Rabi’ah al-Adawiyah, Ikon al-Hubb al-Ilahi Sepanjang Sejarah

 
Rabi’ah al-Adawiyah, Ikon al-Hubb al-Ilahi Sepanjang Sejarah
Sumber Gambar: Ilustrasi/Umma

Laduni.ID, Jakarta – Namanya sering disebutkan sebagai Rabi’ah al-Qaisiyyah dari Basrah, Irak. Lahir tahun 180 H. Nama perempuan ini begitu populer. Ia diingat orang, terutama dalam dunia sufisme, sebagai perempuan Ikon cinta Tuhan (al-Hubb al-Ilahi).

Dalam dunia filsafat Platonisme, cinta semacam ini acap disebut dengan nama “Cinta Platonis”. Sebuah cinta kekaguman yang luarbiasa karena keindahan yang paripurna terhadap sesuatu. Cinta platonis diambil dari nama filsuf terkenal Yunani bernama Plato. Plato menulis definis cinta dalam karyanya, Symposium.

Hampir semua sufi besar menyebut nama Rabi’ah ini, baik dalam karya sastra prosa maupun puisinya. Tokoh perempuan ini mungkin paling banyak ditulis orang, seperti para sastrawan dan para sufi besar. Beberapa tokoh yang menulis tentang Rabi’ah antara lain al-Jahizh, dalam “Al-Bayan wa al-Tabyin” , Abu Thalib al-Makki dalam “Qut al-Qulub” buku yang menginspirasi Imam Abu Hamid al-Ghazali, Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam “al-Risalah”, Abd al-Rahman al-Sullami dalam “Dzikr al-Niswah al-Mut’abbidat al-Shufiyyat”, Ibn al-Jauzi, Farid al-Din al-Athhar dalam “Tadzkirah al-Awliya”, dan lain-lain.

Konon, Rabi’ah juga acap mengunjungi ahli fiqh sekaligus sufi besar, Sufyan al-Tsauri, begitu pula sebaliknya, al-Tsauri sering mengunjunginya. Keduanya saling belajar dan terlibat dalam dialog-dialog cinta Tuhan yang sering membuat keduanya menangis tersedu-sedu dalam “Khawf” (khawatir, cemas) dan “Roja” (berharap).

Tak hanya itu, Rabi’ah al-‘Adawiyah juga tak menikah sampai akhir hayatnya. Ia tak ingin menikah dengan laki-laki siapapun. Ia menolak laki-laki yang datang kepadanya, sekaya, sebesar, dan setinggi apapun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu. Seluruh hidupnya diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan, tak ada yang lain dan tak ingin yang lain. Hari-harinya disibukkan untuk menyebut Nama-Nya, memuji-Nya, mensucikan-Nya dan merindukan-Nya. Malam-malamnya dihabiskan untuk menjalin keintiman bersama-Nya. Hingga ia menjadi ikon Cinta Tuhan sepanjang sejarah.

Rabi’ah, bermakna perempuan yang ke empat. Nama ini diberikan ayahnya, karena ia adalah anak perempuannya yang ke empat. Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin yang taat mengabdi kepada Tuhan. Kemiskinan keluarga itu sedemikian rupa, hingga manakala Rabi’ah lahir pada malam hari, rumah Ismail, ayahnya, gelap gulita, tanpa lampu. Untuk membeli minyak tanah bagi lampu juga tak punya.

Bahkan, ia tak juga punya kain/popok untuk membungkus jabang bayi merah itu. Manakala Ismail kemudian terpaksa harus mengetuk pintu demi pintu rumah tetangganya seraya berharap memeroleh bantuan sedikit minyak tanah, ia juga pulang dengan tangan kosong. Ia hanya bisa pasrah atas keberadaannya, sambil terus berdo’a kepada Tuhan siang dan malam.

Rabi’ah kecil sering merenung seorang diri. Suatu hari dalam kesempatan makan bersama dengan ayah-ibu dan ketiga kakaknya, Rabi’ah diam saja. Tangannya tak mau mengambil makanan di hadapannya. Ketika sang ayah bertanya mengapa ia tak mau makan, Rabi’ah balik bertanya: “Apakah makanan ini diperoleh dari cara yang halal?” Sang ayah, ibu dan kakak-kakaknya terperangah. Begitu dijawab “Ya, dari cara yang halal,” ia kemudian baru mau makan.

Hingga dikemudian hari, keempat anak perempuan itu terpaksa mencari pekerjaan di kota Basrah, kota Irak. Di tengah jalan ia ditangkap orang, lalu dijual kepada pemilik sebuah tempat hiburan malam. Di tempat itu ia bekerja sebagai peniup “Ney”, suling, dan akhirnya menjadi penyanyi. Rumah hiburan itu tiba-tiba menjadi ramai pengunjung, dan pemiliknya mendadak menjadi kaya-raya.

Bila malam telah larut, dan suasana di sekitar tempatnya menginap sepi, ia tak segera beristirahat. Rabi’ah justru segera mengambil air wudhu dan shalat tahajjud. Ia mengadukan hidupnya kepada Tuhan. Bermunajat dengan seluruh jiwa raganya sepanjang malam hingga fajar merekah.

Konon, di suatu malam, kamar Rabi’ah berpendar cahaya. Tuan rumah melihat cahaya itu. Ia terperangah dalam kekaguman yang luruh. Esok harinya, Rabi’ah dibebaskan dan menjadi orang merdeka. Rabi’ah selanjutnya menempuh hidup sebagai “abidah”, pengabdi Tuhan.

Salam,

Selasa, 5 Oktober 2021

Oleh: Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang