KH. Husein Muhammad: Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (Bagian 3)

 
KH. Husein Muhammad: Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (Bagian 3)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Kiai Sahal kemudian ingin menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah mempunyai pandangan yang sangat penting sekaligus perlu memeroleh perhatian kita semua, dalam melihat problem kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Imam Ibnu Taimiyah, seorang pemimpin golongan Salafi menyampaikan pernyataan yang mencengangkan:

إِنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ الدَّوْلَةَ اْلعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يُؤَيِّدُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً

“Allah akan menegakkan Negara yang adil meskipun (Negara) kafir, dan Allah akan menghancurkan Negara yang zalim, meskipun (Negara) muslim.” (Negara kafir, yang dimaksudkan adalah bukan negara Islam atau negara sekuler)

Kata bijak Khudz Ma Shafa wa Utruk Ma Kadar yang disampaikan Kiai Sahal di atas dapat berarti, “ambillah pendapat siapapun yang berguna, bermanfaat untuk ruang dan waktu kita, dan tinggalkan pendapat siapapun yang tidak bermanfaat untuk ruang dan waktu kita.” Ini seperti mengingatkan kita pada ucapan bijak Imam Ali bin Abi Thalib, “Unzhur Ma Qala wa La Tanzhur Man Qala.” (Pikirkan apa yang dikatakan orang dan jangan lihat siapa yang mengatakannya).

Kiai Sahal dengan begitu ingin mencari pikiran yang substantive dan relevan, bukan yang formalitas yang ketat dan kaku. Pada sisi lain beliau juga ingin mengajak masyarakat untuk tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.

Belajar dari cara pandang Kiai Sahal di atas saya ingin menyampaikan kata-kata bijak dari filsof Arab, Al-Kindi yang disampaikannya kepada Khalifah Mu’tashim Billah:

يَنْبَغِى لَنَا اَنْ لَا نَسْتَحْيِى مِنِ اسْتِحْسَانِ الْحَقِّ وَاقْتِنَاءِ الْحَقِّ مِنْ أَيْنَ أَتَى, وَإِنْ أَتَى مِنَ اْلاَجْنَاسِ الْقَاصِيَةِ عَنَّا وَالْاُمَمِ الْمُتَبَايِنَةِ لَنَا.

“Seyogyanya kita tidak merasa malu untuk menerima kebenaran dan menjaganya, dari manapun berasal, meskipun dari bangsa-bangsa yang jauh dan yang berbeda dari kita.”

Isu Gender

Adalah sungguh menarik bahwa gagasan besar Kiai Sahal, Fiqh Sebagai Etika Sosial dengan seperangkat kerangka dasar pemikirannya, pada gilirannya membawa pada pandanganya yang simpatik mengenai isu-isu kesetaraan dan keadilan gender.

Sementara masih banyak ulama dan Kiai yang mencurigai isu-isu ini, Kiai Sahal justru memberikan apresiasinya, alih-alih mengecamnya. Ini misalnya dapat dibaca dalam kata pengantarnya untuk buku saya, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Katanya, “Islam sesungguhnya secara ideal normatif tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuan.”

Selanjutnya beliau mengatakan, “Melalui buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, karya KH. Husein Muhammad ini, kita disadarkan betapa luasnya cakrawala lautan ilmu fikih. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, Kiai Husein Muhammad dalam buku ini mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara terliti dan kritis. Bahasan tentang kepemimpinan shalat perempuan, khitan, batas aurat, memiliki pasangan dalam hidup (nikah), kepemimpinan politik perempuan, dan sebagainya yang ada dalam buku ini akan memperluas cakrawala pandang kita tentang betapa utamanya fiqh, yang demikian terbuka memberikan ruang dialog seluas-luasnya bagi berbagai pandangan dan pendapat.

Melalui buku ini, Kiai Husein Muhammad telah memberikan sumbangan yang besar dalam upaya pencarian dan perwujudan makna esensial ajaran agama Islam”.

Ulama yang Arif Bijaksana

Tetapi sungguh pun Kiai Sahal tampak begitu progresif (untuk tidak disebut liberal), tetapi beliau tetap berhati-hati dan berusaha sejauh yang bisa dilakukan untuk tidak keluar dari pemikiran fikih dominan. Yakni pendekatan “Fiqh Qauli”.

Dalam berbagai kasus yang dimintakan jawaban fikihnya, Kiai Sahal mencari rujukan melalui  pendekatan “Fiqh Qauli”. Artinya, jika jawaban yang diberikan cukup memberikan solusi yang maslahat melalui cara/pendekatan tekstual dari dalam mazhab Syafi’i, maka beliau tidak mencari jawaban dari mazhab lain.

Pandangan fiqh mazhab lain baru disampaikan sebagai alternatif jika lebih berpeluang untuk diamalkan oleh yang bersangkutan atau oleh kepentingan (kemaslahatan) lebih luas. Jika belum ditemukan jawaban yang maslahat dari Mazhab yang ada, maka beliau melakukan Ijtihad atau Istinbat melalui pendekatan Manhaji, yakni dengan menggunakan metode fikih Mazhab Syafi'i.

Dengan begitu, Kiai Sahal tetap ingin berada dan menyantuni tradisinya, baik dalam kaitannya dengan fikih qauli maupun fikih manhaji. Ini tentu saja mengantarkan kesan publik bahwa beliau adalah ahli fikih yang moderat dan tidak terbawa oleh arus “liberal” (baca: non-mainstream) seperti pikiran murid-muridnya, antara lain, Ulil Absar Abdallah, atau anak-anak muda NU lain yang berpikiran maju seperti dia.

Meskipun mungkin ada pandangan mereka yang tidak sejalan, tetapi Kiai Sahal adalah ulama yang arif dalam menyikapi pikiran-pikiran anak-anak muda NU yang memiliki kecenderungan berpikir “liberal” (baca: progresif) tersebut. Alih-alih memberi label sesat atasnya apalagi mengkafirkannya, beliau membiarkannya atau bahkan menghargainya.

Sikap dan cara pandang ini sesungguhnya, dalam pandangan saya tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan ulama, baik dalam kalangan Ulama NU sendiri, apalagi kalangan Islam salafi garis keras.  Sikap seperti Kiai Sahal itu, dalam pandangan saya, memperlihatkan kedalaman dan keluasan ilmu seseorang sekaligus merupakan tanda kearifannya. Semoga kelak, sesudah beliau pulang, akan lahir pemikir-pemikir fiqh yang cemerlang, progresif, inklusif sekaligus arif, seperti beliau.

Oleh: KH. Husein Muhammad                                                            


Editor: Daniel Simatupang