Penciptaan, Kenonmaterian dan Keabadian Nafs

 
Penciptaan, Kenonmaterian dan Keabadian Nafs
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Dalam ilmu nafs Ibnu Sina dan Suhrawardi, nafs dicipta ketika badan sudah tersedia dan dapat menerima substansi nafs. Jadi nafs dari segi keberadaannya adalah baru, dan karena ia non-materi, maka dari segi keberlangsungan keberadaannya adalah abadi. Sementara filosof Yunani Plato memandang bahwa nafs adalah entitas yang qadim yang kemudian diturunkan pada badan.

Mulla Sadra, filosof Hikmah Muta’aliyah berpandangan bahwa nafs muncul dari hasil gerak substansi materi. Teori ini terkenal dengan jismaniyyatul huduts wa ruhaniyyatul baqa. Yakni dari segi kebaruannya adalah jisim, tapi dari segi keabadiaannya adalah ruhani dan non-materi. Tapi dari semua bentuk teori penciptaan nafs ini, semuanya berpandangan bahwa nafs adalah entitas non-materi.

Dalam Surat Al-Mu'minun ayat 12-14 digambarkan tentang proses terjadinya manusia

Al-Mu'minun: 12

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”

Al-Mu'minun: 13

ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ

Artinya: “Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”

Al-Mu'minun: 14

ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ

Artinya: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

Nafs, sesuai dengan argumen-argumen filsafat Islam adalah suatu substansi non-materi. Di antara argumen-argumen yang mengafirmasikan kenonmateriannya adalah pengetahuan hudhuri kita terhadap diri kita.

Yakni, salah satu argumen yang paling penting dalam mengafirmasikan kenonmaterian nafs adalah jalan ilmu hudhuri kepada diri sendiri. Kita semua dengan jelas mengetahui diri kita, kita semua menyadari keberadaan diri kita, dan ini adalah suatu perkara badihi. Setiap orang mengetahui dirinya lewat pengetahuan hudhuri, bahkan pengikut materialis juga tidak dapat mengingkari adanya pengetahuan intuisi ini terhadap diri.

Setiap orang mengetahui dan menyadari keberadaan dirinya dan mengetahui bahwa dirinya berbeda dengan berbagai maujud-maujud eksternal lainnya. Setiap orang secara badihi membedakan bahwa saya yang ada ini adalah diri saya sendiri.

Allamah Thabathabai menjelaskan, Setiap dari kita (sebagaimana pengalaman dan qarinah-qarinah menunjukkan bahwa maujud-maujud hidup juga demikian kondisinya), mempunyai kesadaran “kesayaan” pada dirinya dan menyaksikan (bahwa ia adalah) wujud yang tidaklah dapat menerima penerapan kepada satu anggota badan dan kekhususan satu anggota badan (saja), sebab dengan penambahan dan pengurangan angota-anggota badan, tidak terjadi perbedaan (pada dirinya).

Dengan terjadinya perubahan usia dan terurainya kekuatan, ia tidak mengalami perubahan, kecuali ia bahkan semakin sempurna dan semakin terang. Dan terkadang satu atau beberapa, dan bahkan semua anggota badan terlupakan, namun diri tidak dapat dilupakan sama sekali.

Menyaksikan bahwa ia bisa mengingat saat-saat hari-harinya yang telah berlalu, menyaksikan selamanya sebagai sesuatu yang tetap dan tidak mengalami perubahan. Dan tidak menyaksikan sama sekali, kendatipun sangat sedikit, terjadi pergantian dan perubahan pada diri kesayaannya dan tidak akan menyaksikan.

Menyaksikan (pada nafsnya) sesuatu yang tunggal yang tidak mempunyai sama sekali kejamakan dan pembagian. Menyaksikan (dan ini adalah yang paling tinggi) bahwa sesuatu yang murni yang tidak mempunyai batas akhir dan tidak terdapat percampuran padanya serta tidak mempunyai sama sekali bentuk kegaiban pada dirinya dan tidak ada sama sekali perantara antara ia dan dirinya.

Penjelasan ini memberi konklusi bahwa ilmu terhadap nafs adalah bukan materi. Dan lebih tinggi dari itu memberi konklusi bahwa nafs, dirinya adalah ilmu pada dirinya. Yakni realitas ilmu dan realitas yang diketahui dalam hal nafs adalah satu (ittihad ‘alim bar ma’lum) (Ushule Falsafeh wa Rawesye Realism)

Terdapat juga suatu riwayat yang mengisyaratkan tentang kenonmaterian daripada nafs, yang mana ia tidak akan mengalami kemusnahan dan kefanaan. Yaitu hadits Nabi Saw yang menjelaskan bahwa kalian tidaklah dicipta untuk fana (musnah), akan tetapi dicipta untuk kekal, dan kalian akan dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain.

ما خلقتم للفناء، بل خلقتم للبقاء، و إنّما تنقلون من دار إلى دار

Kalian tidaklah diciptakan untuk fana, akan tetapi diciptakan untuk baqa (eksis; kekal), dan sesungguhnya kalian dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Karena nafs sebagai suatu substansi yang tidak musnah maka ia memiliki kelanjutan hidup setelah berpisah dengan badan. Kelanjutan hidup yang akan dialaminya di alam-alam berikutnya, yaitu alam barzakh dan alam akhirat. Bagi nafs terdapat perhitungan khusus atas segala apa yang pernah dilakukannya dalam kehidupannya di alam dunia ini yang menentukan kebahagiaan dan kemalangannya di alam akhirat. Dari aspek inilah manusia mesti memperhatikan apa yang ia sediakan untuk  hari esoknya dan akhiratnya. Firman Allah Swt:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr Ayat 18)

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)

لَا يَسْتَوِىٓ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۚ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ

Artinya: “Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 20)

Pada hari kiama,t semua jiwa akan menyaksikan segala amal perbuatan yang telah ia kerjakan. Tidak ada satu pun yang tidak tercatat pada dirinya. Allah Swt berfirman:

وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوْهُ فِي الزُّبُرِ وَكُلُّ صَغِيْرٍ وَكَبِيْرٍ مُسْتَطَرٌ

Artinya: “Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS. Qomar: 52-53)

Dan juga firman-Nya:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لاَ يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَلاَ كَبِيْرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا وَلاَ يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Artinya: “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)      

Manusia yang bisa berhasil dalam pencapaian kesempurnaan diri adalah yang senantiasa mengawasi nafsnya. Tidak membiarkan nafsnya tergelincir mengikuti hawa nafsunya dan melakukan dosa serta maksiat pada Allah Swt.  Terhadap masalah ini terdapat riwayat dari Imam Jakfar Shadiq as, yang mana beliau berkata:

مَنْ رَعْى‏ قَلْبَهُ عَنِ الْغَفْلَةِ وَ نَفْسَهُ عَنِ الشَّهْوَةِ وَ عَقْلَهُ عَنِ الْجَهْلِ، فَقَدْ دَخَلَ فى‏ دیوانِ الْمُتَنَبِّهینَ، ثُمَّ مَنْ رَعى‏ عَمَلَهُ عَنِ الْهَوى‏، وَ دینَهُ عَنِ البِدْعَةِ، وَ مالَهُ عَنِ الْحَرامِ فَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ الصَّالِحینَ

Barangsiapa yang menjaga qalbunya dari kelalaian dan nafsnya dari syahwat serta akalnya dari kebodohan maka ia masuk pada kelompok orang-orang yang memiliki keadaran. Lantas barangsiapa yang menjaga amal perbuatannya dari hawa nafsu dan agamanya dari bid’ah serta hartanya dari yang haram maka ia termasuk orang-orang saleh. Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jilid. 67, hal. 68.

Oleh karena itu, manusia haruslah senantiasa perhatian pada dirinya dan mengawasi kondisi-kondisi dirinya. Mengawasi qalbunya supaya tidak lalai dari Tuhan. Mengawasi nafsnya supaya tidak dikuasai syahwat. Mengawasi akalnya supaya tidak terjatuh pada kejahilan sehingga melakukan kesalahan besar dalam memilih jalan kehidupan. Mengawasi amal perbuatannya supaya tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya. Mengawasi agamanya supaya tidak terjebak pada perbuatan bid’ah. Serta mengawasi hartanya supaya tidak bersumber dari yang haram yang akan merusak ruhnya.

Di samping itu manusia haruslah senantiasa menghisab dirinya. Menghitung catatan perjalanan hari-harinya; apakah setiap harinya dipenuhi dengan ketaatan ataukah ada kemaksiatan yang dilakukannya. Apabila ia terbebas dari dosa dan maksiat maka pantaslah ia bersyukur dan apabila ia lalai dan melakukan kesalahan, segeralah bertaubat dan beristigfar. Rasulullah Saw bersabda:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَ زِنُوهَا قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا

“Hisablah diri kalian sebelum mereka dihisab dan timbanglah sebelum mereka ditimbang.” Hur ‘Amili, Wasail Syi’ah, jld. 16, hal. 99.

Sebelum diri masuk dalam perhitungan hari hisab (yaumul hisab), sebaiknya diri menghisab dirinya terlebih dahulu supaya ia dapat menghilangkan kekurangan-kekurangannya dan berusaha meraih kesempurnaan-kesempurnaannya. Diri harus menimbang dirinya, apakah amal baiknya lebih banyak dari amal buruknya, supaya ia dapat memperbaiki dirinya dan memperbanyak amal salehnya.

Dalam riwayat lain Nabi Saw bersabda:

لايَكُونُ الْعَبْدُ مُؤْمِناً حَتَّى يُحاسِبَ نَفْسَهُ اشَدَّ مِنْ مُحاسَبَةِ الشَّریكِ شَريْكَهُ وَ السَيِّدِ عَبْدَهُ

“Tidaklah iman seorang hamba hingga ia menghisab nafsnya melebihi seseorang yang berserikat menghitung rekan serikatnya dan majikan atas budaknya.” Allamah Majlisi, Biharul Anwar, jld. 67, hal. 72.

Juga riwayat dari Imam Kazhim as, beliau berkata:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُحَاسِبْ نَفْسَهُ فِی كُلِّ يَوْمٍ فَإِنْ عَمِلَ حَسَناً اسْتَزَادَ اللَّهَ وَ إِنْ عَمِلَ سَيِّئاً اسْتَغْفَرَ اللَّهَ مِنْهُ وَ تَابَ إِلَيْهِ

Syekh Kulaini, Al-Kafi, jld. 2, hal. 453.

Dan dari lisan Amirul Mukminin Ali ra, kita peroleh penjelasan buah dan faedah dari menghisab nafs:

مَنْ حاسَبَ نَفْسَهُ وَقَفَ عَلى‏ عُيُوبِهِ وَ احاطَ بِذُنُوبِهِ، وَ اسْتَقالَ الذُّنُوبَ وَ اصْلَحَ الْعُيُوبَ

“Barangsiapa yang menghisab nafsnya, ia berhenti atas aibnya (meninggalkan aibnya) dan mengetahuai dosa-dosanya. Lantas ia bertaubat atas dosa-dosanya dan memperbaiki aib-aibnya.” Tamimi Amudi, Gurarul Hikam, hadits 4748.

 

Oleh: Syamsunar Nurdin

Sumber: https://www.facebook.com/groups/Islamilmiahindonesia/permalink/3408492515919880