Karomah Syekh Nawawi Banten Melihat Ka’bah dari Jakarta

 
Karomah Syekh Nawawi Banten Melihat Ka’bah dari Jakarta
Sumber Gambar: Konevi dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta –  Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani atau yang biasa disapa dengan panggilan Syekh Imam Nawawi al-Bantani dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi

Beliau seorang ulama yang berasal dari Banten Indonesia yang menjadi Imam di Masjidil Haram. Al-Sayyid al-Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz) merupakan gelar yang beliau sandang.

Syeikh Nawawi Al-Bantani memiliki banyak sekali karomah salah satunya beliau bisa melihat Ka’bah dari Jakarta ketika beliau melintasi Masjid Jami yang di bangun oleh Habib Usman ibn Aqil di Pekojan Jakarta Kota.

Masjid yang dibangun oleh Habib Usman itu ternyata memiliki arah kiblat yang salah. Padahal yang menentukan arah kiblat adalah habib Usman Aqil ibn Yahya Al Alawi sendiri.

Di hari yang berbeda, Syaikh Nawawi al-Bantani melintasi masjid tersebut, yang telah sempurna. Tapi, dalam benaknya ada pikiran bahwa masjid ini bermasalah. Padahal secara fisik masjid Jami’ yang dibangun Habib Usman sudah selesai. Kiai Nawawi, yang masih remaja umur 15 tahun, yakin betul bahwa letak arah kiblat masjid itu kurang pas, salah arah.

Sungguh, kejadian ini mendorong terjadi perdebatan panjang antara kiai Nawawi dan habib tersebut. Pastinya, Habib Usman tidak sepakat dengan pendapat Kiai Nawawi, apalagi Masjid Jami sudah tuntas bangunannya. Akhirnya, Sang kiai mendekat ke habib sambil menarik lengannya agar bisa merapat.

Kiai Nawawi berkata, “lihat nan jauh disana ya Habib Usman,” sambil menunjukkan jarinya ke arah ka’bah. Atas ijin Allah, ternyata Ka’bah kelihatan secara fisik. Habib Usman pun melihatnya tanpa menggunakan alat. Inilah karomah Syeikh Nawawi al-Bantani.

Tanpa berpikir panjang, Habib Usman meyakini kebenaran pendapat Kiai Nawawi, apalagi dirinya juga melihat secara fisik posisi Ka’bah yang lebih pas. Seketika itu, Habib Usman langsung merebut tangan Kiai Nawawi, menciumnya. Karena gerakan tangan sudah terbaca lebih awal, dengan cepat Kiai Nawawi langsung menarik tangannya hingga Habib Usman tidak dapat mencium. Terjadilah dialog antar keduanya:

Dengan tawadlu, Habib Usman bertanya, “mengapa anda menolak kucium tanganmu sebagai pertanda hormat atas ketinggian ilmumu, sekaligus tanda anda layak sebagai predikat pewaris para Nabi (warastatul anbiya)?”.

“Memang aku di beri kelebihan oleh Allah SWT sekaligus anugerahNya, bisa melihat Ka’bah dari jarak jauh secara fisik. Tapi, jangan dilupakan habib, antum lebih mulia dibanding aku, sebab antum masih bagian dari dzurriyatun Nabi (keturunan Nabi). Mestinya, saya yang lebih berhak mencium tangan Habib Usman, ya sekaligus hormat pada turunan dan cucu cucu Nabi Muhammad SAW,” timpal Kiai Nawawi Banten.

Setelah dialog selesai, sang Habib tidak mau kalah, akhirnya ia merangkul sampil memeluk Kiai Nawawi al-Bantani dengan keras sehingga tidak bisa bergerak, apalagi secara fisik badan Habib Usman lebih besar. Dalam kondisi ini, Sang Habib lantas mencium kening Kiai Nawawi berkali kali. Singkat cerita, keduanya akhirnya terharu dan menangis.

Sikap tawadhu’ kedua tokoh ini layak direnungkan dan menjadi teladan bersama, teladan mengakui kelebihan masing-masing, tanpa ada perasaan di antara berdua, ada yang terbaik (baik sisi nasab maupun keilmuan).


Keterangan: Cerita di atas diambil dadri Buku “Sejarah Pujangga Islam: Syaikh Nawawi al-Bantani,” karya Sayyid Chaidar