Ajaran Islam Mengenai Prioritas Dialog dan Musyawarah

 
Ajaran Islam Mengenai Prioritas Dialog dan Musyawarah
Sumber Gambar: artstation.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Musyawarah adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Setidaknya ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang secara tegas memerintahkan kita untuk bermusyawarah dalam menghadapi segala masalah, khususnya yang terkait dengan orang lain. Ketiga ayat tersebut adalah:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali 'Imran: 159)

وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. Asy-Syura: 38)

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (QS. At-Talaq: 6)

Islam memang datang untuk menghentikan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan diganti dengan cara-cara perdamaian melalui dialog dan musyawarah. Apalagi, Islam berasal dari kata sa-li-ma (kata kerja infinitifnya; aslama-yuslimu-islaman) yang berarti "tunduk", "pasrah", dan "memenuhi atau melakukan". Dalam konteks kalimat, ia bisa juga berarti as-silm  dan as-salam yang berarti "kedamaian" dan "perdamaian".

Asghar Ali Engineer, pemikir muslim asal India, lebih senang menafsirkan kata Islam dengan “perdamaian” (as-silm) dengan merujuk kepada misi perdamaian dan kedamaian yang intrinsik dalam wahyu. Mengutip Ahmad Amin, Asghar menganggap makna kedamaian dalam Islam sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan konteks zaman Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam Al-Quran ditunjukkan ada beberapa ayat, antara lain berikut ini:

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila ‘orang-orang keras hati’ (Jahiliyah) menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang damai (qolu salama)." (QS. Al-Furqan: 63)

Secara kontekstual, kata kedamaian menunjukkan bahwa kedatangan Islam sebagai rahmat dan pengikat bagi kebiasaan orang Arab yang suka berperang dan bermusuhan berdasarkan emosi kesukuan. Orang-orang Arab masa itu terkenal sangat keras, arogan, dan frontal dalam menghadapi suatu persoalan.

Sistem sosial Bangsa Arab pada masa pra-Islam berjalan berdasarkan sistem kesukuan. Identitas seseorang berakar pada afiliasinya dengan klan dan suku tertentu. Klan merupakan struktur sosial yang dibangun oleh sejumlah keluarga besar dan suku merupakan asosiasi dari beberapa klan.

Sistem kesukuan menggambarkan kerasnya kehidupan orang-orang Arab. Peperangan dan kekerasan menjadi suatu keseharian yang integral dalam kehidupan mereka. Tidak ada satu alasan pun untuk menolak adanya kekerasan dalam kehidupan mereka. Peperangan setiap saat bisa terjadi guna memperluas pengaruh suku masing-masing dengan menjadikan suku-suku lain sebagai "wilayah jajahan". Mereka melakukan genjatan senjata pada bulan-bulan tertentu yang disepakati. Singkatnya, tiada hari tanpa perjuangan mempertahankan diri dengan segala upaya. Hukum saling menguasai dan balas dendam menjadi suatu hal yang lazim dalam pandangan hidup bangsa Arab.

Tradisi perang dan kekerasan inilah yang kemudian berusaha diminimalisir oleh Islam dan kemudian digantikan dengan cara-cara perdamaian melalui dialog dan musyawarah.

Refleksi Keteladanan Nabi

Ada dua peristiwa penting yang dialami Nabi Muhammad SAW – satu peristiwa sebelum menjadi Nabi dan satu lagi setelahnya– yang menunjukkan dasar-dasar pentingnya dialog dan musyawarah. Dua hal tersebut adalah soal pembangunan kembali Makkah tahun 605 M dan penaklukan kembali Makkah pada tahun 630 M.

Ketika pada tahun 605 masyarakat Makkah berjuang untuk membangun Kakbah muncul konflik di kalangan beberapa suku mengenai siapa yang berhak untuk meletakkan hajar aswad, "batu hitam" di samping Kakbah. Konflik bermula ketika masing-masing klan saling berkeinginan untuk memperoleh kehormatan sebagai pengangkat batu tersebut dan meletakkan di tempatnya. Setelah hampir lima hari terjadi perang urat syarat, muncul usulan dari orang tersepuh yang hadir agar mengikuti saran orang yang paling dahulu memasuki Kakbah melalui pintu "Bab As-Shafa". Dan kebetulan saat itu, yang ditakdirkan Allah melewati pintu tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW yang dipercaya atas tugas menyelesaikan konflik tersebut meminta agar didatangkan jubah dan meletakkan hajar aswad di atas jubah yang telah dibentangkan di atas tanah. Beliau kemudian meminta masing-masing klan untuk memegang pinggir jubah, lalu mengangkatnya secara bersama-sama, sementara kemudian Nabi Muhammad mengambil batu tersebut untuk diletakkan di tempatnya. Maka, setelah konflik itu selesai, dimulailah kembali pembangunan Kakbah tersebut.

Peristiwa tersebut menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW sangat mengedepankan kebersamaan ketimbang kepentingan pribadi. Dengan kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, Nabi bisa saja mengangkat batu tersebut dan meletakkannya di Kakbah. Namun, demi menjaga kebersamaan di antara suku-suku di Makkah, Nabi mengajak para pemimpin suku untuk bersama-sama mengangkat batu suci hajar aswad itu.

Peristiwa kedua terjadi tahun 622, ketika Nabi bersama pasukannya berupaya kembali ke Makkah setelah hijrah selama delapan tahun di kota Madinah. Orang-orang Makkah yang merasa berbuat salah dengan mengusir Muhammad ke Madinah takut akan kemungkinan balas dendam yang mungkin menimpa mereka.

Ketika memasuki Makkah, Nabi Muhammad berpidato: "Apa yang akan kalian katakan dan apa yang kalian pikirkan?" Mereka menjawab, "Kami berkata dan berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, Andalah yang memberi perintah."

Kemudian Nabi pun mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan saudara Yusuf: "Pada hari ini tidak ada celaan yang ditimpakan atas kalian, Tuhan akan mengampuni kalian, dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang."

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW baik sebelum maupun setelah menjadi Nabi ini merupakan contoh bagaimana konflik sesungguhnya bisa diatasi dengan cara damai, tanpa dengan kekerasan dan konflik yang berkepanjangan. Alih-alih mendorong kepada klan tertentu untuk meletakkan batu tersebut, Nabi memberikan kesempatan yang sama kepada mereka guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik yang lebih tajam. Nabi juga tidak melakukan balas dendam, tetapi justru memberikan maaf kepada orang-orang Makkah yang pernah melakukan kesalahan pada beliau.

Dari tindakan Nabi ini ada beberapa nilai inti yang bisa diidentifikasi untuk terciptanya dialog, musyawarah dan perdamaian. Pertama, kesabaran, karena Nabi Muhammad SAW berkenan mendengar terlebih dulu mengenai problem yang sesungguhnya. Kedua, menghargai mertabat kemanusiaan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketiga, kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan pihak lain, tetapi bisa dengan cara membaginya secara setara. Keempat, berbagi bersama ini didasarkan atas partisipasi yang sama di antara semua pihak yang terlibat konflik. Kelima, perlu sikap kreatif untuk mencari media yang bisa menyelesaikan konflik. Keenam, memberikan maaf kepada pihak yang memang seharusnya diberi maaf.

Alternatif Mendamaikan Konflik

Dialog, musyawarah dan perdamaian dibutuhkan karena kehidupan ini penuh dengan perbedaan. Setiap orang memiliki keinginan dan kepentingan mungkin berbeda dengan orang lain. Jika kepentingan tersebut bertabrakan dengan kepentingan orang lain, maka yang akan terjadi adalah konflik. Jalan terbaik untuk mengatasi konflik adalah dengan cara dialog dan musyawarah, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat 10 berikut ini:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

"Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."

Bahkan, dalam ayat sebelumnya, Allah SWT mengancam jika ada orang yang tidak mau berdamai dan malah berkhianat, maka agar diperangi.

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat: 9)

Perintah untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai diulang dalam banyak ayat lainnya, misal dalam Surat Al-Baqarah ayat 182, An-Nisa ayat 128, dan Al-Anfal ayat 61. Pengulangan ini tentu saja menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dengan cara damai melalui dialog dan musyawarah adalah pilihan yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik, tentu saja musyawarah membutuhkan prasyarat. Musyawarah dapat membuahkan hasil yang baik jika masing-masing orang yang bermusyawarah saling percaya satu sama lain dan menganggap orang lain sebagai bagian yang setara. Syarat ini penting karena musyawarah tidak akan berjalan dengan baik jika ada anggota musyawarah yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Itulah sebabnya, dalam musyawarah, berlaku pepatah yang sudah sangat populer diketahui asalnya dari Imam Ali:

انظر إلى ما قال ولا تنظر إلى من قال

“Perhatikanlah apa yang dikatakan, jangan memperhatikan siapa yang berkata.”

Petuah tersebut hendak menegaskan, bahwa dalam musyawarah tidak terlalu penting dari siapa pendapat itu berasal. Tetapi yang jauh lebih penting adalah apakah gagasan itu membawa maslahat atau tidak bagi kepentingan orang banyak. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Maret 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ust. Hasibullah Satrawi (Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir)

Editor: Hakim