Memaafkan, Tradisi dan Orang Jahil (Tafsir)

 
Memaafkan, Tradisi dan Orang Jahil (Tafsir)
Sumber Gambar: Kyai Taufik Damas (Foto: twitter @TaufikDamas)

Laduni.ID, Jakarta - خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين  
"Ambillah sifat memaafkan ini, dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan (makruf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (Al-A’raf: 199).
Ayat ini adalah Makkiyah dan termasuk pondasi penting dalam Islam. Sifat memaafkan merupakan bagian terpenting dalam misi penyempurnaan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Kata "khudz" dalam ayat tersebut adalah "fi’il amr" yang berarti perintah langsung (khitab) kepada Nabi SAW dan kepada setiap individu yang beriman hingga saat ini. "Fi’il amr" menunjukkan arti bahwa orang yang diperintah hadir di hadapan Yang memerintah. Dekat sekali, hingga ia dapat menerima perintah tersebut dengan hanya menjulurkan tangan.

"Ambil sifat memaafkan ini, kemudian jadikanlah sebagai bagian dari dirimu. Dengan demikian, sifat memaafkan itu akan selalu ada: bukan kadang-kadang ada dan kadang-kadang tidak ada." Setelah sifat memaafkan itu sudah menjadi bagian dari dirimu, ajaklah orang berbuat baik.  Kata "al-urfu" memiliki arti kebaikan yang diakui oleh masyarakat. Kebaikan yang diakui oleh akal sehat manusia. Jumlah dan bentuknya tentu sangat beragam, termasuk di dalamnya adalah tradisi dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat.

Ada satu kaidah fikih yang kemudian dijadikan semangat menjaga segala bentuk kebaikan yang berlaku di tengah masyarakat: al-ma’ruufu urfan ka al-masyruuthi syarthan, tradisi atau kebiasaan baik yang sudah berlaku di tengah masyarakat statusnya bagaikan syarat bagi sesuatu. Dengan kata lain, makna 'al-urfu' adalah segala bentuk kebaikan.

Perintah mengajak kepada kebaikan (termasuk perintah mencegah kemungkaran) harus dilakukan dengan sikap hikmah. Sikap hikmah ini sangat penting diperhatikan, hingga para ulama selalu menekankan hal ini dalam berbagai kitab tafsir yang menjelaskan ayat tentang perintah amar makruf nahi mungkar. Oleh para ulama kata hikmah diartikan sebagai tindakan melakukan sesuatu yang baik, dengan cari yang baik dan pada waktu yang baik. Terakhir, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh. Tak ada gunanya berdebat atau memberikan penjelasan kepada orang bodoh.

Kata "jahil" bukan sekadar mengandung arti ketidaktahuan, tapi juga mengandung arti penolakan terhadap kebenaran dan penjelasan yang baik. Jahil ini berlaku dalam segala bidang keilmuan, baik agama, ekonomi, politik dan lain-lain. Ada orang bodoh di bidang ekonomi, ada orang bodoh di bidang agama, ada orang bodoh di bidang politik, dan lain-lain, tapi sering kali lantang membicarakan itu semua dengan semangat merasa paling benar. Ketika disampaikan penjelasan yang baik dan benar tentang itu semua, bukan menerima, mereka malah menentangnya. Karena, dalam diri mereka ada keyakinan (palsu) yg mereka anggap sdh merupakan puncak kebenaran. Terhadap orang-orang seperti ini, jauhkanlah diri kalian. Percuma…

Oleh       : Taufik Damas, Lc (Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta). Disadur dari utasan @TaufikDamas
Editor     : Ali Ramadhan