Pencegahan Korupsi Melalui Tazkiah Al-Nafs

 
Pencegahan Korupsi Melalui Tazkiah Al-Nafs

LADUNI.ID, Jakarta - Korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu corruption. Korupsi secara bahasa illegal, bad, or dishonest behavior (McIntosh, 2013). Melalui pengertian bahasa maka bisa dimaknai bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk yang dilakukan seseorang melalui kebiasaan tidak jujur, sehingga prilaku ini membawa dampak negatif bagi dirinya dan orang lain. Dampak negatif bagi dirinya yaitu ketidakpercayaan orang lain terhadap perkataan, perbuatan, dan tingkah lakunya sedangkan implikasi negatif terhadap orang lain berupa kecurigaan yang timbul terhadap dirinya.

Korupsi dalam bahasa Arab yaitu fasaad. Fasaad secara etimologi yaitu lawan kata dari solih (kebaikan) (Al-Baqaai, 2006) sedangkan dalam Mu’jam al-Wasith yaitu rusak atau aib (Zaki, 2003). Melalui makna tersebut bisa disimpulkan bahwa korupsi merupakan prilaku yang merusak diri seseorang, sehingga orang tersebut akan mendapatkan sanksi atau hukuman dari negara karena merugikan orang lain.

Di dalam bahasa Arab, orang yang korupsi disebut mufsid. Bahkan Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan korupsi. Hal tersebut dijelaskan di dalam alquran, surat al-Qasas ayat 77:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (korupsi) di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (korupsi)” [QS:28:77].

Terkadang juga korupsi diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu saraqa (mencuri). Secara bahasa saraqa artinya mengambil sesuatu secara sembunyi (Al-Baqaai, 2006). Sedangkan dalam Mu’jam al-Wasith yaitu mengambil harta secara curang (Zaki, 2003). Dua pengertian tersebut, terindikasi bahwa korupsi merupakan perbuatan mengambil hak orang lain yang bukan miliknya. Sebagaimana Rasululullah dengan tegas memperingatkan Siti Fatimah jika melakukan tindakan mencuri:

“Demi Allah,  Jika Fatimah binti Muhammad mencuri  maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”

Selain itu korupsi secara istilah yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas resmi dan  hak orang lain (Campbell, 1997). Lembaga Mexsico Corruption menyatakan bahwa korupsi sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian sogokan dan upeti, terjadinya pertentangan kepentingan dan pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan keuntungan kepada pelakunya (Husein Alatas, 1975)

Pengertian-pengertian di atas memunculkan pandangan bahwa sumber korupsi yaitu dari hawa nafsu manusia yang rakus, hingga ia ingin memperkaya dirinya sendiri dengan mengambil hak orang lain tanpa memikirkan efek perbuatan tersebut. Hal ini telah dibahas oleh Imam Hasan Al-Bashri (728 M) bahwa rusaknya agama adalah rakus dan kebaikan agama yaitu wara’ (kehati-hatian) (Imam al-Halim, 2014). Maka itu, tersirat bahwa seorang pejabat yang melakukan tindak korupsi bahwa ia belum memahami agama secara holistik dan belum mengerti tentang wa’ra. Untuk itu,  pendekatan tazkiah al-nafs adalah cara pencegahan terhadap tindak korupsi yang ada di negara ini.

Imam Ghazali telah memperingatkan di dalam kitab Mukasyafah Al-qulub, “Ketahuilah (engkau) wahai manusia bahwa hawa nafsu yang buruk adalah musuhmu karena ia datang dari iblis. Sesungguhnya syaitan akan menundukkanmu dengan hawa nafsu dan egoisnya Imam Ghazali (2014).” Pernyataan tersebut tersirat bahwa obat dari hawa nafsu adalah tazkiah al-nafs. Karena hawa nafsu bersumber pada hati manusia. Hal ini bersesuaian dengan sabda nabi Muhammad, “Wahai Engkau (Allah) yang Maha membolak-balikan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.”

Adapun Syekh Ramadhan Al-Buthi mendefinisikan tazkiah al-nafs yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela, sifat-sifat tersebut terindikasikan dari sikap-sikap yang menyimpang melalui kendali akal,  hawa nafsu, dan sifat-sifat buruk seperti angkuh, sombong, riya, congkak, egois, fanatik. Sifat-sifat tersebut ada karena cinta pada dunia, cinta kepada harta, kedudukan, pangkat, dan kepemimpinan yang dicapai (Ramadhan Al-Buthi, 2018)

Pemaparan-pemaparan di atas  tentang tazkiah al-nafs mengandung makna bahwa hati harus disucikan atau dibersihkan dari sifat-sifat buruk. Jika hati dibiarkan begitu saja, tidak diberi sentuhan agama maka ia akan merusak diri manusia. Hal ini telah disabdakan oleh Nabi Muhammad, “Ketahuilah jika di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika dia baik maka jasad akan baik seluruhnya, dan jika ia buruk maka jasad akan buruk seluruhnya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati.”.

Namun, bagaimana untuk mempunyai tazkiah an-nafs tersebut? Tentunya, seseorang yang mempunyai tazkiah an-nafs adalah seseorang yang sudah memiliki sifat ihsan. Sifat ihsan merupakan sifat merasa diawasi oleh Allah Swt. Sifat mulia tersebut dimiliki pada manusia-manusia yang taat kepada Allah Swt. Ketika manusia taat kepada Allah Swt maka hal-hal yang dilakukannya yaitu seseuai dengan perintah Allah Swt. Imam Ghazali mendefinisikan manusia yang taat kepada Allah yaitu manusia yang mematuhi perintah Allah melalui ibadah yang wajib dan sunnah. Beliau mengibaratkatkan ibadah yang wajib seperti modal, dan modal tersebut yang sunah-sunah-Nya sebagai keuntungan, dan keuntungan tersebut tercapai peningkatan derajat (Imam Ghazali, 2003).

Ketika manusia sudah mencintai Tuhan-nya maka ia telah mengetahui hakikat dirinya sebagai abdun (hamba). Hal ini bersesuaian dengan perkataan Ibnu Arabi, “Barangsiapa yang telah mengenal Tuhan-nya maka ia telah mengenal jati dirinya”. Mengenal Tuhan-nya bukan hanya dalam konteks ibadah saja akan tetapi dimana seseorang berada maka ia harus mengingat Tuhan-nya. Penerapan ingat kepada Tuhan yaitu dengan berzikir pada Ilahi. Karena dzikir kepada Allah merupakan salah satu cara tazkiah al-nafs.

Oleh: Oleh: Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, M.Si