Mengangkat Jari Telunjuk Saat Tahiyat Menurut 4 Imam Madzhab

 
Mengangkat Jari Telunjuk Saat Tahiyat Menurut  4 Imam Madzhab
Sumber Gambar: Ilustrasi

Laduni.ID, Jakarta – Dalam shalat, saat duduk tasyahud, kita pasti akan mengangkat jari telunjuk pada saat membaca lafal “Ilallah” dan akan menurunkannya pada akhir tasyahud. Namun tak jarang kita juga melihat seseorang yang mengangkat jarinya (saat duduk tasyahud) lalu menggerak-gerakkannya. Atau bahkan kita sendiri melakukan hal tersebut, lalu bagaimana pandangan ulama empat mazhab terkait mengangkat jari saat duduk tasyahud?

Ulama Mahzab Hanafi

Mengangkat jari telunjuk pada saat membaca lafal “Laa Ilaaha”, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafal “Illallah”. Beberapa ulama Mahzab Hanafi menjelaskan bahwa mengangkat jari telunjuk adalah tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan meletakkan jari telunjuk sebagai tanda menetapkan ke-Esa-an Allah.

Ulama Mahzab Maliki

Menurut para ulama Mahzab Maliki, menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk dan menggerak-gerakkannya secara sedang ke arah kanan dan kiri secara terus menerus (dari awal hingga akhir tasyahud).

Ulama Mazhab Syafi’i

Jari telunjuk diangkat saat membaca lafal “Illallah” sampai akhir duduk tasyahud. Menurut para ulama Mazhab Syafi’i, menggerak-gerakkan jari telunjuk hukumnya makruh.

Ulama Mazhab Hanbali

Menekuk jari manis dan jari kelingking, lalu melinkarkan jempol dengan jari tengah. Jari telunjuk diangkat setiap bertemu dengan lafal Allah tanpa menggerak-gerakkannya.

Menurut Gus Dewa, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Patemon, Probolinggo dalam unggahan Facebook pribadinya (23/1/2022), tujuan dari diangkatnya jari telunjuk tidak lain adalah isyarat agar terkumpulnya tauhid dalam diri seseorang. Baik secara lisan, keyakinan, maupun tindakan.

وَيَقْصِدُ مِنْ ابْتِدَائِهِ بِهَمْزَةِ إلَّا اللَّهُ أَنَّ الْمَعْبُودَ وَاحِدٌ ، فَيَجْمَعُ فِي تَوْحِيدِهِ بَيْنَ اعْتِقَادِهِ وَقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ

“Dan berniatlah saat mengangkat jari telunjuk pada lafadz ‘Illallah’ (ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ), bahwa Dzat yang disembah adalah Esa. Dengan demikian terkumpulah segala tauhid dalam dirinya baik antara keyakinan, ucapan dan perbuatan.”

Sumber: Kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khothiib IV/394


Editor: Daniel Simatupang