Imam Ibnu Hajar Digugat Karena Kekayaannya

 
Imam Ibnu Hajar Digugat Karena Kekayaannya
Sumber Gambar: Foto ist

Laduni.ID, Jakarta - Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ketika hendak pergi ke tempat kerjanya, beliau berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.

Lewat kekayaan yang dimilikinya, beliau memiliki peluang untuk mengislamkan orang lain. Tepatnya ketika sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya.

Alkisah, suatu hari, Imam Ibnu Hajar dengan keretanya melewati seorang Yahudi penjual minyak di Mesir yang pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan tersebut, si Yahudi menghadang dan menghentikannya.

Si Yahudi itu berkata kepada Imam Ibnu Hajar, “Sesungguhnya, Nabi kalian berkata:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ. رواه مسلم.

“Dunia adalah penjara orang yang beriman, dan surganya orang kafir” (HR Muslim).

Namun, kenapa Engkau sebagai seorang yang beriman, menjadi seorang hakim besar di Mesir dan dalam arak-arakan yang mewah serta dalam kenikmatan seperti ini. Sedang aku (yang kafir) dalam penderitaan dan kesengsaraan seperti ini?”

Menurut orang Yahudi, apa yang dimiliki oleh Imam Ibnu Hajar sejatinya tidak sesuai dengan ajaran dalam Islam, bahkan terkesan membangkang pada Nabi Muhammad yang notabenenya merupakan nabi yang tidak memedulikan dunia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Oleh karenanya, ia sangat heran dengan perangai Imam Ibnu Hajar yang sangat kontradiktif dengan Rasulullah SAW.

Mendengar pertanyaan dan curhat orang Yahudi itu, dengan tersenyum Imam Ibnu Hajar menjawab, “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan dunia ini, bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini jika dibandingkan dengan azabmu di Neraka kelak, maka keadaanmu ini bagaikan surga.”

Syahdan, dengan jawaban Imam Ibnu Hajar di atas, orang Yahudi yang awalnya sangat membenci ajaran Islam langsung memohon kepadanya agar dituntun untuk membaca syahadat dan masuk Islam, karena sangat takut mendengar jawaban yang disampaikan kepadanya.


Referensi: Syekh Nawawi Banten, Fathu al-Majid fi Syarhi ad-Durru al-Farid fi Aqaidi ahli at-Tauhid, halaman 38.
Editor: Nasirudin Latif