Menghormati Mushaf Al Quran

 
Menghormati Mushaf Al Quran
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Dr. KH. Ashin Sakho Muhammad MA pernah memberikan dawuh, “Seseorang yang menghormati mushaf Al-Qur'an, mencintai, mencium, mendekap dan menaruhnya di tempat terhormat, mushaf itu akan berterimakasih kepadanya dan meminta kepada Allah agar orang itu mendapat syafa'at Al-Qur'an."

Beliau hafal dan pakar Ilmu Al-Quran, Ahli Tafsir dan pakar Ilmu Qiraat, Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Quran dan Dewan Penasehat Pondok Pesantren Dar Al Tauhid di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Dewan Pakar Al-Quran Pusat Studi Al-Quran dan anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama, serta Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Mubah

Kebolehan ini adalah pendapat para ulama madzhab Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, karena menurut mereka, hal tersebut adalah salah satu bentuk memuliakaan mushaf Al-Qur'an. Bahkan, mereka juga menyebutkan ATSAR DARI SAHABAT tentang permasalahan ini tanpa menyebutkan sanadnya, kecuali yang disebutkan oleh Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 10 Desember 1277 M, Nawa Suriah) dan selainnya, dalam perkataannya: 

“Telah diriwayatkan kepada kami dalam Kitab Musnad Ad-Darimy karya Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad atau Imam Ad-Darimi rahimahullah (20 November 869 M/8 Dzul Hijjah 255 H di Kota Marwa Turkmenistan) dengan sanad yang sahih dari Abu Muhammad Abdullah bin Ubaidullah bin Abi Mulaikah, Zuhair bin Abdullah bin Jud'an bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim atau Imam Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah (wafat 117 H / 735 M di Marur Rawdz Makkah) bahwasanya Sahabat Ikrimah bin Abi Jahal Radhiyallahu Anhu (wafat 636 M, Yordania) meletakkan mushaf di atas wajahnya (menciumnya) seraya berkata:

قَالَ النَّوَوِيُّ فِي التِّبْيَانِ: رَوَيْنَا فِي مُسْنَدِ الدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ، وَيَقُولُ: كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي".

“Ini adalah kitab Rabbku, ini adalah kitab Rabbku.” (Kitab Kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur'an, 174, Imam Nawawi rahimahullah)

Dan keterangan para ulama’ yang membolehkan mencium mushaf yaitu dengan mengqiyaskan hukum mencium Hajar aswad, dan karena itu adalah hadiah untuk hamba-hambaNya, maka disyariatkanlah mencium mushaf, sebagaimana disunahkan mencium anak kecil pula. (Kitab Al Burhan fii Ulumi Al Quran 1/377, karya Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi al-Mishri Asy-Syafi'i atau Imam Az-Zarkasyi rahimahullah, 1344 - 1392 M, Mesir)

Dalam Kitab Tuhfah al-Habib 'ala Syarh al-Khathib atau Hasyiah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib jilid I halaman 551, karya Al-‘Allamah Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin ‘Umar al-Bujairimi al-Azhari Asy-Syafi'i atau Imam Al-Bujairimi rahimahullah (27 November 1806 M / 16 Ramadhan 1221 H di Mesir):

ويندب كتبه وإيضاحه أي تبيين حروفه ، واستدل السبكي على جواز تقبيل المصحف بالقياس على تقبيل الحجر الأسود ويد العالم والصالح والوالد ، إذ من المعلوم أنه أفضل منهم قال الدميري

(Disunahkan menulis dan memperjelas tulisan mushaf) Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Hasan Ali As-Subki Asy-Syafi'i atau Imam As-subky rahimahullah (1284 -1355 M Kairo, Mesir) Menarik kesimpulan akan bolehnya mencium mushaf dengan mengqiyaskan pada mencium Hajar Aswad, tangan orang Alim, tangan Orang Shalih, tangan orang tua karena sudah maklum bahwa mushaf lebih utama ketimbang semuanya.

Menurut Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari atau Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah (3 Oktober 1445 - 18 Oktober 1505 M Kairo, Mesir) dalam kitabnya Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, beliau menganjurkan untuk mencium Mushaf, beliau berpendapat:

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْن أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعَلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ، وَلِأَنَّهُ هَدِيَّةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فَشَرَعَ تَقْبِيلَهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ

“Dianjurkan mencium mushaf Al Quran karena ‘Ikrimah Bin Abi Jahl Radhiyallahu Anhu, melakukannya dengan analogi layaknya mencium hajar aswad, seperti yang dituturkan oleh beberapa ulama’, dan juga karena Alquran adalah Hadiah dari Allah maka disyariatkan menciumnya seperti anjuran mencium anak kecil.” (kitab Al-Itqon Fi Ulumil Quran, Al Hai’ah al Mishriyah Al ‘Ammah, Juz 4. Hal. 189)

Kemudian pendapat dari Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani al-Hambali atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (22 Januari 1263 M, Harran Turki - 26 September 1328 M Istana Damaskus, Damaskus, Suriah) dalam kitab Majmu’ Fatawa saat ditanyai mengenai hal ini, beliau berpendapat:

الْقِيَامُ لِلْمُصْحَفِ وَتَقْبِيلُهُ لَا نَعْلَمُ فِيهِ شَيْئًا مَأْثُورًا عَن السَّلَفِ وَقَدْ سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَد عَنْ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ. فَقَالَ: مَا سَمِعْت فِيهِ شَيئًا. وَلَكِنْ رُوِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ: أَنَّهُ كَانَ يَفْتَحُ الْمُصْحَفَ وَيَضَعُ وَجْهَهُ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: ” كَلَامُ رَبِّي. كَلَامُ رَبِّي “

“Berdiri untuk (menghormati) mushaf dan menciumnya adalah sesuatu amalan yang tidak kami ketahui dalilnya dari generasi salaf. Adapun Imam Ahmad Bin Hambal ketika ditanya tentang dalil mencium mushaf, beliau menjawab: Tidaklah saya mendengar sesuatu (Hadis) apapun di dalam pelaksanaannya. Namun, diriwayatkan dari ‘Ikrimah Bin Abi Jahl bahwasanya ‘Ikrimah membuka mushaf dan memposisikan mushaf di wajahnya kemudian mengucapkan: Kalam Rabbku, kalam Rabbku’.” (Majmu’ Al-Fatawa, Majma’ al-Mulk Fahd Li Thoba’ah al-Mushaf As-Syarif Mamlakah Arabiyah As-Su’udiyah juz 23, hal.66)

Dalam Kitab al-Mausuuah al-Fiqhiyyah XIII/133 diterangkan sbg berikut:

ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ : وَهُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ – جَوَازُ تَقْبِيل الْمُصْحَفِ تَكْرِيمًا لَهُ ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ، وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ اسْتِحْبَابُهُ ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ : كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُل غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ ، وَيَقُول : عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَل ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُقَبِّل الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ

Kalangan Hanafiyyah (pendapat ini juga mashur dikalangan Hanabilah) bolehnya mencium mushaf sbg bentuk penghormatan padanya (takriiman lahu), pendapat ini yang dijadikan madzhab dikalangan Hanabilah bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad akan kesunahannya berdasarkan riwayat dari Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu (wafat 3 November 644 M, Madinah), “Adalah Umar setiap pagi mengambil mushaf dan menciumnya seraya berkata : Perjanjian dan surat dari Tuhanku ‘Azza wa Jalla.” “Adalah Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu (wafat 17 Juni 656 M, Jannatul Baqi' Madinah), mencium mushaf dan mengusapkan pada muka mukanya.”

Makruh

Makruh mencium mushaf ini adalah pendapat ulama Madzhab Maliki, Sebagaimana yang di katakan oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Ilyasy Al-Azhari Al-Maliki atau Qadhi ‘Alaisy rahimahullah (wafat 1881 M):

تعظيم المصحف قرائته و العمل بما فيه ولا تقبيله ولا القيام إليه كما يفعل بعضهم في هذا الزمان

“Bentuk memuliakan mushaf adalah dengan membacanya dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya bukan dengan menciumnya dan berdiri untuknya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di zaman ini.” (Kitab Fath al-Ali al-Malik fi al-Fatwa Ala Madzhab al-Imam Malik 1/208)

Pada dasarnya, seseorang mencium Al Qur‘an karena didorong oleh kecintaan dan sikap mengagungkan Al Qur‘an. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ikrimah bin Abu Jahl Radhiyallahu Anhu, yang mencium Al Qur‘an karena didorong oleh sikap mengagungkan pada Al Qur‘an.

Maka dari pemaparani lebih condong kepada pendapat Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah yang memposisikan alquran sebagai “Anugerah” yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kepada umat islam, maka menciumnya sbg bentuk penghormatan adalah dianjurkan layaknya mencium anak kecil atau mencium hajar aswad.

Wallahu A’lam.

Oleh: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi – Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik


Editor: Daniel Simatupang