Definisi Iman Menurut Nurcholis Madjid (Cak Nur)

 
Definisi Iman Menurut Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Sumber Gambar: Wikipedia

Laduni.ID, Jakarta – Nurcholish Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Dia dibesarkan pada tengah famili dan lingkungan pesantren yang sangat sederhana. Ayahnya bernama H. Abdul Majdid adalah seorang Kiai alim anak didik asal Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama. Ibunya bernama Fathonah adalah keturunan berasal Kiai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri Jawa Timur.

Sejak lahir beliau diberikan nama Abdul Malik, kemudian berubah nama dikarenakan di usia 6 tahun mengalami sakit-sakitan. Sebagaimana tradisi Jawa, anak kecil yang seringkali sakit-sakitan diklaim “kabotan jeneng” alias keberatan nama. Arti yang terkandung dalam nama Nurcholish Madjid masih belum ada fakta jelasnya, akan tetapi nama Madjid diambil asal nama belakang ayahnya Abdul Madjid.

Berasal dari orangtua yang sangat berwawasan luas dalam bidang kepercayaan Islam, Nurcholish Madjid mempunyai kesempatan untuk belajar banyak kepada orangtuanya dari segi keilmuan ataupun motivasi dalam menuntut ilmu.

Nurcholish Madjid menuturkan bahwa “membaca kitab   bagi saya adalah hobi. Setiap mau tidur saya selalu membaca dan ini saya warisi dari ayah saya. ketika mungil aku acapkali tidur pada samping ayah, sebelum tidur beliau selalu membaca sembari merokok. Cara ayah mensosialisasikan norma membaca di saya tadi, terulang pada anak anak saya (kecuali tidak sembari merokok).”

Riwayat pendidikannya, mendapatkan pendidikan umum di SR (sekolah warga) serta mendapatkan keilmuan agama di madrasah al-Wathaniyah bersama sang ayah yang menjadi pengelola. Pada usia 14 tahun, ayahnya meminta Nurcholis Madjid untuk melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum Rejoso, Jombang dan hanya bertahan selama dua tahun. Dipindahkan kembali oleh ayahnya ke Pondok modern Darussalam Gontor di Ponorogo.

Pesantren dengan sistem modern yang mengajarkan bahasa Inggris serta bahasa Arab, membentuk Nurcholish Madjid memiliki kelebihan pada dominasi khazanah ilmu-ilmu keislaman dan umum. Serta lebih memudahkannya untuk mengkaji kitab-kitab asing berbahasa Arab, Inggris, dan kitab  kuning.

Makna Iman

Dapat dipahami secara mendasar bahwa secara terminologi, iman ini berasal dari bahasa Arab yakni iman, merupakan bentuk ism masdar dari kata amana yu’minu iman. Dengan demikian kata iman berarti sebuah “kepercayaan” terhadap sesuatu yang dalam hal ini merupakan kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan, sedangkan orang yang beriman disebut sebagai Mu’min. (Munawwir, 1997: 41)

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengandung arti dari kata amana yu’minu iman. Di antara itu ada ayat yang paling penting berbicara tentang iman, yaitu dalam surah al-Hujurat ayat 15”

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

Artinya: “Sesungguhnya orang orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujarat: 15)

Dari ayat tersebut dijelaskan, bahwa iman yang dimaksud adalah keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Hal itu terkandung juga dalam hadis masyhur. (Lihat, Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Riyadh: Bayt al-Afkār al-Dawliyah, 1998)

Suatu ketika Nabi Muhammad ditanya tentang iman, Nabi menjawab, “Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, para Rasul-Nya. Hari akhirat, beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.”

Dari hadis di atas terdapat objek yang harus diimani, yakni beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat Allah, beriman kepada para Rasul, beriman kepada Kitab kitab Allah, beriman kepada hari akhir, beriman kepada takdir baik dan buruk dari Allah.

Hakikat Iman

Pandangan Nurcholish Madjid perihal hakikat iman ada pada sikap insan yang berserah diri kepada Ilahi. Mengandung banyak sekali “konsekuensi” yaitu, bentuk pengakuan yang ikhlas bahwa Tuhanlah satu satunya sumber otoritas yang serba absolut yang menjadi asal semua wujud yang lain. Maka, semua wujud yang lain ialah nisbi belaka.

Iman secara harfiah bermakna percaya kepada ilahi, tidak hanya dalam arti bahwa Allah itu ada, namun lebih krusial lagi artinya perilaku mempercayai atau memberikan kepercayaan kepada yang kuasa.

Tidak hanya cukup percaya pada Allah, namun wajib percaya kepada Allah yang menjadi satu-satunya pemilik sifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang eksistensi suatu kualitas yang lain, yang diserupakan dengan Nya.

Dengan kata lain, seorang yang percaya kepada Allah namun masih percaya terhadap sesuatu yang lain selain Allah, maka orang tadi tak bisa dikatakan orang beriman. Perilaku demikian dianggap musyrik karena masih mempercayai sesuatu selain Allah, meskipun di kenyataannya masih percaya kepada Allah.

Nurcholish Madjid memandang bahwa iman yang ada pada setiap orang tidaklah tetap, selalu berubah, bisa berkurang dan bisa bertambah. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa iman pada hakikatnya merupakan suatu wujud atau kategori yang dinamis, iman dapat berkembang atau menyusut, bertambah atau berkurang, naik atau turun, menguat atau melemah.

Orang beriman yang masih mengotori imannya menggunakan kejahatan merupakan orang yang imannya masih lemah. Maka dari itu Nurcholish Madjid menolak sebuah anggapan bahwa iman bersifat permanen, pada arti tidak berubah serta tidak bisa ditimbang melalui perbuatan insan yang tampak secara lahiriah.

Referensi mengenai pembahasan hakikat iman Nurcholish Madjid ini berasal dari buku-buku Nurcholish Madjid sendiri berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Pintu Pintu Menuju Tuhan.

Oleh: Mochammad Fatkur Huda, Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang