Memahami Hakikat Rezeki dan Ajal

 
Memahami Hakikat Rezeki dan Ajal
Sumber Gambar: flickr.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Rezeki merupakan karunia dari Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya yang beriman maupun tidak beriman. Bentuk rezeki tidak hanya berupa harta saja, melainkan segala sesuatu yang datang dari-Nya dan bermanfaat bagi kita. Misalnya, kesehatan, kebahagiaan, terhindar dari musibah dan lain sebagainya. Hakikatnya rezeki itu memang dari Allah Sang Maha Pemberi Rezeki, tapi ada perantara makhluk-Nya atas kehendak-Nya. Dan ketahuilah bahwa seseorang tidak akan mati, sebelum semua rezekinya telah diberikan sebagaimana ditentukan oleh Allah SWT.

Secara bahasa, rezeki berasal dari Bahasa Arab, dari kata rozaqo - yarzuku - rizqon, yang bermakna “memberi/pemberian”. Sehingga, dari sini dapat dipahami bahwa rezeki adalah segala sesuatu yang dikaruniakan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya dan dapat dimanfaatkan oleh hamba tersebut.

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa yang termasuk dalam kategori rezeki, tidak terbatas hanya pada sekadar besar atau kecilnya gaji dan pendapatan atau banyak tidaknya harta maupun uang yang tersimpan. Tetapi makna rezeki lebih luas daripada itu. Kesehatan tubuh dan jiwa, udara yang kita hirup, air hujan yang turun, keluarga, kepandaian, terhindarnya dari kecelakaan atau musibah, dan lain sebagainya, adalah bagian dari rezeki Allah SWT.

Termasuk juga turunnya hidayah Islam pada diri seorang hamba, pemahaman akan ilmu agama, terbukanya pintu-pintu amal sholeh dan bahkan husnul khatimah dan mati syahid juga merupakan bagian dari rezeki tersebut. Dan masih banyak lagi karunia Allah SWT yang sangat luar biasa, yang dikaruniakan kepada segenap makhluk Allah SWT yang tidak mungkin bisa terhitung.

Berbicara soal rezeki, ada nasihat seorang ulama mujadid abad ke- 20, yakni Syaikh Prof. Dr. Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi As-Syafi'i rahimahullah yang dikenal sebagai Imam Ad-Du'ati (Pemimpin Para Da'i), ulama kenamaan di Mesir, beliau pernah mengatakan:

إنْ كُنْتَ لَا تَعْرِفُ عُنْوَانَ رِزْقِكَ * فَإنَّ رِزْقَكَ يَعْرِِفُ عُنْوَانَكَ

"Jika kamu tidak tahu alamat dimana tempat rezekimu berada, maka sesungguhnya rezekimu tahu dimana alamat tempatmu berada."

Sering kali banyak orang yang resah, cemas dan khawatir rezekinya tidak ada. Rezekinya tidak datang. Rezekinya berkurang, dengan beranggapan disebabkan suatu kondisi dan keadaan yang tidak ia harapkan.

Banyak kemudian orang yang mengeluh, terganggu pikirannya, terusik ketenangan tidurnya, memikirkan bagaimana rezeki berupa uang diperolehnya mengalir seperti yang ia inginkan.

Rezeki bagi kebanyakan orang hanyalah berupa lembaran kertas yang tertulis nilai terrtentu. Rezeki dipahami hanya berwujud materi yang bisa dipegang dan diraba. Selebihnya, hanyalah pelengkap dan penyempurna kenikmatan yang bisa dibeli dengan lembaran kertas itu.

Padahal, jika kita mau memahami konsep hakikat rezeki di dalam Al-Qur'an, Allah SWT hanya menyebut penisbatan rezeki dalam konteks rahmat dari langit, keberkahan dari bawah bumi, kenikmatan dari ditundukkannya seluruh alam semesta bagi manusia. 

Ada beberapa prinsip tentang rezeki yang perlu dicatat di sini. Prinsip yang pertama adalah bahwa semua makhluk (yang berakal maupun yang tidak berakal), rezekinya telah dijamin oleh Allah SWT. Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT berikut ini:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

"Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rizkinya." (QS. Hud: 6)

Prinsip yang kedua adalah setiap jiwa tidak akan mati, sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Sehingga siapapun yang hidup pasti diberi jatah rezeki oleh Allah SWT sampai ajal menjemput. Ajal tersebut artinya adalah batas waktu hidup di dunia beserta rezeki dan amal ketaatannya. Tidak mungkin lebih dan kurang dari ajal yang telah ditentukan. Setiap manusia itu punya ajal yang terbatas, yang tidak mungkin seseorang melebihinya dan tidak mungkin kurang.

Ajal berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ajala - yakjilu yang berarti "menahan" atau "mengakhirkan". Kemudian kata tersebut membentuk kata Al-Ajal yang berarti "batas waktu" (kematian). Selanjutnya kata tersebut diserap ke dalam Bahasa Indonesia, dan sebagaimana terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan "batas hidup yang ditentukan Tuhan".

Allah SWT berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

Rasulullah SAW bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Imam Al-Baihaqi)

Bila ajal telah tiba, rezeki berarti telah berakhir. Sebagaimana keterangan dalam Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani rahimahullah, seorang murid dan sekaligus sahabat terdekat Imam As-Syafi'i rahimahullah. Imam Al-Muzani berkata:

وَالخَلْقُ مَيِّتُوْنَ بِآجاَلِهِمْ عِنْدَ نَفَادِ أَرْزَاقِهِمْ وَانْقِطَاعِ آثَارِهِمْ

“Makhluk itu akan mati dan punya ajal masing-masing. Bila ajal tiba, berarti rezekinya telah habis dan amalannya telah berakhir.”

Mungkin banyak orang yang masih mengasumsikan bahwa ajal dan umur manusia memiliki kesamaan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Ajal merupakan waktu atau masa yang telah digariskan Allah SWT untuk berapa lama seseorang atau sesuatu akan berada. 

Hal ini dijelaskan sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini: 

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

"Setiap umat memiliki ajal, bila tiba ajal mereka, maka tidak bisa minta mundur dan tidak bisa minta maju." (QS Al-A’raf: 34)

Sementara, umur adalah bagian dari ajal yang diisi dengan kehidupan, dengan kebaikan, dengan ibadah, dengan mengasihi sesama, dan diisi dengan segala macam kebaikan yang bisa memakmurkan alam semesta. Bisa jadi ajal seseorang panjang, tapi hanya sebagian yang diisi dengan kehidupan dan kebaikan, maka ia berajal panjang tetapi berumur pendek.

Sebaliknya, bisa jadi ajal seorang pendek, tetapi dia berumur panjang, bahkan sangat panjang, karena dia menyambungkan kehidupannya pasca kematian jasadnya.

Seseorang yang beramal jariyah dengan hartanya, dengan jasanya, atau dengan ilmunya, hakikatnya ia menyambung umur kehidupannya dengan kehidupan berikutnya. Mungkin juga ada seorang yang ajalnya masih ada, dalam arti masih hidup secara badani, tapi hakikatnya umurnya telah terkubur jauh sebelumnya.

Prinsip yang ketiga adalah hakikat dari rezeki yang bermakna segala apa yang dimanfaatkan. Tetapi, hakikatnya yang dikumpulkan oleh manusia itu belum tentu menjadi jatah rezekinya.

Dalam Hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad SAW bersabda:

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

"Manusia selalu mengatakan, "Hartaku… hartaku…," padahal hakikat dari hartamu – wahai manusia – hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kami gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di Hari Kiamat." (HR. Imam Ahmad)

Kemudian kita harus tahu dengan seutuhnya bahwa rezeki itu bisa beraneka ragam bentuknya. Pertama, adalah rezeki yang bersifat umum, yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan, kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah SWT berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir. Kedua, adalah Rezeki yang sifatnya khusus, yakni segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah mendapatkan teman yang sholih. Inilah rezeki yang Allah SWT berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang sejati, yang bisa mengantarkan seseorang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Rezeki jenis ini Allah khususkan bagi orang-orang mukmin. Allah SWT menyempurnakan keutamaan bagi mereka, dan Allah SWT anugerahkan bagi mereka surga di hari akhir kelak.

Maka, setelah memahami hakikat rezeki, sudah semestinya manusia lebih bersemangat untuk menggapai kebahagiaan akhiratnya tanpa meninggalkan bagiannya di dunia. Bukan hanya sibuk mengejar harta dunia, namun lupa akan kehidupan akhirat. Harta yang dimiliki, kesehatan yang dirasa, haruslah menjadi penyemangat untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan bukan hanya untuk kepentingan duniawi belaka.

Oleh karena itu, marilah kita bekerja secara proporsional. Jangan menabrak perkara yang haram dan melupakan ibadah kepada Allah SWT yang sejatinya adalah Sang Maha Pemberi dan Penanggung Rezeki kita.

Allah SWT berfirman:

كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (QS. Thaha: 81)

Dalam sebuah Hadis disebutkan:

"Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya." (HR. Imam Ibnu Hibban)

Salah satu ikhtiar yang dilakukan untuk memperluas rezeki adalah meningkatkan tiga hal berikut, yaitu ilmu, ibadah, dan sedekah. Tiga hal inilah yang paling banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an.

Jaminan seorang hamba yang taat ibadah semata mengharapkan ridho-Nya secara istiqomah, ikhlas dan konsisten sangat berpeluang memperoleh rezeki besar tanpa terduga.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

"Perintahkan keluargamu salat serta bersabarlah atas ibadah itu. Kami tidak meminta rezeki dari kamu. Bahkan, Kami yang akan memberimu rezeki. Itulah ganjaran bagi orang yang bertakwa." (QS. Thaha: 132)

Jadi, rezeki itu pada hakikatnya bukan ditentukan oleh seberapa besar semangat mendapatkannya, tapi seberapa besar kebaikan dan ibadah itu kita tingkatkan. Insya Allah, jika semakin bagus ibadahnya, diiringi dengan ikhtiar mencari rezeki dengan cara yang halal, maka semakin luas dan berkah rezekinya. Yakin saja, dan lihat bukti kenyataannya. Laa ilaha illallah yaqinan billah.

Kita patut bersyukur bahwa Allah SWT dengan sifat Maha Kasih-Nya melimpahkan banyak nikmat dan rezeki kepada manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas, ada banyak macam rezeki seperti harta benda, kesehatan badan dan ruhani, anak yang saleh, teman yang baik. Semua itu adalah rezeki yang wajib disyukuri. Tetapi, apa sebenarnya rezeki yang paling sempurna?

Berikut kalam ulama besar kelahiran Mesir, Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya'rawi (1911-1998 M). Beliau berkata:

المَالُ هُوَ أَدْنَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ. والعَافِيَةُ أَعْلَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ. وصَلَاحُ الأَبْنَاءِ أَفْضَلُ أنْوَاعِ الرِّزْقِ. ورِضَا رَبِّ العَالَمِينَ فَهُوَ تَمَامُ الرِّزْق

"Harta adalah rezeki yang paling rendah. Kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi. Anak yang sholeh adalah rezeki yang paling utama. Sedangkan ridho Allah adalah rezeki yang sempurna."

Selain harus senantiasa berusaha secara lahiriyah, tetapi sebagai orang yang beriman kita juga harus berusaha secara bathiniyah. Berikut amalan yang dapat dilakukan agar rezeki kita dilancarkan oleh SWT. 

Berikut amalan memperlancar rezeki dan mempermudah kesempatan untuk segera menikah yang diijazahkan secara umum kepada kaum Muslimin oleh Maulana Syaikh Dr. dr. Yusri Rusydi Al-Hasani hafidhahullah:

  • Menjaga Silaturahmi
  • Birrul Walidain
  • Mencari Penghasilan yang Halal
  • Membaca Ya Fattah Ya Razaq 100x setiap selesai shalat
  • Membaca Surah Alwaqiah, setelah Shalat Sunnah Isya 2 Rakaat
  • Melazimkan (istiqomah) Shalawat Nabi

Adapula amalan yang dapat menolak kejelekan penduduk langit dan penduduk bumi, serta mengabulkan 70 keinginan, baik hajat dunia dan akhirat sebagaimana terdapat dalam Kitab Khozinatul Asror halaman 30. Amaliah ini istiqomah dilakukan oleh Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, (Rais Am PBNU 1999-2010). Berikut amalannya:

Melaksanakan shalat Dhuha 4 rakaat, dengan rincian berikut ini:

Rakaat pertama membaca Al-Fatihah 10 kali dan Ayat Kursi 10 kali. Rakaat kedua membaca Al-Fatihah 10 kali dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun 10 kali. Rakaat ketiga membaca Al-Fatihah 10 kali dan Al-Mu'awwidzatain 10 kali. Rakaat keempat membaca Al-Fatihah 10 kali dan Surat Al-Ikhlas 10 kali.

Setelah itu membaca wiridan berikut ini:

Istighfar 70 kali. Lalu membaca Subhanallah wal Hamdulillah, wa Laa ilaha illallahu wallahu Akbar, wa Laa Hawla wa Laa Quwwata illa Billaahil 'Aliyyil 'Adhim, 70 kali. Kemudian ditutup dengan membaca Ya Sami', Ya Bashir sebanyak 313 kali (tambahan dari Mbah Yai Shabib). 

Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim