Tanggapan Atas Faizal Assegaf

 
Tanggapan Atas Faizal Assegaf
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Hamdan Suhaemi

Laduni.ID, Jakarta – Menilai pernyataan saudara Faizal Assegaf tempo hari terkait NU, sudah termasuk mencemooh NU dan kiai. Meski dengan rasa marah, emosi dan kesal, kita tidak perlu menjawabnya dengan cara kekerasan fisik. Soal main fisik bukan adatnya orang NU. Mungkin kalau dihitung-hitung, sudah hampir tiap hari di beranda group Facebook, atau status WAG itu ribuan caci maki, hinaan, fitnahan, pelecehan, dan penghinaan terhadap NU dan para kiai.

Sebagai bagian dari warga Nahdliyyin, tentu saya juga punya kewajiban menanggapi pernyataan saudara Faizal Assegaf, yang saya akui itu tendensius dan tidak bersumber dari kebenaran baik data maupun fakta. Pernyataan itu sama halnya merendahkan martabat kiai, sementara kiai itu warosatul anbiya (pewaris nabi), jika diteruskan itu artinya juga merendahkan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Jika saja seorang KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha) dianggap bukan ulama, dia bilang politisi, lantas ulama model apa dalam perspektif Faizal Assegaf. Bukankah Gus Baha tidak ikut-ikut politik, tidak aktif di parpol manapun. dan anehnya Hidayat Nur Wahid dianggap sebagai ulama ketika beliau kini adalah seorang politisi PKS. Belum berhenti dengan itu, ia confidence atas pernyataan itu dengan kepala tegak dan dengan kesadarannya sendiri.

Lihat sejarahnya, siapa pengganti KH. Wahid Hasyim sebagai Ketua Umum PBNU tahun 1954, bukankah ia adalah putra Banjar Kalimantan Selatan, yakni KH. Idham Chalid. Lalu yang menjadi Rois Aam PBNU tahun 1991-1992 itu siapa? Beliau adalah Prof. KH. Ali Yafi dari Pare-Pare Sulawesi Selatan, yang menggantikan Romo KH. Achmad Shiddiq karena wafat sebelum priode hidmatnya berakhir di tahun 1994.

Meski tidak lama menjadi Rois Aam, tapi lihat KH. Idham Chalid dari 1950-an hingga 1980-an, padahal bukan asli Jawa. Lihat pula fakta bahwa Abah guru Sekumpul (KH. Muhammad Abdul Ghani) adalah mustasyar PBNU era kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ini beberapa fakta historis bahwa NU bukan organisasi keagamaan milik orang Jawa. Tetapi NU adalah umat Islam Indonesia yang tinggal di seluruh dunia yang bermazhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah.

Bantahan di atas, tentu dimaksud meluruskan pernyataan sesat saudara Faizal Assegaf yang cenderung arogan, sombong dan belagu itu. Tetapi untuk menanggapi itu saya tidak perlu dengan kekerasan.

Terhadap pernyataan bahwa kumpulan siluman berkedok ulama, ini saya anggap sudah melampaui batas sebagai muslim yang beradab. Perlu tindakan hukum atas pernyataan yang memancing reaksi sosial, itu artinya sudah memancing konflik, dan mengganggu ketertiban umum.

NU, itu isinya para kiai dan yang memimpin itu kiai yang kelasnya 'allamah (sangat alim), isinya itu al-mutakallimun (ahli ilmu kalam), isinya itu mufassirun wa muhadditsun (pakar tafsir dan hadits), isinya fuqoha (pakar fiqih), isinya ahli tarekat, isinya kiai-kiai yang bahrul fahhamah (luas pahamnya), isinya adalah manusia-manusia langit (maqomat auliya). Maka melihat NU tentu harus keseluruhannya, bukan pada figur Ketum PBNU semata. Jika pun hanya melihat Ketum PBNU, dibanding saudara Faizal Assegaf, seperti langit dan bumi.

Yang paling elegan, harusnya Faizal Assegaf segera melakukan permintaan maaf, penyesalan, dan tidak mengulangi lagi. Ini masukan untuk tidak menimbulkan reaksi yang justeru akan merugikan stabilitas nasional, karena yang disudutkan adalah NU, yang dihina adalah ulama yang memiliki basis umat. NU dan negara itu seperti roh dan jasadnya.

Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, itu artinya menghormatinya sama halnya menghormati nabi.

إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. at-Tirmidzi)

Imam asy-Syafi’i suatu waktu dicela karena berlebihan dalam sikap tawadlunya kepada para ulama. Kemudian Imam asy-Syafi’i menjawab celaan itu dengan sebuah sya’ir,

أُهِيْنُ لَهُمْ نَفْسِي فَهُمْ يُكْرِمُوْنَهَا# وَ لَنْ تَكْرُمَ النَفْسُ الَتِي لَا تُهِيْنُهَا

Artinya: “Aku merendahkan jiwaku kepada para ulama, maka para ulama memuliakanku dengan ilmu mereka. Tidak akan mulia suatu jiwa yang tidak merendahkan diri di depan para ulama.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim: 97)

Mari kita perhatikan dawuh dan nasihat Imam Al-Ghazali dalam kitab beliau berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali sebagai berikut:

آداب الشريف: يصون شرفه، ولا يأكل بِنَسَبِهِ، ولا يتعدى بِحَسَبِهِ، همته التواضع لربه، والخوف من سيده، ويأخذ بالفضل على من دونه، ولا يساوى من هو مثله، يعرف الفضل لاهل العلم وإن كان مثلهم في العلم أو أعلم، يلازم أهل الدين من أهل الفقه والقرآن، ويهذب أخلاقه، ويتحفظ في ألفاظه عند غضبه وخطابه، ويكرم جلساءه، ويواصل إخوانه، ويصون أقاربه، ويعين جيرانه.

Artinya: “Adab orang terhormat, yakni menjaga kehormatan diri, tidak makan dengan terlalu bernafsu, tidak melebihi batas kecukupan, bertawadhu kepada Allah SWT, segan kepada pimpinan, menganggap utama orang yang berada di bawahnya, dan tidak menganggap sama orang yang sebetulnya sejajar. Mengetahui keutamaan orang berilmu meskipun sejajar ilmunya atau lebih pandai dari diri sendiri meski sebenarnya ia lebih pintar, senantiasa mendekat pada ahli agama dari kalangan ahli fiqih dan ahli Al-Quran. Disiplin dalam menjaga akhlak, menjaga kata-kata saat marah dan berbicara, memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya, menyambung persaudaraan, menjaga para kerabat, menolong tetangga dan menjadi hiasan yang indah bagi teman-temannya.”

Tengoklah ke dalam, siapa dirinya ini. Sudah pantaskah menghina, dan melecehkan ulama. Sudah beradab kah pada para kiai yang 24 jam telah membina umat, tanpa gaji, tanpa upah, tanpa honor. Tega kah mengatakan siluman pada para kiai yang sudah ikhlas mewakafkan seluruh hidupnya untuk ilmu, agama, bangsa dan negara. Sadarlah hai Faizal Assegaf.

Serang, 10 Oktober 2021

Oleh: Hamdan Suhaemi – Wakil Ketua PW GP Ansor Prov. Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Prov. Banten


Editor: Daniel Simatupang