ratu Ma Sekar, putra Pabembahan Hanyakrawati dan menurunkan Niken Lara Yuwati yang diperistri oleh Pangeran Mangkubumi, kemudian memilih keluar dari keraton dan menetap di Tegalrejo sehingga dikenal dengan Ratu Ageng Tegalrejo.

Nyai Ageng Tegalrejo dikenal memiliki jiwa militer karena dalam darahnya mengalir gen Sultan Abdul Qahir, Bima. Di bawah komando Ratu Ageng, korps Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan, mengalami kemajuan. Kelak, beberapa tahun menjelang Perang Jawa, korps Prajurit Estri peninggalannya ini membuat utusan negara Eropa melongo dan terkagum-kagum saat menyaksikan keterampilan para pendekar perempuan mengendarai kuda, melepaskan tembakan salvo, dan ketepatan membidik.

(Korps Prajurit Estri Mataram konon telah ada sejak Retno Dumilah putri Pangeran Timur, yang mempertahankan Madiun dari serangan Mataram yang dipimpin Panembahan Senopati. Ide pendirian Korp Prajurit Estri kemungkinan terinspirasi dari ketangguhan sosok bibinya Ratu Kalinyamat yang banyak mengirim ekspedisi militer menghadapi Portugis di Malaka dan Maluku. Konon Nyai Adisara (putri Sunan Prawoto) dan Retno Dumilah (cucu Sultan Trenggoni), dua istri Senopati mendapat latihan militer dari Jepara di usia mudanya).

Di tangan Ratu Ageng, yang mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan beraksara Pegon, Diponegoro diseret ke dalam keasyikan dunia pengetahuan fiqh sekaligus tasawuf. Buyut puterinya membuatkan sebuah balairung luas di samping tempat tinggalnya khusus bagi para ulama untuk berdiskusi dengan beragam tema, dari fiqh hingga tata negara.

Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Fari'i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakari yah al-Anshari merupakan favorit bacaannya. Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Diponegoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pangeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattariyah melalui kitab Tuhfat al-Mursalahila Ruhan-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.

Kitab Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syaikh Muhammad bin Fadhlullah a-Burhanpuri ini adalah kitab fenomenal pada zamannya yang tidak hanya masyhur di India dan Nusantara tetapi di seluruh dunia Islam bahkan sampai ke jantung dunia Islam di Mekkah dan Madinah. Bahkan Syekh Ibrahim Al Kurani dari Madinah menulis kitab tersendiri khusus membahas Kitab Tuhfah yaitu Kitab Ithaf ad Dzaki yang ditujukkan kepada para muridnya di Jawa (terkhusus ditujukan kepada Syekh Abdurrauf Singkel).

Kitab Tuhfah ini merupakan eksplanasi ringkas tentang ajaran "tajalli ilahi" dari Ibnu 'Arabi dalam Kitab Futuhat al Makkiyyah yang telah diadaptasi dengan tradisi India yang menjelaskan falsafah sufisme tentang ajaran “martabat tujuh” derivasi dari ajaran "tajalli ilahi". Kelak kitab ini disadur dan diadaptasi ulang kedalam tradisi Jawa oleh Ronggowarsito dalam kitabnya Wirid Hidayat Jati.

Menurut Oman Fathurrahman, filolog UIN Syarif Hidayatullah sebagaimana dusampaikan kepada Peter Carey, Ratu Ageng, nenek buyut Pangeran Diponegoro, adalah penganut Tarekat Syattariyah. Berdasarkan penelitian atas naskah Jav. 69 [Silsilah Syattariyah] dari koleksi Colin Mackenzie di British Library, London, Ratu Ageng–yang disebut ‘Kangjeng Ratu Kadipaten’ dalam naskah–disebutkan dalam empat bait sebagai penganut setia yang memiliki pertalian langsung dengan para mursyid utama Tarekat Syattariyah di Jawa Barat, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715) melalui empat silsilah ulama.

Tarekat Syattarinya sendiri sampai di Nusantara lewat Pasai dimana Maulana Ishak dan putranya Maulana 'Ainul Yaqin (Sunan Giri) menurut Babad ing Gresik termasuk dalam mata rantai silsilah tarekat Syattariyah yang kelak dilanjutkan oleh Syekh Abdurrauf Singkel dari Aceh dan para muridnya Syekh Burhanuddin Ulakan dari Minang dan Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan berkhalwat di Goa Safarwadi, Tasikmalaya.

Ada dua kemungkinan darimana Diponegoro mempelajari kitab Tuhfah, kemungkinan pertama dari Syarif Hasan Munadi alias Tuan Sarif Samparwedi, seorang Arab yang menjadi komandan resimen pengawal pribadi sang Pangeran, Barjumungah yang lebih dikenal dengan Basah Hasan Munadi dari jalur Syekh Abdul Muhyi Safarwadi, dan kemungkunan kedua dari Taftazani, seorang pengajar agama di Mlangi (asal Sumatra?) yang mendapat sanad dari Syekh Burhanuddin Ulakan.

***

Dikisahkan, Kiai Gedhe Dadapan yang terlibat langsung dalam diskusi keagamaam di Balairung Ratu Ageng, selain melayani kebutuhan Ratu Ageng juga sering membacakan kitab-kitab keagamaan untuk Ontowiryo. Setelah Ontowiryo menjadi santri di Mlangi di wilayahnya, dia juga yang bertugas mengurus segala kebutuhan Sang Pangeran selama mondok sebagai santri.

Kedekatan hubungan inilah yang akhirnya mempertemukan Sang Pangeran dengan puteri Kiai Gedhe Dadapan yang kelak menjadi istri pertamanya, yaitu Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang wanita yang solehah dan sangat memahami jalan pikiran dan jalan hidup suaminya. Dari perkawinannya inilah, Pangeran Diponegoro banyak bergaul dengan kaum ulama Pathok Negari, pesantren Mlangi dan para ulama Yogyakarta dan tanah Jawa yang kelak menjadi pendukung utama perang Jawa.

Raden Ayu Retno Madubrongto tidak pernah mengeluh walaupun sering ditinggalkan suaminya berkelana, bertapa untuk mencari makna sejati kehidupan. Bahkan diapun tidak pernah bertanya mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai isteri permaisuri oleh suaminya.

Raden Ayu Retno Madubrongto wafat sebelum penyerbuan Belanda ke Tegalrejo. Tahun pastinya tidak diketahui tetapi beliau wafat sekitar tahun 1814. Dari pernikahan ini lahirlah dua anak laki-laki yaitu Raden Mas Ontowiryo II / Diponegoro Anom yang mewarisi kharisma dan kepemimpinan ayahnya dan Raden Mas Dipoatmojo.

Raden Mas Ontowiryo ll lahir pada 1803, tahun wafatnya Ratu Ageng (17 Oktober 1803). Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya.

Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah Sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam. Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom.

Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah.

Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo. Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan.

Di medan perang, Diponegoro Anom sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo di daerah Kulonprogo. Ketika Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, Diponegoro Anom menjalani pembuangan di Sumenep sampai 1834 sebelum akhirnya dibuang ke Ambon pada 1853. Di Tlatah Banyumas Diponegoro Anom berputra Raden Mas Ali Dipawangsa yang dimakamkan bersama istri di Kedungparuk, Purwokerto.

Raden Mas Ali Dipawangsa memiliki empat orang putera, yaitu Raden Mas Suramenggala, Raden Mas Ali Diporudin yang dimakamkan di Kedung Paruk, Kiai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas yang dimakamkan di Sokaraja, dan putera terakhir yang belum diketahui namanya yang menurunkan Mbah Abu Bakar.

Raden Mas Muhammad Ilyas adalah putra kedua RM Ali Dipawangsa. Sebelum pindah ke Sokaraja ia berdiam bersama sang Ayah di Kedung Paruk memperdalam ilmu agama. Sejak kecil, RM Muhammad Ilyas mengaji kepada orangtuanya, kemudian setelah beranjak dewasa, Ilyas remaja belajar agama di Surabaya kurang lebih 10 Tahun lamanya, beliau mengaji sama Kiyai Ubaidah dan juga Kiyai Abdurrohman, dari beliau beliau ini, RM Muhammad Ilyas mendapatkan sanad thoriqoh Naqsyabandiyah. Lalu, Muhammad Ilyas berangkat meningkatkan ilmu agamanya ke Makkah.

RM Muhammad Ilyas berguru dengan Syaikh Sulaiman az-Zuhdi dari Turki. Di Makkah ini, RM Muhammad Ilyas di gembleng menjadi seorang ahli ilmu agama selama kurang lebih 30 tahun lamanya. Setelah itu, ia melanjutkan keguruannya ke Baghdad, di sana mengaji agama selama 10 tahun. Setelah dari Baghdad, RM Muhammad Ilyas pulang ke Banyumas dan kemudian berdakwah. 

Ketika tinggal di Makkah, RM Muhammad Ilyas hidup prihatin. Ia selalu masak nasi sendiri yang dengan sengaja dicampuri pasir olehnya. Sewaktu hendak makan nasi, pasir itu satu persatu diambilnya dari sela-sela nasi yang ada di piringnya, baru kemudian ia makan. Hal itu dilakukannya untuk melatih kesabaran dan agar tidak rakus terhadap makanan.

Dikisahkan saat berguru di Makkah, anak angsa kesayangan sang Guru jatuh ke dalam jumbleng (tempat menampung tinja). Gurunya bingung, murid-murid lain pun bingung tak tahu harus berbuat apa. RM Muhammad Ilyas yang kemudian turun ke jumbleng untuk mengambil angsa itu. Sampai di atas, masih berlumuran tinja, Mbah Ilyas dipeluk oleh gurunya.

Ketika pulang dari Makkah, RM Muhammad Ilyas tiba di Jawa bersama tiga orang teman seperguruan lainnya, salah satunya adalah Mbah Sholeh Darat, Semarang. Namun yang diberi ijazah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi (silsilah tarekat ke-32) untuk mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah hanyalah Mbah Ilyas dan satu orang teman Mbah Ilyas.

Awalnya RM Muhammad Ilyas menyebarkan ajaran tarekat dari langgarnya di Kedungparuk, namun sambutan luas masyarakat membuat pemerintah Belanda gerah, sehingga Mbah Ilyas ditahan pada 1888 dengan tuduhan melawan pemerintah. Saat berada di penjara Belanda dekat Alun-alun Banyumas itu, pada malam harinya terlihat sinar terang keluar dari sel dimana RM Ilyas ditahan.

Syekh Abubakar, Penghulu Landraad Banyumas, kemudian datang ke penjara setelah mendapat laporan mengenai keanehan itu. Mengetahui bahwa yang dipenjara ternyata bukan orang biasa, akhirnya RM Muhammad Ilyas dikeluarkan dari penjara oleh Syekh Abubakar dengan syarat ia bersedia menjadi menantunya.

Setelah bebas dari tahanan Belanda, RM Muhammad Ilyas kemudian pindah dan selanjutnya menetap di Sokaraja Lor dan meneruskan perjuangannya dalam mengembangkan ajaran tarekatnya. Hal itu disebabkan karena ia hanya diijinkan mengajar tarekat dari masjid wakaf mertuanya, yaitu Penghulu Landraat Syekh Abubakar, di Sokaraja Lor ini.

Kiai Haji RM Muhammad Ilyas wafat dan dimakamkan di Sokaraja Lor di belakang Masjid wakaf dari Syekh Abu Bakar dengan tembok hijau di belakangnya dengan tulisan yang berbunyi "Kiai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas Bani P. Diponegoro" berdasar layang kakancingan angka 11553 yang dikeluarkan pada 18 September 1960 M oleh Pangageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan di bagian depan atas makam tulisan berbunyi "Makam Kiai Haji Muhammad Ilyas, Guru Mursyid, Toriqoh Annaqsyabandiyyah Al Mujaddadiyyah Al Kholidiyyah, Wafat 29 Shafar 1334 H", atau Senin 4 Januari 1916. Mursyid adalah guru pembimbing tarekat yang telah mendapat ijin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya dan bersambung sampai Nabi Muhammad SAW.

***

Salah satu putra RM Muhammad Ilyas adalah Muhammad Abdul Malik, guru spiritual Habib Lutfi bin Ali bin Yahya dari Pekalongan. Muhammad Abdul Malik lahir di Kedungparuk pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M) dengan nama Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kiai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.

Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kiai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.

Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya, RM Muhammad Ilyas wafat pada usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.

Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.

Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kiai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.

Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.

Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama 35 tahun penuh, karena disamping belajar di tanah Suci, beliau juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun termasuk dalam aktifitas beliau membimbing haji.

Di antara guru-guru Syeikh Abdul Malik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.

Syekh Abdul Malik sendiri merupakan Mursyid Thariqoh Naqsabandiyah Kholidiyah sekaligus Mursyid Syadziliyah. Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh RM Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Mali gigih berdakwah dengan meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau pun pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah.

Pada masa Gestapu, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.

Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup.

Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.

Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.

Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.

Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban.

Ketika pintu dibuka, rupanya Sang Mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedungparuk, Purwokerto.(*)

***

Penulis: Subhan Mustaghfirin, Penulis Sejarah, tinggal di Yogyakarta.
Editor: Muhammad Mihrob

_____________________________________
Sumber:
- Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro
- Raden Ayu Retno Madubrongto
- Fahmi, Ali, Ratu Ageng Nenek Buyut Pangeran Diponegoro
- ________, Sanad Keilmuan Pangeran Diponegoro
- Haji Datuk Sulaiman, Pangeran Bima di Tanah Rantau
- M. Dahlan Abubakar, Pangeran Diponegoro, Buyut dari Bima, Makam di Makassar
- Kisah Hidup Kiai Taftazani, Guru Ngaji Pangeran Diponegoro yang Jarang Diketahui
- Silsilah Kekerabatan Prabowo Subianto dari Jalur Kesultanan Bima dan Madura
- Raden Mas Muhammad Ngarip/Raden Antawirya II / Diponegoro Anom/Diponegoro II/Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II /Pangeran Abdul Majid
- Ziarah Kiai Haji RM Muhammad Ilyas Sokaraja Lor
- Syeikh Muhammad Abdul Malik (Mursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin)
- Syekh Abdul Malik KedungParuk