Kiai Abdul Wahab Ahmad: Muta'allim Mudarris

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Muta'allim Mudarris
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Ngawi – Biasanya kitab-kitab dalam tema pendidikan di pesantren memakai istilah dikotomis antara guru dan murid. Pihak murid disebut sebagai Muta'allim dan pihak guru disebut Alim. Ada beberapa kitab yang membahas tentang adab bagi Muta'allim dan Alim, semisal kitabnya Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari yang berjudul Adabul Alim Wal Muta'allim. Ada juga yang khusus membahas tentang adab murid, yaitu Ta'limul Muta'allim (Pelajaran bagi para murid) yang melegenda itu.

Namun, kali ini saya ingin memperkenalkan istilah ketiga yang menurut saya penting dan sesuai realitas, yaitu Muta'allim Mudarris, yakni murid yang mengajar. Istilah ini penting sebab banyak sekali orang yang level aslinya adalah Muta'allim tetapi karena tuntutan situasi terpaksa dia harus mengajar dan berada di posisi Sang alim, padahal masih dia jauh dari layak untuk disebut Alim.

Ada yang karena jadi anaknya Kiai akhirnya mau tidak mau disuruh mengajar, padahal belum layak. Ada juga yang karena diambil sebagai menantu Kiai, akhirnya diberi jatah mengajar. Ada yang karena lembaga kekurangan pengajar akhirnya yang belum mempunyai kualifikasi alim pun diminta membantu mengajar. Banyak juga alasan lain yang membuat seorang Muta'allim diangkat menjadi pengajar (Mudarris). Dalam konteks ini istilah Mudarris tampak lebih pas daripada istilah alim yang merujuk pada orang yang mempunyai kualifikasi keilmuan yang mumpuni.

Yang saya lihat, Muta'allim Mudarris ini terbagi dua:

1. Mereka yang merasa bahwa dirinya adalah Muta'allim (murid), tapi kebetulan saja mengajar

Akhirnya karena tahu diri, mereka pun tetap belajar dengan gigih dan menempatkan diri sebagai murid di depan orang alim. Banyak yang akhirnya menjadi alim betulan dengan cara ini tetapi ada yang tetap begitu-begitu saja. Mereka ini kelompok yang baik dan beruntung. Baik karena sadar pada kemampuannya dan beruntung karena mendapatkan kesempatan mengajar sehingga pemahamannya makin terasah seiring waktu. Sesuai kaidah, ilmu yang sedikit akan menjadi lebih banyak ketika diberikan pada orang lain. Biasanya tipe ini adalah guru yang tampak rendah hati dan peduli.

2. Mereka yang merasa dirinya sudah Alim betulan karena berada di posisi mengajar

Ia lupa pada keterbatasan dirinya yang sejatinya Muta'allim dan malah fokus pada keterbatasan para murid yang dia ajari. Akhirnya dia haus penghormatan dan pengakuan sebagai "alim" yang harus dihormati para Muta'allim. Dia menjadikan kitab Ta'limul Muta'allim sebagai alat agar para muridnya memperlakukannya spesial. Ancaman "tidak barokah" menjadi senjata utama yang tidak pernah lupa dibawanya pada siapa pun yang "melanggar" atau bersikap kritis. Beberapa bahkan melarang murid-murid bertanya apabila tidak paham, tentu agar kebodohannya tidak terungkap.

Ucapan Sayyiduna Ali "Aku adalah budak bagi orang yang mengajariku satu huruf" selalu diulang, bukan supaya dia ingat untuk menghormati gurunya sendiri, tetapi agar muridnya memosisikan diri sebagai budak di depan dirinya. Biasanya tipe yang demikian suka curhat pada temannya tentang keburukan para muridnya, tentang bagaimana muridnya kurang sopan dan jauh dari tuntunan Ta'limul Muta'allim.

Tipe Muta'allim Mudarris yang kedua ini sangat besar bahayanya. Dia orang bodoh tetapi diposisikan berada di depan sebagai seorang alim hingga merasa seolah alim betulan. Di masa depan, besar sekali potensi murid-muridnya mengikuti sikap negatif gurunya itu yang haus penghormatan dan suka mengancam dengan barakah. Orang yang alim betulan biasanya merasa dirinya sangat butuh barakah dari para murid dan masyarakat, sedangkan tipe tanggung ini justru merasa dirinyalah pusat barakah dan penentu ada tidaknya barakah bagi orang lain. Kitab Ta'limul Muta'allim banyak mendapat kritik sebab ulah oknum-oknum tipe ini.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang