KH. Husein Muhammad: Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (Bagian 2)

 
KH. Husein Muhammad: Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (Bagian 2)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Desakan Kiai Sahal agar dilakukan proses “pembaruan” atau “pengembangan” (dalam bahasa yang dinilainya lebih tepat) fikih sehingga melahirkan produk yang relevan dengan zaman yang berubah (rasionable dan applicable), mengantarkannya pada keharusan mengambil basis-basis fundamental kebijakan publik/politik. Ia adalah “Kemaslahatan sosial”.

Kemaslahatan sosial yang dimaksudkan dalam hal ini tidak terbatas pada kerangka hukum dar al-mafasid wa jalb al-mashalih (menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan) belaka, melainkan pada penciptaan kehidupan sosial yang menghargai hak-hak dasar manusia.

Kiai Sahal berkali-kali mengemukakan, baik dalam buku ini maupun tulisannya yang lain, tentang perlunya fikih dan kebijakan publik-politik mendasarkan diri atas maqashid al-syari’ah yang terangkum dalam “lima hak-hak dasar manusia”. Yakni hifzh al-din (perlindungan atas keyakinan), hifzh al-nafs (perlindungan atas hak hidup), hifzh al-‘aql (perlindungan atas akal, hak berpikir dan berekspresi), hifzh al-nasl (perlindungan atas hak reproduksi) dan hifz al-maal (perlindungan atas hak milik). Inilah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal yang pernah dicanangkan oleh Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam al-Mustashfa dan dikembangkan lebih luas oleh Abu Ishaq Al-Syathibi (w. 790 H) dari Granada, dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.

Dr. Abd Allah Darraz, cendekiawan dan filsuf Muslim dari Mesir, dalam pengantar kitab Al Muwafaqat di atas menyatakan bahwa lima prinsip kemanusiaan tersebut merupakan dasar bagi kesejahteraan bangsa yang diyakini semua agama. Tanpanya kesejahteraan dunia tidak akan terwjud dan keselamata di akhirat tidak akan diperoleh.

Dalam kerangka gagasan di atas pula, Kiai Sahal tampak merasa perlu untuk menggugat terma illat (causa/alasan logis) dalam teori Qiyas (analogi) yang seringkali hanya menghasilkan kesimpulan secara legal formal dan tidak substantive, dan boleh jadi tidak adil. Illat dalam teori Imam al-Syafi’i dirumuskan sebagai, “Washf Zhahir Mundhabith” (indikator yang jelas dan terukur). Kiai Sahal mencontohkan “Qashr Shalat” (shalat yang diringkas). Ia dibolehkan, illatnya adalah safar (bepergian) jauh (sekitar 85 km).

Jika ini yang dijadikan ratio legisnya, maka akan bisa melahirkan ketidakadilan. Orang kaya yang bepergian naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya boleh meringkas jumlah raka’at shalat Dzuhur, Ashar dan Isya menjadi dua raka’at saja, dan dia juga boleh berbuka puasa. Sementara orang miskin yang bepergian naik sepeda ontel yang dari Menteng ke Ciputat, sekitar 30 km, tidak boleh qashar dan buka puasa.

Masyaqqah (kepayahan, lelah) tidak bisa dijadikan alasan, karena sangat relative dan tidak bisa diukur. Masyaqqah, menurut teori ini hanyalah hikmah/manfaat saja. Kiai Sahal mungkin gelisah dengan cara pandang legal formal seperti ini, meski sungguh-sungguh memahaminya. Beliau berharap agar faktor kemaslahatan menjadi pertimbangan.

Beliau mengatakan, “Dari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeseran paradigm fikih, yaitu pergeseran dari fikih yang formalistik menjadi fikih yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah ke dalam illat hokum.” (Fikih Sosial, hlm. Xiix).

Keberanian

Lebih jauh dari itu, Kiai Sahal tidak hanya mengatakan, “Fikih sebagai Etika Sosial” akan tetapi menambahkannya dengan kata-kata, “bukan sebagai hukum Negara”. Ini menjadi kata-kata paling mencengangkan dan akan dikecam habis-habisan oleh banyak masyarakat muslim di negeri ini, dewasa ini. Kiai Sahal sangat faham tentang eksistensi Negara bangsa Indonesia yang plural dari banyak dimensinya, terutama agama/keyakinan.

Pikiran-pikiran untuk menegarakan hukum Islam (fikih) atau formalisasi hukum Islam (fikih) akan mengganggu konstitusi NKRI dan prinsip-prinsip demokrasi substansial yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia universal. Dan NU, organisasi yang dipimpinnya, ikut mendirikan Negara ini berikut Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Muktamarnya di Situbondo, tahun 1984, NU menegaskan kembali komitmennya atas dua fondasi Negara bangsa tersebut. Ini adalah tinjauan dari sisi relasi agama dan Negara. Para Ulama NU, sebagaimana disampaikan KH. Ahmad Shiddiq, Rais ‘Am Syuriah PBNU, meyakini bahwa penerimaan atas Pancasila merupakan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.

Dari tinjauan fikih sendiri, Kiai Sahal sudah menyatakan bahwa produk-produk fikih sangat plural. Umat Islam berhak untuk memilih, dan pilihan itu sah serta harus dihargai. Sikap Kiai Sahal ini mengingatkan kita pada pandangan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab fikih. Beliau adalah orang pertama yang berhasil menghimpun hadis-hadis Nabi Muhammad dalam bukunya Al-Muwathta.

Khalifah Abbasiah, Abu Ja'far al-Manshur, suatu hari meminta izin agar karya tersebut dijadikan undang-undang bagi masyarakat muslim di seluruh wilayah kekuasaannya. Imam Malik menolak, katanya, “Maaf, tuan Khalifah, jangan lakukan itu. Masyarakat di banyak tempat sudah punya pandangan masing-masing. Mereka memercayai hadis yang disampaikan guru-guru mereka dan menjalani kehidupan berdasarkan ajaran tersebut. Biarkan mereka memilih jalan hidup mereka sendiri.”

Menolak Mutabar Ghair Mu’tabar

Pikiran menarik Kiai Sahal yang lain adalah keterbukaannya terhadap semua pikiran orang lain. Ia tak hendak membatasi sumber-sumber pengetahuan di satu sisi, dan tidak hendak memutlakkan kesalahan pikiran orang lain hanya karena tidak menyetujui pandangannya untuk suatu kasus dan tidak memutlakkan kebenaran suatu aliran pemikiran yang diikutinya, di sisi yang lain. Kebenaran bisa ada di mana-mana.

Keberagaman pandangan Imam mazhab  atas suatu masalah harus dihargai, dihormati. Para Imam sendiri saling memberikan penghormatan dan tidak mengklaim pendapatnya sebagai paling benar. Perbedaan adalah rahmat. Kiai Sahal menyebut kaidah, “Al-Ijtihad La Yunqadh bi al-Ijthad”. Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang yang lain. Katanya, “Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbeda.”

Atas dasar itu, Kiai Sahal acap kali keluar dari cara pandang para ulama di dalam organisasinya sendiri, Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah soal al-Kutub al-Mu’tabarah dan Ghair al-Mu’tabarah. Ia menganggap pemilahan ini tidak senafas dengan semangat fikih sebagai produk Ijtihad dan dengan begitu hal itu juga berarti ada pandangan yang mengunggulkan pendapat Imam dan merendahkan pendapat Imam lainnya. Saya kira pemilahan tersebut juga sama dengan membatasi prinsip ilmu pengetahuan sendiri yang selalu terbuka sekaligus membatasi anugerah Tuhan yang memberikan ilmu pengetahan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Kiai Sahal kemudian memberi contoh. Dalam pandangan mayoritas ulama, kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan murid utamanya, Ibnu al Qayyim al-Jauziyiah, adalah ghair mu’tabarah (tidak bisa atau tidak boleh dirujuk), karena kedua ulama besar ini mengharamkan tawassul, praktik-praktik tarikat, kewalian, ziarah kubur dan lain-lain. Semua masalah ini adalah bagian dari tradisi dan amalan sehari-hari warga NU.

Kiai Sahal mengatakan, “Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaedah atau pepatah Arab, ‘Ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh,’ (khudz ma shafa watruk ma kadar). Para Kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap saddan li al dzari’ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab itu dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar, karena itu jangan menggunakan pendekatan like and dislike ini mu’tabar, itu tidak.” Ini tentu saja merupakan kritik tajam Kiai Sahal yang lain.

Oleh: KH. Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang