Gus Dur dan Wacana Gender (Bagian 1)

 
Gus Dur dan Wacana Gender (Bagian 1)
Sumber Gambar: Gus Dur/Detik.com

Laduni.ID, Jakarta – Islam merupakan salah satu agama yang fokus dalam isu-isu tentang perempuan. Hal ini terlihat oleh apa yang dilakukan organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama di Lombok tahun 1997. Munas tersebut membahas tentang kedudukan perempuan dalam Islam yang akhirnya diputuskanlah bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin publik.

Di kalangan Ulama terdahulu tentu hal ini menjadi perhatian penting. Di antara tanda kebangkitan masyarakat muslim itu adalah bangkitnya kalangan muslim pesantren yang pada 1919, ditandai dengan diterimanya santri putri di lingkungan Pesantren Denanyar, Jombang, di bawah asuhan KH. Bisri Syansuri (1887-1980) dan Bu Nyai Nur Khodijah (w. 1958). Selain itu KH. Wahid Hasyim juga merupakan pelopor sekolah hakim perempuan pertama pada tahun 1950-an, saat ia menjabat sebagai Menteri Agama.

Sebagai tokoh kemanusiaan, KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur itu tentunya memiliki pandangan tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Gus Dur memandang bahwa hak asasi perempuan sudah terdapat dalam al-Kulliyat al-Khams (lima hak-hak dasar dalam Islam). Ia mulai membangun relasi kesetaraan gender di wilayah yang paling awal, yaitu keluarga. Perjuangan tersebut terus meluas sampai Gus Dur menjadi Presiden, dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG/Gender Mainstreaming).

Menurut Gus Dur, dalam pengertian hak asasi antara perempuan dan laki-laki memiliki derajat dan status yang sama. Keduanya memiliki persamaan hak, kewajiban, dan kedudukan yang setara. Gus Dur menafsirkan terminologi ayat arrijalu qawwamuna ala an-nisa secara antropologis. Ia berpendapat bahwa laki-laki memang qawwam dengan arti lebih tegar, lebih bertanggung jawab atas keselamatan wanita daripada sebaliknya.

Gus Dur mengatakan bahwa pengertian antropologis bisa juga berlaku dalam terminologi psikologis, bahwa laki-laki melindungi perempuan sebagai mahluk yang dianggap lebih lemah. Tetapi dalam kelemahannya itu, wanita memiliki kedudukan yang lebih kuat (Abdurrahman Wahid, 2017).

Wacana Gender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, gerakan-gerakan penentangan terhadap sistem feodalisme menuju pencerahan (aufkllarung)-pun tidak terlepas dari kondisi ini.

Sehingga, dari waktu ke waktu dalam rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan, hampir tidak terdengar kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas Aquinas, tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada hal itu tidak menjadi masalah yang cukup krusial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan.

Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke-13 dalam filsafatnya menyatakan bahwa tatanan sosial merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah. Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakatpun diciptakan sebagai suatu hierarki yang teratur sesuai dengan derajar rasionalitas.

Secara umum, kaum laki-laki dianggap lebih rasional dari pada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki harus memimpin kaum perempuan, demikian pula orang tua lebih rasional dari pada anaknya, dan seterusnya. (Hans Fink, 2003: 25-26)

Di masa-masa berikutnya, perjuangan memperoleh kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa “PR” (pekerjaan rumah) kerangka berpikir yang paternalistik itu, hingga muncul kemudian gerakan-gerakan perlawanan yang menentangnya.

Sejarah penyebaran Islam juga bergulat dengan relaitas yang serupa. Setting masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah Islam adalah komunitas yang tidak “memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas.

Anak laki-laki lebih dibanggakan dari pada anak perempuan, hingga menyebabkan beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda yang bisa diwariskan secara turun temurun.

Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran (baca: Islam) merupakan peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dan keagamaan yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam sejarah sejarah Arab, antara “pemikiran primitif” (savage thinking), dalam pengertian yang diberikan kepada istilah itu oleh Claudé Lavi-Strauss, dan “pemikiran berbudaya” (civilited thinking). (Arkoun, 1996: 1)

Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu dalam kronologi linear. Zaman sebelum Al-Quran (Islam) dikaitkan dengan tradisi Jahiliah, yaitu suatu kondisi masyarakat yang secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara kultural tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah Islam dikaitkan dengan pencerahan agama dan budaya, yang biasanya mengambil fakta “negara Islam” di Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 M, sebagai sampel kebenarannya (Zamzami, 2000: 62).

Akibat dari mapannya kultur yang demikian itu, masyarakat dunia secara umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan keluarga, sedangkan peran publik dipegang oleh kaum lak-laki.

Masalah gender memang demikian rumit, karena tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi harus diperjelas apa batas-batas yang bisa dipersoalkan dalam “pembedaan” terhadap kedua jenis makhluk ini.

Kalau melihat lima prinsip hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas, agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan, perlindungan, dan jaminan keselamatan. Akan tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam pemahaman yang salah kaprah.

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang