KH Husein Muhammad: Sejenak Mengenang Rumi Pulang (bagian 5)

 
KH Husein Muhammad: Sejenak Mengenang Rumi Pulang (bagian 5)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Sebelum aku berangkat ke Konya, bahkan jauh sebelum itu, saat masih di Indonesia, aku membayangkan tubuh atau jasad Maulana Rumi dibaringkan dan diistirahkan di dalam sebuah masjid, dan berada dalam sebuah ruangan khusus yang dilingkari oleh pagar besi yang kokoh, sebagaimana yang sering aku lihat makam para ulama besar, para wali, orang suci di banyak tempat di dunia.

Ketika di Mesir, awal tahun 80-an, aku sempat berziarah ke masjid Husain di Kairo. Di situ ada kuburan cucu Nabi, putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang terbunuh di Karbala, Irak, itu. Masyarakat Mesir percaya bahwa “kepala Husain” di bawa dari Damaskus ke Mesir dan dimakamkan di dalam masjid yang kemudian dikenal dengan Namanya, Masjid Husein.

Seperti tak ada waktu dan hari, tanpa manusia yang “tawaf”, di kuburan ini berdo’a untuk sayyid Husain bin Ali bin Abi Thalib. Perempuan-perempuan dengan pakaian hitam, para pecinta Husain, sambil berkeliling acap menyeru “Wa Husaeinaaah”, “Waa Husaainaah” (Aduhai Husein, Aduhai Husain) atau “Ya Hasrataaah” (duhai dukaku) atau “Ya Habibi, Ya Husain” (duhai kekasihku, Husain), dsb.

Aku juga sempat berziarah ke Masjid sayyidah Nafisah, kemudian di masjid al Imam (sebutan untuk Imam al Syafii, murid sayyidah Nafisah). Di tempat ini juga peziarah terus berdatangan tak pernah putus.  Di dalamnya dikuburkan jenazah atau jasad beliau, pendiri mazhab fiqh besar itu. Di sini jasad al-Imam berada dalam kerangkeng besi. Setiap hari selalu banyak yang datang ke sana untuk berziarah, mendo’akan, bahkan sebagian orang melemparkan “Risalah” (surat) ke bagian ruang itu. Isinya macam-macam.

Di Iskandariah, Mesir, juga banyak para wali ditempatkan demikian. Sidi Said Mursi, sayed Ahmad Badawi, Ibn Athaillah penulis kitab Al Hikam itu, dll. Di Iran atau Irak, aku membayangkan “Masyhad Ali” atau “Masyhad Husain” yang pasti amat padat dan berjubel orang yang berziarah ke menantu dan cucu Nabi itu. Aku memang belum sempat ke sana, meski betapa ingin dan merindukannya. Dan tentu saja di Madinah.

Di dalam masjid Nabawi, terdapat tempat istirah Nabi Muhammad bersama dua sahabatnya, Abu bakar dan Umar bin Khattab. Para peziarah hanya bisa berdiri depannya untuk waktu yang sangat singkat. Ini karena begitu banyak orang yang antri untuk menyampaikan “Assalamu’alaika Ya Rasululllah”, “Assalamu’alaika Ya Habiballah”, “Assalamu’alaika Ya Khalifah Rasulillah” dan sebagainya.

Juga banyak kuburan para wali di Indonesia. Makam-makam orang-orang besar yang disebut, sebagai contoh saja, berada dalam sebuah pagar besi yang kokoh. Para peziarah yang ingin melihatnya hanya bisa mengintip lewat lobang-lobang kecil. Di sekitar bangunan kuburan para tokoh besar, para wali dan orang suci itu, ada ruang yang luas, tempat para peziarah shalat, berdo’a, dan membaca al-Qur’an untuk beberapa saat, berjam-jam atau bahkan menginap di sana berhari-hari.

Aku juga membayangkan, di dalam museum maulana ini ada ruang-ruang khusus atau zawiyah-zawiyah, khanqah-khanqah untuk khalwat, menyepi, meditasi dan sejenisnya. Dalam bayangan seperti itu, aku berencana beberapa jam berada di sana untuk shalat, membaca al-Qur’an atau Tahlil agak lama. Boleh jadi, jika saja ada zawiyah atau khanaqah di sana aku akan melakukan ritual kontempelatif.

Tetapi apa yang aku bayangkan pada maulana Rumi tidaklah demikian. Di sini, di tempat jasad maulana Rumi dikuburkan, aku tak menemukan suasana seperti yang aku bayangkan itu. Makam Maulana terbuka lebar-lebar Para peziarah bisa melihat langsung dan dari jarak yang sangat dekat. Ia diletakkan di atas lantai bagian atas dan hanya dijaga oleh penjaga yang duduk di atas kursi di samping makam Maulana sambil matanya seperti tak berkedip mengawasi orang-orang yang datang berziarah, atau menegur orang yang mengambil gambar. Para peziarah untuk tujuan apapun dapat melihat langsung dan dari jarak yang sangat dekat. “Dharih” (kuburan) Maulana Jalaluddin Rumi memang berbeda.

Aku berefleksi, “Apa yang dibayangkan seseorang ternyata tidak selamanya mewujud sebagaimana adanya. Apa yang ada dalam pikiran, acap tak ada dalam realitas. Manusia nyatanya adalah produk dari lingkungannya dan pengalamannya masing-masing. Ia acap berpikir dan berpendapat sesuatu menurut apa yang dalam pikirannya dan pengalamannya sendiri, bukan menurut apa yang ada dalam pikiran orang lain atau pengalaman orang lain atau tradisi orang lain. Harapan yang tak sampai.”

Selasa, 31 Agustus 2021

Oleh: KH Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang