Kebohongan Badrusalam Tentang Pernyataan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

 
Kebohongan Badrusalam Tentang Pernyataan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Dulu saya tidak habis pikir bagaimana bisa seorang bergelar ustadz bernama Badrusalam yang tersebar luas ceramahnya membuat-buat pernyataan palsu yang dinisbatkan pada ulama Syafi’iyah dan dengan percaya diri merekam dan menyebarkannya di Indonesia yang nota bene mayoritasnya berafiliasi pada mazhab Syafi’iyah.

Silakan dilihat tulisan saya terdahulu di Facebook yang berjudul “Lagi, Berbohong Atas Nama Imam Mazhab Syafi’i Untuk Melarang Pelafalan Niat”. Ternyata bukan hanya dalam masalah itu ia mengarang pernyataan palsu yang dinisbatkan pada ulama terkenal dengan tujuan untuk mendiskreditkan Aswaja. Sebelum dilanjutkan, perlu diketahui bahwa saya menulis artikel ini bukan untuk memburukkan citra siapa pun, tetapi murni sebagai amanah ilmiah dan agar kejadian serupa tidak terulang.

Dalam video berikut, kali ini Badrusalam melakukan kebohongan atas nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Ia berkata dengan tegas dan jelas bahwa Syaikh Abdul Qadir katanya mengkritik Asya’irah dengan berkata:

وكان الله على العرش استوى ولا يقال كما تقوله الأشاعرة بأن الله في كل مكان

Pernyataan tersebut yang terjemahnya dijelaskan dalam video sama sekali tidak ada di kitab al-Gunyah karya Syaikh Abdul Qadir. Ada dua kebohongan dalam pernyataannya itu, yakni:

1. Bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berbicara begitu.

2. Bahwa Asya’rah meyakini bahwa Allah ada di mana-mana.

Dalam kitab al-Gunyah tidak ada pernyataan semacam itu. Silahkan dibuktikan apabila memang ada, tetapi rasanya tidak akan berhasil sebab itu karangan. Kemudian, seperti banyak wahabi lainnya, Badrusalam melestarikan hoax abadi bahwa Asya’irah meyakini Allah ada di mana-mana. Padahal tidak ada satu pun ulama Asya’irah yang mengajarkan demikian sebab sudah maklum bahwa kredo Ahlussunnah Asya’irah adalah Allah tidak bertempat. Sangat bertolak belakang antara tidak bertempat dan bertempat di mana-mana.

Ulama Asya’irah, baik mutaqaddimin mau pun muta’akhirin, sepakat melarang pernyataan “Allah ada di mana-mana” dan menganggapnya sesat. Simak saja pernyataan para Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah Asya’irah berikut:

Imam Ibnu Furak al-Asy’ari (406 H) berkata:

أنه لا يجوز أن يقال إن الله تعالى في مكان أو في كل مكان

“Bahwasanya dilarang berkata bahwa Allah ada di satu tempat atau di semua tempat.” (Syarh Musykil al-Hadits)

Imam al-Baihaqi al-Asy’ari (458 H) berkata:

وفيما كتبنا من الآيات دلالة على إبطال قول من زعم من الجهمية أن الله سبحانه وتعالى بذاته في كل مكان

“Dan dalam ayat-ayat yang telah kami tulis ada petunjuk batalnya perkataan Jahmiyah yang menyangka bahwa Allah Subhanahu Wata’ala dengan Dzat-Nya ada di setiap tempat.” (al-I’tiqad)

Imam Ghazali (504 H) berkata:

فمنه غلط من قال: إنه في كل مكان. وكل من نسبه إلى مكان أو جهة فقد زلّ فضلّ

“Termasuk yang salah adalah kesalahan orang yang berkata bahwa Allah ada di mana-mana. Setiap orang yang menisbatkan Allah pada tempat atau arah, maka dia terpeleset lalu tersesat.” (al-Arba’in Fi Ushul ad-Din)

Jadi, kebohongan orang-orang yang berulangkali mempropagandakan bahwa Asya’irah meyakini Allah ada di mana-mana adalah jelas hoax yang diwariskan dari waktu ke waktu, termasuk oleh Badrusalam. Selevel Syaikh Abdul Qadir al-Jilani tidak akan ikut mengatakan hoax murahan seperti itu. Dalam kitab al-Ghunyah, beliau menisbatkan perkataan “Allah ada di mana-mana” bukan pada Asya’irah, tetapi pada aliran Salimiyah, yaitu aliran sesat yang tokohnya bernama Ibnu Salim.

Lalu perlu kiranya diulas secara singkat tentang akidah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sendiri agar jelas semuanya. Memang benar bahwa beliau adalah seorang Hanbali. Seperti banyak Hanbali lainnya, beliau mengkritik takwil yang dilakukan sebagian ulama Asya’irah. Pernyataan aslinya dalam kitab al-Ghunyah adalah sebagai berikut:

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية، ولا على معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة، لأن الشرع لم يرد بذلك، ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث، بل المنقول عنهم حمله على الإطلاق

“Dan seyogyanya memutlakkan sifat istiwa’ tanpa ditakwil dan bahwasanya istiwa’ tersebut tidak bermakna duduk atau menyentuh Arasy seperti pendapat Mujassimah dan Karramiyah. Tidak juga bermakna ‘uluw atau ketinggian seperti dikatakan Asya’irah. Tidak juga bermakna menguasai atau mengalahkan seperti dikatakan Mu’tazilah, sebab syariat tidak menjelaskan itu dan tidak pula dinukil dari satu pun sahabat, tabi’in dan salafus Shalih ahli hadis, tetapi yang dinukil dari mereka adalah memutlakkannya.” (al-Ghunyah)

Istilah memutlakkan istiwa’ tanpa memaknainya dengan makna spesifik seperti ketinggian, menguasai, duduk, atau bertempat menyentuh bagian atas Arasy dalam kerangka berpikir Asya’irah disebut dengan tafwidh. Tafwidh artinya menolak semua pemaknaan spesifik yang disodorkan karena hanya Allah yang mengetahuinya sehingga yang tersisa hanyalah makna mutlak sebagai suatu sifat yang bernama istiwa’.

Bila ada yang bertanya apa makna istiwa’ itu sendiri? Syaikh Abdul Qadir mengikuti manhaj Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah yang tidak menentukan satu pun makna spesifik. Yang ada hanya menolak semua tafsiran, bukan ini dan bukan itu. Bahkan makna ‘uluw pun ditolak oleh Syaikh al-Jilani. Ini adalah poin pertentangan antara Syaikh dengan para Taymiyun alias Wahabi sekarang yang memaknai istiwa’ dengan uluw yang mereka plesetkan artikan sebagai keberadaan Allah di atas Arasy secara fisik. Pertentangan lainnya dengan Wahabi adalah Wahabi sekarang mengikuti akidah Syaikh Ibnu Taymiyah yang melarang penafian sifat-sifat jismiyah dari Allah. Silakan baca buku saya “Kerancuan Akidah Wahabi” yang membahas detail tentang ini untuk info selengkapnya.

Berbeda dengan mereka, Syaikh Abdul Qadir justru secara jelas menafikan sifat jismiyah, persis seperti yang dilakukan oleh seluruh Asya’irah. Beliau berkata:

ليس بجسم فيمس، ولا بجوهر فيحس، ولا عرض فيقضى، ولا ذي تركيب أو آلة وتأليف، أو ماهية وتحديد

“Allah bukanlah jisim sehingga tidak bisa disentuh, bukan pula Jauhar sehingga tidak bisa diindera, bukan ‘aradl sehingga bisa ditentukan, tidak juga berupa sesuatu yang mempunyau susunan, alat (organ), rangkaian, materi atau juga Batasan.” (al-Ghunyah)

Menyebut Allah sebagai bukan jisim, bukan Jauhar, bukan ‘aradl dan menegaskan bahwa Allah tidak mempunyai susunan organ apa pun semisal wajah, tangan, kaki dan organ lainnya adalah ciri khas ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Asya’irah dan Maturudiyah). Allah adalah Dzat yang wujud dengan banyak sifat namun tidak memiliki satu pun organ. Silakan baca artikel saya di Facebook ini yang berjudul “Sifat vs Organ” yang membahas detail tentang perbedaan antara istilah yadullah, ainullah, wajhullah dan sebagainya sebagai sifat dan sebagai organ agar lebih memahami duduk perkaranya.

Hanya saja perlu dicatat bahwa Aswaja terbagi menjadi dua, yakni golongan yang mentafwidh dan golongan yang mentakwil. Syaikh Abdul Qadir termasuk golongan yang mentafwidh serta menyatakan diri menolak segala takwil. Tidak ada masalah dengan pendirian ini sebab takwil memang tidak wajib.

Perlu diperhatikan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir dalam penjelasannya yang menolak takwil, sebagaimana dinukil di atas, memakai diksi ينبغي alias seyogyanya. Diksi ini adalah kata yang digunakan untuk saran, bukan untuk kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan kata lain, beliau hanya menyarankan agar tidak mentakwil, bukan melarang atau membid’ahkan takwil secara mutlak seperti dilakukan banyak Wahabi. Sebab itu, tidaklah mengherankan bila di lain waktu kita dapati bahwa beliau melakukan takwil. Dalam kitabnya yang berjudul Sirr al-Asrar wa Mudhhir al-Anwar, Syaikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa hadis yang menyatakan bahwa hati manusia ada di antara kedua jari Allah maksudnya adalah:

والمراد من الإصبعين صفتي القهر واللطف لأن الله منزه عن الأصابع

“Yang dimaksud dengan kedua jari adalah dua sifat al-Qahru (menundukkan) dan al-Luthfu (kelembutan) sebab Allah Maha Suci dari mempunyai jari-jari.” (Sirr al-Asrar wa Mudhhir al-Anwar)

Sebagai penutup, perlu diketahui bahwa pernyataan Badrusalam di awal video yang berkata bahwa dalam kitab Siyaru A’lam an-Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi ada seseorang yang bertanya kepada Syaikh Abdul Qadir: فما عقيدتك يا شيخ؟ (Apa akidahmu wahai Syaikh?) lalu dijawab dengan jawaban: عقيدتي عقيدة الصحابة (akidahku adalah akidah sahabat), juga tidak akan bisa ditemukan di kitab tersebut. Tidak ada pertanyaan atau jawaban seperti itu di kitab Siyaru A’lam an-Nubala’. Hanya saja di sana dinukil bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berkata: اعْتِقَادُنَا اعْتِقَادُ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَالصَّحَابَةِ (akidahku adalah akidah salafus shalih dan sahabat). Ini artinya kutipannya di bagian ini juga tidak akurat. Mungkin saja dia pernah membaca bagian itu tetapi lupa lalu mengarang sendiri redaksinya ketika ia berceramah. Sikap ini tentu tidak layak dilakukan.

Wallahu al-muwaffiq ila aqwami ath-thariq.

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Sumber: https://www.facebook.com/wahabjember/videos/10208890299610959