Ulama Wahabi Syekh Shalih bin Fauzan: Orang yang Tidak Mau Bermadzhab Sesat

 
Ulama Wahabi Syekh Shalih bin Fauzan: Orang yang Tidak Mau Bermadzhab Sesat
Sumber Gambar: Syekh Shalih bin Fauzan (foto istimewa)

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu ulama rujukan kontemporer kelompok Wahabi, Prof. DR. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (anggota kehormatan dari Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam di Arab Saudi sejak 15 Rajab 1412 H, salah seorang murid utama Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan salah satu guru dari Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Al-Makassari, pendiri dan mudir pondok pesantren As-Sunnah  Makassar) memberi keterangan tentang madzhab, yang berlawanan dengan ustadz-ustadz Wahabi salafi di Indonesia yang alergi dan anti madzhab.  Ketika beliau ditanya tentang hukum bermadzhab dengan salah satu dari empat imam madzhab; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullah, maka beliau menegaskan bahwa mereka adalah Imam Sunnah yang diikuti. Keempat imam mazhab kita, adalah ulama mujtahid, bagi mereka pahala ijtihad.

Tidak Mau Bermadzhab Adalah Sesat

Dalam kitab beliau, Al-Ijabat Al-Muhimmah Fii Al-Masyakil Al-Mudlahimah (الإجابات المهمَّة في المشاكل المدلهمَّة), menjelaskan bahwa orang awam atau penuntut ilmu pemula boleh bertaqlid, dan kalau sudah punya ilmu yang mapan tapi belum mencapai derajat mujtahid maka bolehlah ia menyandarkan dirinya pada suatu madzhab, tapi kalau menemukan pendapat di luar mazhabnya yang lebih rajih, maka itu yang harus ia pilih. Selain itu, beliau mengatakan bahwa orang yang tidak mau bermadzhab adalah sesat!!

Tidak Melarang Taqlid Dan Madzhab

Syaikh Shalih Fauzan adalah salah satu ulama paling besar dalam kelompok “Wahabi” dan ternyata tidak melarang taqlid bagi orang awam apalagi sampai mengharamkan bermadzhab. Justru, apabila melihat syarat-syarat ijtihad, akan tampak bahwa bukan sekedar Al-Qu’ran dan Hadis saja (sebagaimana banyak yang menduga), melainkan juga banyak hal lagi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan :

التمذهب بمذهب واحد من المذاهب الأربعة مذاهب أهل السنة الأربعة المعروفة التي بقيت وحفظت وحررت بين المسلمين، والانتساب إلى مذهب منها، لا مانع منه، فيقال: فلان شافعي، وفلان حنبلي، وفلان حنفي، وفلان مالكي. ولا زال هذا اللقب موجودًا من قديم بين العلماء، حتى كبار العلماء، يقال: فلان حنبلي، يقال مثلًا: ابن تيمية الحنبلي، ابن القيم الحنبلي، وما أشبه ذلك، ولا حرج في ذلك

“Bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat, yaitu empat madzhab Ahlu Sunnah yang telah dikenal, yang tetap eksis, terjaga, dan ditahriri (diperiksa) diantara umat muslim, menisbatkan diri kepada salah satu darinya, tidak ada halangan (Boleh). Maka dinyatakan: Fulan Syafi’i, fulan Hanbali, fulan Hanafi, dan fulan Maliki. Gelar ini terus menerus di kalangan para ulama sejak zaman dulu, sampaipun kepada para ulama kibar. Dinyatakan pula: fulan Hanbali. Misal dinyatakan: Ibnu Taimiyyah Hanbali, Ibnul Qayyim Hanbali, dan yang semisal hal itu. Tidak ada kesempitan dalam hal ini.” (Kitab Majmu’ Fatawa : 2/701).

Ikuti Mayoritas Madzhab di Negeri Masing-masing

Dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Shalih Al-Fauzan juga menasihatkan untuk mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’i atau Hanbali. Walau beliau seorang Hanbali, tapi beliau menasihatkan umat muslim untuk mengikuti madzhab mayoritas di Negerinya masing-masing. Dalam arti, tidak mengajak untuk mengikuti madzhab Hanbali yang beliau ikuti. Kalau di Indonesia, madzhab mayoritas penduduknya adalah Madzhab Syafi’i.

Syaikh Shalih Al-Fauzan juga bberkata: “Apabila penduduk suatu negeri di atas madzhab yang shahih, yaitu salah satu madzhab dari madzhab Ahlus Sunnah, maka janganlah dia memisahkan diri darinya. Di atas madzhab yang shahih, dari madzhab Ahlus Sunnah, seperti Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Hanabillah, dan Malikiyyah. Madzhab-madzhab ini, Alhamdulillah madzhab sunniyyah dan (direkomendasikan) untuk dipelajari. Maka janganlah seorang keluar dari (madzhab) mereka, janganlah memisahkan diri dari mereka, dan jangan membuat kekacauan kepada mereka.” (Kitab Majmu’ Fatawa).

Larangan Bermadzhab Suatu Kekeliruan

Dr Jonathan Brown (seorang  mualaf yang kini telah menjadi pakar hadis dan peradaban Islam di Georgetown University) menulis sebagai berikut:

“All the above proto-Salafi and Salafi scholars have consistently maintained that the masses of the Muslims are unqualified to approach the scriptural sources of Islam in any authoritative way. Moreover, like their mainstream Sunni opponents, Salafis have affirmed that ‘the layperson has no legal school’. His school is whatever a qualified local scholar says it is.”

Melihat penjelasan di atas, telah jelas bahwa posisi salafi wahabi menurut para ulamanya, tidak boleh melarang untuk bermadzhab dan mengikuti salah satunya. Apabila ada yang mengatakan bahwa salafi/wahabi melarang bermadzhab, maka itu adalah suatu kekeliruan.

Ajaran Wahabi di Indonesia

Tapi, yang mengatakan “haram bermadzhab” dan “awam boleh ijtihad” bukan hanya para pengkritik salafi / wahabi, melainkan sebagian jama'ah atau ustadz-ustadz salafi/wahabi sendiri, dan faktanya mereka memang anti madzhab.

Wahabiyah khususnya di Indonesia, sering kita dengar, mereka mudah sekali mencela empat madzhab atau ulama pengikut madzhab yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam di dunia khususnya di Indonesia, mereka mengatakan bahwa para pengikut madzhab telah memecah belah umat dan bahwa taqlid pada salah satu madzhab, adalah inti kesyirikan. Orang yang mengikuti satu madzhab saja dalam satu masalah, maka ia adalah seorang yang fanatik buta, dan orang yang taklid buta, telah keluar dari agamanya, karena ia mengikuti hawa nafsunya, dan menjadi bagian dari hizbusy syaithan (golongan syaithan) dan budak hawa nafsu, sehingga hilang cahaya keimanan dalam hatinya (Lihat Muhammad Sulthan al Ma’shumi, Hal al Muslim Mulzamun bit tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin, hal. 38 dan 76).

Bermadzhab Dianggap Syirik

Adapun larangan mereka dalam bermadzhab bisa dilihat dalam Muhammad Sulthan al Ma’shumi al Makky, Hal al Muslim Mulzamun bit Tiba’i Madzhaib Mu’ayyanin ta’liq Salim al Hilali (halaman 6), dia menyebutkan bahwa orang yang bermadzhab harus disuruh bertaubat kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh, dan halaman 11, dia mengatakan : "Apabila ditelusuri dengan seksama tentang permasalahan madzhab, maka sesungguhnya madzhab tersebut berkembang dan menyebar karena bantuan musuh Islam.

Al Qanuji salah seorang ulama Wahabi mengatakan : “Taqlid terhadap madzhab-madzhab adalah syirik.” (Lihat Muhammad Shidiq Hasan Al-Qanuji, kitab al Din al Khalish, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz. 1 hal. 140). Jadi, menurutnya seluruh umat Islam pada masa sekarang kufur, karena mereka penganut madzhab yang empat, menurut orang-orang Wahabi mereka adalah orang-orang yang kafir.

Mengabaikan Rekomendasi Ulama Wahabi

Akhirnya, muncul beberapa pertanyaan : "Kenapa sebagian penuntut ilmu yang berkiblat ke Syaikh Ibnu Taimiyyah dan muridnya (Ibnul Qayyim), serta para ulama Saudi tidak bermadzhab ? atau seandainya bermadzhab, kenapa bermadzhab tarjih ? Dimana madzhab tarjih ini keluar dari madzhab fiqh yang empat, yang oleh Syaikh Shalih Fauzan pun tidak pernah merekomendasikannya ?

Saran Ibnu Taimiyah

Sebagai bahan renungan, monggo para pengikut Ibnu Taimiyyah, beliau berkata :

أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.

“Barangsiapa yang melazimi madzhab tertentu, kemudian mengambil pendapat lainnya, bukan karena taqlid kepada ulama lain yang memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dengan dalil yang membuat dia mengambil pendapat lain tsb, dan tanpa ‘udzur syar’i yang membolehkan dia untuk melakukan hal tsb, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram tanpa adanya ‘udzur syar’i, maka ini adalah kemungkaran.”

Kemudian beliau berkata :

وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.

“Adapun jika tampak jelas baginya, bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dengan pendalilan yang terperinci, jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tsb, atau karena dia melihat ulama lain yang memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tsb daripada selainnya, dan ulama tsb lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yang beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tsb karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”

Peringatan Imam Nawawi

Dari kalangan Syafi’iyyah telah duluan mengingatkan, salah satunya adalah ulama kibar syafi'iyyah, Al-Imam Al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 22 Desember 1277 M di Nawa, Suriah), di mana beliau berkata :

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi madzhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini, bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Perhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’udhon kepada para ulama yang memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi  rahimahullah di atas. Yang dimaksud dengan perbuatan mencari-cari keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tsb dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih, sehingga bisa memahami mana pendalilan yang lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama mujtahid yang dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa. 

Musim Fatwa Shopping

Selalu mencari-cari pendapat yang paling ringan atau menuruti hawa nafsu atau menggunakan dalil-dalil yang hanya sesuai dengan kepentingannya, itu dilarang, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama sejak dulu. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan FATWA SHOPPING, di mana kita memilih-milih fatwa para ulama yang paling sesuai selera kita, sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih-pilih mana makanan yang sesuai seleranya. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikh Ibn Taimiyyah  rahimahullah,  sebagaimana yang telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.

Anjuran Belajar Fiqih

Orang muslim awam, khususnya yang baru hijrah, dianjurkan untuk belajar fiqih, secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dhn menggunakan kurikulum madzhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yang ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yang lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yang lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan.

Jika mereka mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga-tangga ilmu dalam syariat Islam, sebab dia akan menjadi kokoh dengan satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu, sebelum dia masuk ke ranah khilaf yang ada di kalangan para ulama. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yang digunakan oleh para ulama pun tidak bisa dipahami dengan cepat — kecuali oleh orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Belajar Fiqih Sudut Pandang Madzhab

Dalam mempelajari fikih, dengan menggunakan satu sudut pandang madzhab yang sedang dia pelajari tsb, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yang kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yang ada di kalangan para fuqaha’ dan Muhadditsin. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yang luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuannya terlebih dahulu, dengan cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum madzhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya. Seperti kurikulum pesantren ahli Sunnah Wal Jama'ah, yang ada di Nusantara.

Mulai Digandrungi

Tradisi mempelajari fiqih dengan metode madzhab, terkhusus madzhab Imam Syafi’i, mulai “digandrungi” oleh umat muslim di Indonesia. Maksudnya, mulai digandrungi oleh kelompok atau komunitas yang dulunya anti madzhab atau minimal tidak bermazhab (metode tarjih).

Kondisi yang menggembirakan ini tak lain dan tak bukan, setelah kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, adalah tersebab gencarnya para pendakwah yang tidak pernah lelah dan jemu serta sabar mengedukasi umat akan urgensi bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam mempelajari fiqih secara khusus dan agama secara umum. Baik upaya tsb disampaikan secara lisan (ceramah) ataupun tulisan, baik langsung atau via dunia maya/medsos (youtube, facebook, instagram, dll).

Ini menjadi pembelajaran bagi kita sekalian (yang belum lama sadar akan pentingnya bermadzhab), bahwa untuk urusan agama dan bagaimana memahaminya dengan baik dan benar, hendaknya kita merujuk kepada para ulama pendahulu kita.

Ikuti As-Sawadul A'dhom

Kita kembali kepada jalannya As-Sawad Al-A’dham (golongan yang besar), yaitu para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jangan menyempal dari jalan mereka. Jangan suka membuat metode sendiri. Jangan mudah tergiur oleh slogan-slogan yang sepintas keren dan bombatis, yang hakikatnya adalah kosong melompong dan rapuh.

Kewajiban mengikuti As-Sawadul A'dhom tersebut, telah diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu (612 M, Madinah - 709 M, Basra, Irak), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Maka apabila kalian melihat perselisihan, wajib atas kalian mengikuti golongan yang paling banyak (mayoritas, yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah).” (HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah nomor 3950).

Optimis Kebangkitan Aswaja

Kita pengikut Ahlussunnah Wal Jama'ah dan khususnya Nahdatul ulama harus terus istiqomah berjuang, yakin dan optimis, lima sampai sepuluh tahun ke depan, akan menjadi masa-masa cerah kebangkitan umat muslim di Indonesia untuk kembali ke jalan para ulama Nusantara pendahulu mereka, seperti : Syekh KH. Mahfudz At-Tarmasi, Syekh KH. Muhammad Khalil Al-Bangkalani, Syekh KH. Hasyim Asy‘ari, Syekh Musnid dunya Yasin Al-Fandani, Syekh KH. Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, Syekh KH. Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syekh KH. Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh KH. Ihsan Jampes Al-Kadiri, Syekh KH. Muhammad Faqih Maskumambang rahimahumullahdan lain-lain. Di mana keilmuan mereka semuanya, bersanad kokoh sampai kepada para ulama salafus solih dan bermuara kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat !!


Sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik