Biografi KH. Moh. Djamaluddin Ahmad, Pendiri Pesantren Bumi Damai Al-Huhibbin

 
Biografi KH. Moh. Djamaluddin Ahmad, Pendiri Pesantren Bumi Damai Al-Huhibbin
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.     Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1   Lahir
1.2   Riwayat Keluarga
1.3   Wafat

2.      Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1   Pendidikan
2.2   Guru-Guru

3      Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1   Mendirikan Pesantren

4      Organisasi

​5.     Chart Silsilah Sanad
6.     Referensi

1  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Moh. Djamaluddin bin Achmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali, lahir pada tanggal 31 Desember 1943 di kampung Kedungcangkring, Desa Gondanglegi, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Achmad bin Hasan Mustajab dengan Nyai Hj. Mahmudah/Djumini (nama sebelum haji) binti Abdurrahman bin Irsyad bin Rifa’i. Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu:

  1. Gus Imam Ghozali yang meninggal pada umur 6 tahun,
  2. Kyai Jawahir,
  3. Kyai Moh. Djamaluddin,
  4. Kyai Zainal Abidin.

1.2  Riwayat Keluarga
Begitu tamat dari Mu’allimin, KH. Moh. Djamaluddin diambil menantu oleh KH. Abdul Fattah dijodohkan dengan putrinya yang bernama Nyai Churriyyah yang masih kelas I Mu’allimat.

Selama kurang lebih 3 tahun mondok di Lasem, beliau tidak pernah pulang ke rumah, suatu hari setelah Ashar beliau mendapat surat dari ibunya yang isinya, “Djamal muliho aku wis kangen.” Beliau menangis karena waktu itu sudah berencana dan menabung untuk mondok di Mranggen Demak yang diasuh oleh KH. Muslih bin Abdurrahman untuk khataman Kitab Al-Mahalli.

Pada waktu itu semua pakaian, kitab-kitab, dan koper telah disiapkan, karena keesokannya akan berangkat ke Demak. Beliau hanya bisa menangis, karena satu sisi beliau ingin mengaji, dan di sisi lain harus patuh pada ibunya.

Akhirnya beliau sowan pada KH. Baidlowi tanpa mengatakan apapun dan hanya menangis saja, tanpa bertanya KH. Baidlowi berkata : "Cung, anak iku sing apik manut wong tuo.” Setelah sowan, beliau langsung pulang, sampai di Jombang pada malam hari jam 11, terpaksa menginap di kamar pondok dan tidak sowan KH. Fattah karena takut akan diakadi, sebab sebelum berangkat ke Lasem, beliau sudah positif diambil menantu namun belum akadan karena permohonan keluarga Nganjuk agar menyelesaikan dahulu menuntut ilmu di pondok pesantren.

Ternyata kepulangan beliau diketahui oleh KH. Fattah dan Ibu Nyai Fattah yang ketika itu juga ada Ibu Nyai Iskandar, kemudian Ibu Nyai Fattah berpesan yang intinya, oleh karena akhir bulan Sya’ban itu akan diadakan Haflah Akhirussanah (Imtihan), maka keluarga Gondanglegi beserta ayah-ibu beliau, dan saudara-saudaranya akan diundang ke Tambakberas.

Pada pelaksanaan Akhirussanah, seluruh keluarga Gondanglegi menghadiri dan akan pulang keesokan harinya, namun KH. Fattah berpesan pada keluarga Gondanglegi agar nak Djamal tidak boleh pulang dahulu bersama keluarga, KH. Fattah berpesan, “Djamal kersane kentun rumiyen.

Kira-kira keluarga masih di tengah perjalanan, beliau dipanggil oleh KH. Fattah dan berkata, “Djamal engko bengi kowe ta’ akadi, mumpung mbah Bisri isih sugeng, lan iki duit kanggo mas kawin,” sambil mengambil uang Rp. 1.000,- tanpa amplop, lalu dimasukkan ke dalam saku nak Djamal.

Setelah sampai di kamar, beliau menangis karena merasa bingung, satu sisi ayah dan ibu menghendaki akad nikah setelah selesai belajar di pondok, dan di sisi lain gurunya menghendaki dipercepat, dua hal yang bertentangan ini kemudian dipikir secara mendalam, dan beliau ingat akan pelajaran guru akhlaq ketika masih di rumah saat mengaji Kitab Al-Mathlab bab akhlaq, yakni apabila terjadi perbedaan pendapat antara guru dan orang tua maka yang harus didahulukan adalah guru.

Akhirnya setelah itu beliau pun siap untuk diakadi malam itu, akan tetapi karena tidak punya baju yang layak maka beliau pun pinjam jas dari teman pondok yang bernama Afifuddin dari Magelang.

1.3  Wafat
KH. Moh. Djamaluddin wafat, pada hari Kamis, 24 Februari 2022.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1  Pendidikan
Sewaktu kecil, sebelum sekolah di SR (sekarang SD), Kyai Djamal kecil senang tidur di rumah kakek dari ibu yang bernama Kyai Abdurrahman dan neneknya yang bernama Nyai Ummi Kultsum binti Kyai Tamyiz Banten. Beliau suka demikian karena kakek dan neneknya suka bercerita tentang Nabi-Nabi dilagukan dengan tembang-tembang Jawa. Sampai sekolah di SR, Kyai Djamal kecil masih suka tidur di rumah kakeknya, bila siang hari beliau suka mengikuti kakeknya.

Sekitar tahun 1952, KH. Moh Djamaluddin Ahmad kalau malam hari mengaji di Pondok Selorejo Peduluhan Combre, Desa Gondanglegi, yang diasuh oleh Kyai Abu Amar. Dan suatu saat selama berbulan-bulan mengaji di tempat KH. Abdul Djalil Gondanglegi, selama berbulan-bulan mengaji di KH. Abdul Ghofur yakni adik dari neneknya sendiri.

Semenjak dari usia itu di luar kegiatan belajar, di sore hari suka memancing dan kalau malam hari sehabis pulang mengaji sering diajak teman-temannya yang sudah dewasa melihat wayang kulit, sehingga dari situ beliau punya hasrat untuk belajar di pesantren karena diilhami dari nonton wayang kulit yang kebetulan lakonnya adalah Raden Abimanyu yang berguru pada eyangnya Begawan Abiyoso, karena dirasa Raden Abimanyu seperti santri dan Begawan Abiyoso seperti Kyai yang memakai serban yang selalu membawa tongkat dan selalu diikuti oleh seorang cantrik.

Ketika akan berangkat ke pondok, beliau berpamitan kepada Kyai Abu Amar, kemudian Kyai Abu Amar berwasiat; “Djamal, kowe nek mondok niatmu opo?", beliau menjawab, “Dereng saget Mbah.” Kyai Abu Amar menjawab, “Kowe nek mondok ojo pisan-pisan niat dadi wong pinter, nanging niato golek ilmu sing manfaat.

Setelah berpamitan pada Kiai Abu Amar, beliau sowan kepada KH. Abdul Ghofur dan berwasiat, “Djamal ngertenono ilmu seng manfaat iku contone koyok banyu, banyu kuwi ora demen manggon ing tanah kang duwur, neng demen manggon ing tanah kang endek lan tanah kang ledok, tegese ilmu seng manfaat kuwi mung seneng manggon ono ing ati kang andap asor lan toto kromo, mulane mbeso’ kapan wes nang pondok bisoho dadi kesete santri.

Ketika berpamitan kepada ibunya, ibunya merasa keberatan karena merasa tidak mampu memberikan biaya untuk belajar di pondok, akhirnya selama 5 hari, setiap pagi beliau menangis di telapak kaki ibunya untuk diberikan restu belajar di pondok pesantren. Akhirnya ibunya memberikan restu juga, tapi dengan janji memberikan bekal yang sangat minim karena tidak mampu.

Setelah tamat SR, beliau ingin belajar di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang atas saran pamannya yang bernama Kyai Suhat, karena pamannya ini belajar di sana dan khidmah di rumah KH. Abdul Fattah. Di waktu akan berangkat ke pondok, beliau berpamitan kepada Kyai Abu Amar.

Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Tambakberas Jombang pada pertengahan 1956, masuk MI di kelas II dan di pertengahan tahun langsung masuk kelas III. Karena pondok mulai membangun Madrasah Mu’allimin, maka murid kelas I Mu’allimin diambil dari murid kelas VI MI, otomatis kelas V menjadi kelas VI, kelas IV menjadi kelas V dan kelas II menjadi kelas III.

Pada akhir tahun 1964 beliau mempunyai keinginan untuk pindah ke pondok Lasem, namun masih belum tahu kepada kyai siapa, karena banyaknya kyai di sana. Kemudian beliau beristikhoroh, pada istikhoroh pertama beliau melihat sebuah jeding dan mushala, lalu beliau mengambil air wudhu dan Shalat Dhuha di mushala tersebut. Sesampainya di Lasem ternyata beliau menemukan bahwa itu adalah pondok Al-Wahdah yang diasuh oleh KH. Baidlowi bin Abdul Aziz, seorang kyai yang arif billah yang pada waktu itu menjadi Ra’is Thoriqoh se-Indonesia.

Pada istikhoroh kedua, beliau merasa naik kendaraan yang berjalan begitu jauh yang kemudian turun di pasar, lalu beliau berjalan kaki turun ke jurang terus naik ke gunung, turun ke jurang lagi lalu naik ke gunung lagi, ternyata di atas gunung itu ada sebuah Masjid, beliau masuk masjid itu terus langsung sampai ke jerambahnya, waktu memandang ke timur tampak sebuah pondok yang banyak kamarnya, begitu pula waktu memandang ke barat dan utara, dan ketika memandang ke selatan tampak pemandangan yang bebas.

Ternyata itu adalah sebuah pondok yang diasuh oleh KH. Asy’ari Poncol Salatiga, sifat-sifat pondok itu persis seperti dalam mimpi. Pondok yang ditempati para santri berada di timur, barat dan utara masjid, sedang di selatan masjid terdapat sebuah sawah yang luas sekali sejauh mata memandang. Di pondok ini belajar mengaji setiap bulan Jumadil akhir mulai dari tahun 1967, 1968 dan 1969. yang dikajikan adalah kitab-kitab Bukhari Muslim dan Dala’ilul Khoirot di samping juga ijazah-ijazah yang lain.

Mondok di Lasem dengan tambahan mondok di Poncol Salatiga (setiap Jumadi Akhir) itu dimulai tahun 1965. Ceritanya, setelah ada kepastian akan mondok di Poncol Salatiga tersebut, beliau berpamitan kepada KH. Fattah (yang ada di Jombang), namun oleh beliau diutus menunggu sejenak, kurang lebih setahun, karena KH. Fattah beserta Ibu Nyai akan berangkat haji. 

Awal tahun 1965, beliau baru berangkat ke Lasem dengan diantar adiknya yang bernama Zainal Abidin. Perjalanan Jombang-Lasem memakan waktu 2 hari 2 malam karena sulitnya kendaraan disebabkan adanya peristiwa G-30 S PKI.

2.2  Guru-Guru

  1. KH. Achmad bin Hasan (ayah),
  2. Kyai Abdurrahman (kakek),
  3. Kyai Abu Amar (Pondok Selorejo Peduluhan Combre),
  4. KH. Abdul Djalil Gondanglegi
  5. KH. Abdul Fattah (Pondok Pesantren Tambakberas),
  6. KH. Baidlowi Lasem,
  7. KH. Asy’ari Poncol Salatiga,

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1  Mendirikan Pesantren
KH. Moh. Djamaluddin bin Achmad merupakan Pendiri Pesantren Bumi Damai Al-Huhibbin, Tambakberas, Jombang. Dikenal sebagai pengampu Kitab Hikam dan memiliki jamaah yang demikian banyak. Pengajiannya selalu dibanjiri hadirin, bahkan mereka dari berbagai daerah. 

4. Perjalanan Organisasi

4.1 Organisasi
Pada waktu kelas V beliau dipercaya oleh kepala sekolah Mu’allimin yang waktu itu dijabat oleh KH. Ahmad Al-Fatih untuk menjadi ketua OSIS, dan dipercaya oleh pengurus pondok pesantren untuk menjadi ketua Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz serta dipercaya oleh Pelajar Pesantren se Daerah Kediri yang berdomisili di PP. Tebuireng, Sambong, Denanyar dan Tambakberas sebagai ketua Orda (Organisasi Daerah) yang bernama IKPK (Ikatan Keluarga Pelajar Kediri).

Setelah satu tahun di Lasem, beliau dipercaya oleh santri-santri dari Madura dan Jatim yang ada di pondok Al-Ikhlas (Syaikh Masduqi Lasem), Al-Hidayah (Syaikh Ma’shum), serta pondok Al-Wahdah (KH. Baidlowi) untuk mendirikan organisasi santri yang disebut PUTRA SUNAN AMPEL, yang kegiatannya meliputi:
       1. Bahtsul Masa’il
       2. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz
       3. Jam’iyyah Dziba’iyyah
       4. Olahraga yang berupa; Badminton, Bola Volly, Pencak Silat juga atraksi kekebalan tubuh.

Pada tahun 1967, beliau dipercaya oleh santri-santri Al-Wahdah menjadi ketua pondok, di samping itu banyak juga yang meminta ngaji, tidak tanggung-tanggung, yang meminta ngaji adalah para Kyai, seperti: Kyai Sulaiman (yang mondok di Al-Ikhlas) yang meminta ngaji ilmu ‘Arudl, Gus Abdul Halim (putra Kyai Muslim Kempek Cirebon), Gus Masyhadi (putra Kyai Harun Cirebon), Gus Nur, Gus Muhlisun dari Watucongol Magelang yang meminta ngaji ‘Uqudul Jinan.

Di samping itu juga ada para santri Al-Wahdah yang meminta ngaji Riyadlus Shalihin dan ‘Iddatul Farid, begitu pula santri-santri dari pondok-pondok lain.

5. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Moh Djamaluddin Ahmad

6. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: tambakberas.com


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 15 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 24 Februari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya