KH. Husein Muhammad: Menemui Syams Tabrizi, Siapakah Syams Tabrizi? (bagian 2)

 
KH. Husein Muhammad: Menemui Syams Tabrizi, Siapakah Syams Tabrizi? (bagian 2)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Aku mengingat Syams Tabrizi sebagai seorang Darwish besar. Siapakah Darwish itu? Sebagian orang mempersepi Darwish sebagai pengelana miskin, mengenakan pakaian lapuk dan rambutnya yang tak terurus, seorang zahid. Hidupnya dihabiskan untuk beribadah di masjid-masjid dan senang menyepi di Zawiyah-zawiyah (pojok-pojok, tempat kontempelasi). Kadang-kadang ia datang ke kafe-kafe atau nongkrong di warung-warung minum dan berbagi cerita-cerita aneh, tak masuk akal tetapi kadang jenaka, kepada orang-orang yang ditemuinya. “Ia adalah orang asing” (al-gharib). Para sufi menyebut Darwish, atau sang Zahid, atau sang ugahari. Darwish adalah: 

الدرويش من يوزع الاسرار الخفية وفى كل لحظة يمن علينا بالملكوت  ليس الدويش من يستعطى خبزا الدرويش من يعطى الحياة

“Darwish adalah orang yang menyebarkan rahasia-rahasia ilmu Ketuhanan. Pada setiap saat, ia membagi kepada manusia gagasan-gagasan tentang Kerajaan Langit. Alam Metafisis. Darwish bukanlah orang yang meminta roti. Darwish adalah orang yang memberi kehidupan.”

Syams bermakna Matahari dan Tabriz adalah nama sebuah kota di Persia, Iran, provinsi Azerbeijan. Lahir 1185 M. Wafat 1248 M.

Dalam sebuah karya yang berjudul Manaqib al-arifīn (Pidato Para Gnostik), Aflaki menyebut 'Ali sebagai nama ayah Syams Tabriz dan kakeknya bernama Malikdad. Mendasarkan perhitungan Haji Bektasy Veli's Maqalat (Percakapan), Aflaki menunjukkan bahwa Syams tiba di Konya pada usia enam puluh tahun.

Disebutkan bahwa Syams Tabriz adalah seorang darwisy yang aneh, nyleneh sekaligus memesona. Wajahnya tampang, ganteng, dan kharismatik. Pikiran-pikirannya kritis, radikal, dan brilian. Dialah satu-satunya orang yang mengubah jalan hidup Maulana Jalaluddin Rumi dari seorang guru atau ulama fiqih menjadi seorang sufi master dan penyair mistik yang terbesar.

Manakala kemudian kami keluar dari masjid sang Darwish itu, Yanuar Agung, membuka bungkusan plastik. Dan, “Oh, Wouw,” aku berteriak girang. Dia menyerahkan 6 jilid buku ukuran mungil Matsnawi.

Aku bertanya, “Dapat dari mana? berapa harganya?”

Agung bilang, “ini untuk Kiyai, hadiah. Semoga aku mendapat berkah.”

Tentu saja aku menyampaikan syukur dan sejuta terima kasih kepadanya atas hadiah besar dan berharga ini. Semoga Allah membalas kebaikan hatinya. Aku menyimpan dulu enam buku karya sufi yang aku rindukan berbulan dan bertahun.

Kelak aku akan membacanya, meski mungkin saja kesulitan. “Terima kasih, Agung,” kataku. Dia mengangguk saja sambil tersenyum. Dia tentu paham, buku ini amat berharga dan dicari oleh para peminat kajian tasawuf di seluruh dunia, zaman demi zaman. Bangsa Persia, menganggap buku Matsnawi ini bagai kitab suci. “Jika saja boleh membacanya dalam shalat, kami akan membacanya,” begitu kata sebagian orang Iran. Ok. Aku akan bercerita soal isi buku ini kelak. 

Rabu, 1 September 2021

Oleh: KH Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang