Tak Ada Kata Cukup dalam Belajar

 
Tak Ada Kata Cukup dalam Belajar
Sumber Gambar: dok.pribadi

Laduni.ID, Jakarta – Dalam maqolah yang saya tandai ini, kurang lebihnya saya memahaminya adalah seperti ini, “Para Qurro'/guru ngaji al-Qur'an, tolok ukur keunggulannya adalah pada sejauh mana memahami ilmu tajwid.”

Maka secara garis besar para Qurro' ini digolongkan menjadi 2 kelompok:

1. Kelompok yang benar-benar memahami seluk beluk ilmu tajwid, baik secara riwayat, maupun pengqiyasan penentuan hukum terhadap penemuan kasus cara baca yang melenceng (bid'ah) pada zaman yang dia hadapi, dan juga benar-benar mampu untuk peka dalam membedakan pengucapan huruf maupun hukum bacaan yang sesuai bagaimana seharusnya atau tidak, inilah golongan para qurro' yang hadziq dan fathin (tajam pemahannya dan piawai dalam memahami seluk beluk tajwid).

2. Golongan yang memahami cara baca al-Qur'an atas dasar sekedar mendengar dan taqlid (hanya mutlak ikut-ikutan, tanpa menela'ah lebih jauh terhadap ilmu tersebut). Inilah golongan para qurro' yang wahin dan dho'if (tidak sampai derajat mampu memahami ilmu tajwid secara detail dan ilmiah, atau hanya sekedar manut), golongan ini akan sangat meragukan sekali, dan kebanyakan berpotensi tahrif dan tashif (menyimpang dari kaidah ilmu tajwid yang seharusnya, yang berakibat salah baca terhadap huruf-huruf al-Qur'an baik penerapan makhroj maupun sifat-sifat huruf, dll), karena memang caranya dalam mengambil bacaan dari jalur riwayat tidak disertai kefahaman yang mendalam.

Oleh karenanya beliau mualif memberikan klasifikasi tinggi (alinea pertama dalam foto) terhadap pemilihan kepada siapa kita akan mengambil qiro'ah.

Sudah sedemikian ketatnya pun tetap tidak menutup kemungkinan golongan pertama di atas, melakukan sebuah kesalahan dalam penjelasan. Ya, sebagaimana kita tahu bahwa manusia tidak ada satupun yang tidak berpotensi melakukan kesalahan, siapapun itu, entah kyai, habaib atau siapapun.

Nah sekarang bagaimana jika kita ternyata masih masuk dalam klasifikasi golongan kedua? apakah kita berhenti mengajar saja?

Ya terus saja mengajar, justru kalau anda berhenti itu salah besar, namun anda hanya perlu untuk menghilangkan rasa "cukup" akan ilmu, dan tetap mau untuk belajar lagi melalui kitab-kitab tinggalan para ulama yang telah masyhur. Yang salahnya kebangetan itu adalah jika anda tidak mau belajar lagi, dan merasa cukup, apa lagi jika hanya didasari rasa gengsi karena sudah dianggap jadi "orang".

Saya menekankan pada teman-teman belajar saya di sini, bahwa bilamana melihat saya salah dalam menjelaskan ilmu dan bertentangan dengan kitab-kitab rujukan, maka saya minta mereka untuk tidak memakai penjelasan saya yang salah itu, bahkan sebaliknya saya minta untuk kembali ke kitab-kitab yang mu'tabar.

Bahkan tak jarang saya menceritakan pengalaman saya ditarbiyah oleh guru saya, almaghfurlahu KH. Maftuh Basthul Birri, beliau selalu menekankan andai menemukan pendapat beliau bertentangan dengan kitab-kitab rujukan, maka pilihlah yang ada dalam kitab-kitab tersebut.

Hanya sudut pandang saya sebagai murid berpedoman seperti ini: "siapapun itu bisa berpotensi salah, namun jika itu terjadi pada beliau-beliau tempat kita menimba ilmu, maka saya menerapkan حسنات الابرار سيئات المقربين Karena memang kita ini tidak ada apa-apanya sama guru-guru kita."

Andai sebagai murid mempunyai pilihan yang beda atau lain daripada guru, selama hal tersebut dilandasi dengan ilmu yang jelas dan berjalur, maka itu bukanlah merupakan su'ul adab. Tidak sadarkah kita bahwa Imam Syafi'i adalah murid Imam Malik? Masyhur buanyak sekali perbedaan krusial dalam pemilihan hukum antara beliau berdua, sebagai contoh Imam Malik menganggap anjing itu suci, sebaliknya Imam Syafi'i menganggapnya najis, lalu dalam hal ini apakah kita berani mengatakan bahwa Imam Syafi'i kurang ajar atau su'ul adab/tidak punya adab terhadap gurunya, hanya karena berbeda soal ini? Pikirkanlah.

Su'ul adab itu adalah jika kita declair bahwa kita merasa lebih alim atau lebih hebat dan lebih unggul dari guru kita, inilah yang salah besar! Karena di saat yang sama pasti di hati kita dibarengi rasa takabur.

Sekali lagi su'ul adab itu sama sekali bukan saat seorang murid berbeda pimilihan hukum dengan guru, justru guru pasti akan sangat senang dan bangga krn modal kemampuan kita mampu memilih, adalah hasil bimbingan para guru-guru kita.

Akhirnya semoga kita semua dimampukan oleh-Nya dalam menjaga konstitusi ilmu sebagaimana mestinya.

Oleh: Kyai Chabib Towus Ainul Yaqin

Foto: Ar ri'ayah, kitab tajwid tertua, yang menjadi rujukan semua ulama, bahkan sang maestro Imam Ibnul Jazari.


Editor: Daniel Simatupang