KH. Husein Muhammad: Fatimah Al-Mutsanna, Sang Wali Perempuan dan Guru Ibnu Arabi

 
KH. Husein Muhammad: Fatimah Al-Mutsanna, Sang Wali Perempuan dan Guru Ibnu Arabi
Sumber Gambar: Ilustrasi/Iqra.id

Laduni.ID, Jakarta – Ibnu Arabi dalam karya yang sangat terkenalnya, Al-Futuhat al-Makiyyah mengatakan, “Aku mengabdi kepada seorang perempuan wali di Seville yang bernama Fatimah binti al-Mutsanna al-Qurthubi. Aku mengabdi kepadanya selama dua tahun. Saat itu, ia berusia 95 tahun. Aku malu memandang wajahnya, meski usianya sudah begitu lanjut. Pipinya kemerah-merahan, wajahnya masih tampak cantik bagai perempuan usia 14 tahun. Ia perempuan yang mengabdikan dirinya kepada Allah. Pribadi dan pengetahuannya banyak memengaruhi pikiranku.”

Ibnu Arabi bersama dua orang temannya, yang juga merupakan santri Fatimah, membantu membangun rumah sederhana terbuat dari bambu untuk tempat tinggal gurunya.

Tidak hanya itu, Ibnu Arabi memperoleh pencerahan intelektual dan spiritual dari Fatimah. Ia mengatakan tentang gurunya itu sebagai kanat rahmah li hadza al-‘alam, hadir membawa rahmat bagi dunia.

Nama lengkapnya Fatimah binti Ibnu al-Mutsanna al-Qurthubi, beliau lahir di Kordoba, Spanyol. Fatimah binti al-Mutsanna adalah guru dari Filsuf termasyhur dalam sejarah Islam, Ibnu Arabi. Fatimah mengajarkan Ibnu Arabi tentang pengetahuan esoterik.

Konon diceritakan, pengalaman hidup Fatimah yang penuh derita mengantarkan Ibnu Arabi pada pengetahuan esoterik yang mendalam. Esoterik adalah hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berkaitan sisi dalam dari ajaran agama.

Kisah Hidup

Sejak kecil, Fatimah sudah diajari ayahnya hidup bersahaja, kehidupan keluarganya sangat miskin. Saat sudah baligh, Fatimah dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki yang sakit lepra. Selama 24 tahun, hidup Fatimah diabdikan untuk mengurus dan merawat suaminya sampai ia meninggal. Sesudah itu, ia hidup sendiri, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja sebagai penjahit.

Suatu ketika tangan Fatimah terluka, sehingga ia tidak lagi bekerja menjahit dan tidak memiliki pekerjaan lain. Hidupnya sangat sulit, untuk mempertahankan hidupnya, ia mencari makanan dari sisa-sisa makanan orang kaya yang membuangnya ke tempat sampah.

Meski hidup sengsara, ia tetap bersyukur kepada Tuhan dan memaknainya sebagai ujian sebagaimana yang dialami para nabi. Sejak saat itu, Fatimah memilih untuk hidup di jalan sufi, dan kemudian menjadi al-‘arifat atau perempuan yang telah mengenal Tuhan. Kita menyebutnya sebagai waliyullah perempuan.

Karomah

Suatu hari, Fatimah mengatakan, “Kekasihku memberiku surah Al-Fatihah. Lalu, aku membacanya untuk suatu hal. Maka, hal itu pun ada, terjadi, mewujud.”

Ada kisah menarik terkait karamah Syeikhah Fatimah, Ibnu Arabi memberikan kesaksian atas karamah gurunya. Diceritakan, seorang perempuan datang mengadu nasib bahwa suaminya meninggalkannya tanpa nafkah hidup. Syeikhah Fatimah lantas membaca al-Fatihah, tiba-tiba embusan surah Al-Fatihah itu berubah menjadi awan.

Kemudian sembari terus membaca surah Al-Fatihah, Fatimah meminta awan tersebut untuk mendatangkan suami si perempuan tadi ke Seville. Tidak lama kemudian, selama perjalanan tiga hari, sang suami tersebut tiba dan berkumpul dengan istrinya. Saat ditanya, suami itu kebingungan dan tidak mengerti bagaimana hatinya memutuskan kembali ke rumah. Konon itu merupakan salah satu karamah Syeikhah Fatimah.

Akhir Cerita

Fatimah binti al-Mutsanna wafat dan dikuburkan di Siddah, dekat kota Al-Musayyab, Karbala. Sufi besar itu wafat. Meski tidak meninggalkan karya dan istana, akan tetapi, ia meninggalkan warisan hidup abadi yang berharga dan mulia. Yakni, menjadi seorang manusia cemerlang, sufi besar, menjadi Syekh (guru besar) Muhyiddin Ibnu Arabi. Seorang maha guru besar, sufi legendaris dan menulis ratusan buku terkait pengalamannya sebagai sufisme.

Semarang, 26 Maret 2022
Oleh: KH. Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang