Syarah Penamaan Aqidah dan Kalam

 
Syarah Penamaan Aqidah dan Kalam
Sumber Gambar: Ilustrasi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Seperti yang telah disinggung Mbah Yai Abdul Wahab Ahmad tentang perbedaan Kalam dan Aqidah (cek di sini), maka saya mencoba menjabarkan (dengan perspektif pribadi) bahwa kalam bukan satu-satunya sebutan yang diberikan kepada ilmu ini sebagai subjek tersendiri.

Sebanyak tujuh sebutan dalam bahasa Arab diberikan untuk ilmu itu, yang mungkin tidak dikenal dalam ilmu lainnya, dan boleh jadi menunjukkan bahwa keberatan terhadap kata kalam yang diperlihatkan oleh para sarjana seperti Imam Mutakallimin terus berlangsung setelah itu.

1. Salah satu sebutan yang berumur paling tua diberikan oleh Abu Hanifah (w. 150 H /767 M), pada abad ke-2 H/ke-8 M, yang dinamai ilm al-fiqh al-akbar. Fiqih adalah kata dalam Al-Quran (At-Taubah : 122) dan fakta ini memperlihatkan hubungan antara kalam dan fiqih. Kata adjektif (sifat) al-akbar menunjuk kan superioritas masalah-masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip keimanan terhadap aspek-aspek praktis Syari'ah.

2. Ilm al-kalam, ini juga merupakan salah satu sebutan tertua. Ja'far Al-Shadiq (w. 148 H/765 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), Imam Malik (w. 179 H/795 M), dan Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M) diriwayatkan telah memberikan pendapat (opini) mereka tentang kalam dan mutakallimin. Sebutan ini agaknya merupakan istilah atau sebutan yang paling lazim dan paling awet.

3. Ilm ushul al-din, sebutan awal lainnya yang didasarkan atas pembagian pengetahuan religius menjadi ushul dan furu' (pokok dan cabang). Sebutan ini digunakan oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari (w. 324 H 935 M) dalam Al-Ibanah 'an Ushul Al-Diyanah dan oleh Imam al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) dalam Ushul Al-Din-nya. Fakultas-fakultas teologi di Universitas Al-Azhar, misalnya, disebut kulliyat ushul al-din.

4. Ilm al-aqa'id atau Aqidah, sebutan terkemudian, mungkin sudah dimulai dari abad ke-4 H/10 M. Sebutan ini muncul dalam karya penulis seperti A-Thahawi (w. 331 H/942 M), Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), AI-Thusi (w. 671 H/1272 M), dan Al-lji (w. 756 H/1355 M).

5. Ilm al-nazhar wa al-istidlal, sebutan ini dikemukakan oleh Taftazani dalam pendahuluannya Syarh Al-Aqa'id Al-Nasafiyyah. Sebutan itu pernah diberikan dalam kitab-kitab kalam awal dalam bab pendahuluan pertamanya, yang membahas bukti dan metodologi ilm al-kalam. Ini dapat dilihat dalam Ushul Al-Din, karya Imam al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M}, dan Al-Mughni, karya 'Abd Al-Jabbar (w. 415 H/1024 M). Hal ini mungkin karena pentingnya metodologi kalam, sebutan yang diterapkan pada semua ilmu.

6. Ilm al-tauhid wa al-shifat, disebut demikian barangkali karena sangat pentingnya keesaan dan sifat-sifat Tuhan lainnya. Nama ini muncul dalam pendahuluan Syarh Al-Aqaid Al-Nasafiyyah karya Taftazani.

7. Ilm al-tauhid, ini merupakan bagian iman yang terpenting dalam Islam. Sebutan ini digunakan oleh Muhammad 'Abduh (w. 1323 H/1905 M) dalam Risalah Al-Tauhid-nya, dan selanjutnya menjadi lebih lazim di kalangan para teolog modern.

Ketika ilm al-kalam menjadi disiplin ilmu terpisah, berbagai definisi istilah ini diperkenalkan, seperti definisi-definisi berikut, yang diberikan pada masa yang berbeda dalam sejarah kalam. Di antara yang paling awal adalah definisi yang dikemukakan oleh Abu Hanifah (w. 150 H/787 M), yang memberi nama Al-Fiqh al-akbar dan menyatakan:

“fiqih dalam ushul al-din lebih baik dibandingkan fiqih dalam furu' al-ahkam. Fiqih adalah pengetahuan tentang kepercayaan dan praktik yang diperbolehkan dan yang wajib. Apa yang berhubungan dengan kepercayaan disebut al-fiqh al-akbar, sedangkan yang berhubungan dengan praktik disebut al-fiqh saja.”

Pembedaan-pembedaan seperti itu memengaruhi para teolog terkemudian seperti Al-Nasafi (w. 537 H/1142 M), dan pengetahuan yang ada dalam kedua tipe fiqih itu didasarkan pada bukti-bukti tradisional, Al-Quran dan hadis (naqli) atau bukti-bukti rasional ('aqli).

Tapi hal yang menarik ialah dari Al-Farabi (w. 339 H/950 M) membedakan antara kalam dan fiqih, dan mendefinisikan kalam dalam Ihsha' Al-Ulum sebagai, “Ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum agama dan untuk menolak opini-opini yang bertentangan dengannya.”

Al-Baidhawi (w. 680 H/1281 M) dan Al-Iji (w. 756 H/1355 M) pun tak kalah juga memberikan definisi kalam sebagai, “Ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menegakkan kepercayaan-kepercayaan agama, dengan mengemukakan argumen/bukti, dan menghilangkan keraguan.”

Ibn Khaldun (w. 807 H/1404 M) mendefinisikan kalam sebagai, “Ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti rasional untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli bid'ah yang menyimpang dari kepercayaan kaum Muslim generasi awal dan ortodoksi Muslim.”

Pada zaman modern, Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) mengemukakan definisi berikut: 

“Ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan-penegasan yang-esensial dan yang-mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. IImu kalam juga berhubungan dengan para rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar, dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut.”

Inti dari itu semua ialah penamaan ilmu kalam baik itu Aqidah, Fiqh Al-Akbar, Aqaid, Tauhid Asmha Wa sifat secara metodologi dan pengaplikasian di dalam wacana ketuhanan adalah sama. Perbedaan hanya terletak kepada penafsiran makna kalam/aqidah itu sendiri ketika menjabarkan di dalam kutub mereka.

Wallahu A'lam

Oleh: Firmansyah Djibran El'Syirazi


Editor: Daniel Simatupang